Penolakan dan bungkamnya Sanaya jelas membuat Dilan sedikit merasa kesal. Kenapa Sanaya seolah menghindar? Andaikan dia jujur pun, Dilan tidak akan keberatan. Mungkin, lain waktu dia bisa menanyakan hal tersebut. Setidaknya ada keterbukaan diantara mereka."Nay, ka—"ting!"Ck!" Dilan berdecak ketika denting pintu lift mengganggu obrolannya dengan Sanaya.Sementara Sanaya diam-diam menghela lega, karena Dilan tidak jadi melanjutkan ucapannya. Menoleh ke arah pintu lift yang terbuka lebar itu, Sanaya lantas berucap,"Dilan, ayo keluar. Pintunya udah kebuka."Dengan helaan berat dan setengah hati, Dilan melepas pinggang Sanaya, meraih tangannya dan menggandengnya. "Ayo."Keduanya melangkah keluar dari lift, berjalan menuju unit Dilan dengan pikiran bercabang ke mana-mana. Sanaya masih belum tenang, sebab Dilan pasti akan bertanya lagi."Masuk, Nay." Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang nampaknya tidak fokus."Ah, i-iya." Tergagap, Sanaya bahkan ragu-ragu melangkahkan kakinya untuk masuk
Merasa tidak sanggup melanjutkan, Sanaya akhirnya memilih pergi ke kamar mandi. Dadanya memanas seperti terbakar. Pemandangan yang dia saksikan barusan sungguh membuat perutnya mual."Kenapa juga Dilan mau-maunya dicium sama Bianca? Ck! Ngeselin!" Sanaya bersungut-sungut sendiri di depan kaca wastafel. Bayangan Bianca saat mencium Dilan terus terngiang di ingatan. Tadi pada waktu dia hendak menutup pintu, telinganya tak sengaja mendengar Dilan menyebut nama Bianca. Karena penasaran, Sanaya pun akhirnya mengurungkan niatnya yang hendak masuk ke kamar mandi lebih dulu. Memilih mengintip lewat celah pintu, dan menguping percakapan kedua orang tersebut. Awalnya Sanaya senang, sebab Dilan terlihat tak acuh dan bersikap dingin kepada Bianca. Obrolan mereka pun semakin menarik perhatiannya, ketika Dilan mengatakan jika dia sebenarnya tidak ingin melakukan pernikahan itu. Intinya adalah, Dilan terpaksa karena Bianca yang mengejarnya. Namun, kesenangan Sanaya tak berlangsung lama, lantaran
Cemburunya orang suka itu memang berbeda, Dilan sampai tak berhenti tersenyum melihat sikap Sanaya yang katanya cemburu dengan Bianca. Perempuan itu tak malu lagi mengakui perasaannya.Apa semua perempuan akan seperti ini, kalau sedang cemburu? Marah dan kesal tidak jelas."Puaaasss! Puaaaaas ... banget!" Saking senangnya, Dilan menarik pinggang Sanaya hingga tubuh mereka saling merapat. "Kalo gini 'kan aku udah gak bingung lagi," ucapnya menyingkirkan helaian rambut Sanaya.Kening Sanaya mengernyit, Dilan bicara apa lagi, coba? Bingung? Apanya yang membuat bingung?"Bingung kenapa? Apa selama ini kamu bingung?" tanya Sanaya, menggigit kecil bibir bawahnya, sambil lekat-lekat menatap manik Dilan yang sibuk memainkan ujung rambutnya dengan jari."Bingung. Karena aku merasa digantung, Nay."Meskipun dia seorang laki-laki, Dilan juga butuh kepastian. Sanaya selalu menolak dan beralasan ini itu ketika Dilan mengajaknya serius."Aku bukannya mau ngegantung kamu. Bukannya kamu tahu gimana p
"Nay, bangun. Udah pagi. Ayo, aku anter pulang." Dilan menepuk pelan pipi Sanaya yang masih terlelap di kasurnya. Sebelumnya, dia sudah bangun lebih dulu dan mandi. Kemudian membuat sarapan instan yaitu sereal dicampur susu. Dia kembali ke kamar setelah urusan di pantry selesai, dan mendapati perempuan yang semalaman bergumul dengannya masih pulas. Menggeliat, seraya bergumam, Sanaya membuka perlahan maniknya lalu mengerjap lambat. Pemandangan pagi ini sungguh sangat indah, dapat memandangi wajah tampan lelaki yang dia cintai dengan puas, merupakan keinginannya sejak lama. "Morning, Dilan …." Senyum Sanaya mengembang, mengulurkan tangan menyentuh wajah Dilan yang nampak segar juga penampilannya yang sudah rapi. "Morning, Nay." Dilan membungkuk, menyingkirkan helaian rambut Sanaya yang berantakan, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening, hidung dan terakhir di bibir. "Ayo, bangun. Sebelum pulang, sarapan dulu." Maniknya melirik nampan yang ada di atas nakas. Manik Sanaya i
Di lorong Rumah Sakit, Sanaya berlari seperti orang yang dikejar-kejar hantu. Tak peduli dengan tatapan aneh dari beberapa orang yang dia lewati, Sanaya tetap berlari sekuat mungkin. Bahkan, Dilan yang mengikutinya dari belakang tidak Sanaya pedulikan, yang terpenting saat ini ialah dia ingin segera bertemu sang ayah. Kabar dari Mbok Mina, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ayah Sanaya memberikan kabar yang amat sangat mengejutkan. Ayahnya sempat mengeluh dadanya sakit dan tiba-tiba pingsan. Anak mana yang tidak akan khawatir dan cemas jika mendengar kabar tersebut. Sanaya takut bila terjadi hal-hal buruk pada ayahnya setelah ini. "Nay!" Dilan berteriak, berkali-kali memanggil Sanaya yang semakin menjauh dari pandangannya. Hal itu tentu hanya sia-sia saja, sebab Sanaya tidak mendengar teriakannya. Dilan pun semakin mempercepat langkahnya untuk mengejar Sanaya yang sudah berbelok, menuju ruang perawatan ayah Wili."Mbok!" Ketika baru tiba, Sanaya memanggil seorang wanita pa
Setelah keluar dari ruangan dokter Danu, Sanaya pergi menemui ayah yang sudah dipindahkan ke ruang perawatan dengan Dilan yang masih setia di sisinya. Keduanya masuk, melihat ayah yang masih belum sadarkan diri. Hati Sanaya seperti disayat, ketika melihat kondisi ayahnya yang memprihatinkan, berbagai macam alat medis menempel di seluruh tubuh renta-nya. Dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, bibir Sanaya bergetar, menggumam memanggil, "Ayah ..." Kakinya melangkah mendekat, pandangannya mengabur karena cairan bening yang lagi-lagi mengembun di maniknya. Dia sentuh punggung tangan ayah Wili, sambil menatap iba raga tak berdaya itu."Kenapa jadi begini, Yah?" Sanaya menyayangkan kondisi ayah yang mendadak kambuh. Sebagai anak tentu dia merasa sangat bersalah lantaran tak pernah ada waktu untuk menjaga dan merawat ayahnya.Dilan merangkul pundak Sanaya, mengelus lembut lengan berlapis baju steril rumah sakit, sembari berkata, "Om Wili pasti kuat, Nay. Aku yakin beliau bisa s
"Nay!"Merasa ada yang memanggil, Sanaya menoleh, "Mom?" Dia pun berdiri, lantas menghambur ke pelukan calon mertuanya. "Ayah, Mom."Sanaya menangis lagi di pelukan mami Anne. "Yang sabar, Sayang. Yang sabar. Ayahmu pasti bisa sembuh," ucap mami Anne menenangkan sang calon menantu.Papinya Leo juga turut menenangkan Sanaya. "Ayahmu laki-laki yang kuat, Nay. Dia pasti bisa melewati masa kritisnya. Nanti, kalau perlu, papi akan bawa ayah kamu berobat ke Singapura." Sanaya mengurai pelukan, mengusap jejak basah di pipi kemudian menanggapi, "Singapura?" Kernyitan di kening menandakan jika dia cukup terkejut dengan penuturan papinya Leo."Iya, Singapura." Papinya Leo mengangguk mengiyakan. "Di sana alat-alat medisnya lebih lengkap." Sepengetahuannya seperti itu."Iya, Nay. Kita bisa membawa ayah kamu ke sana. Kalau dokter di sini udah gak bisa mengatasi." Mami Anne menambahkan, sambil mengelus rambut Sanaya dengan sayang. Dia terkejut ketika Sanaya menelponnya tadi, mengabarkan bahwa aya
"Leo, sakit!"Sanaya tertatih menyamai langkah Leo yang lebar-lebar sambil meringis menahan nyeri di pergelangan tangan. Lelaki itu menyamakan Sanaya seperti hewan yang bisa dia seret seenaknya. Menulikan telinga tak acuh dengan rengekan sang tunangan. Kaki panjangnya terus melangkah dengan raut geram menahan marah.Menyusuri lorong Rumah Sakit yang nampak sepi, dan langkahnya baru berhenti ketika sampai di lorong paling ujung. Tak ada manusia satupun yang lewat di sana. Kesempatan baginya untuk memberi pelajaran untuk perempuan murahan ini."Ka-kamu kenapa bawa aku ke sini? Kita mau ngapain di sini?" Sanaya bertanya dengan tergagap dan manik yang bergerak gelisah. Memindai sekitar dengan waspada, terlebih saat ini dia sedang bersama Leo.Alarm peringatan dalam dirinya seolah memberi pertanda jika semua ini tidak akan berakhir dengan baik. Apalagi, sorot menyeramkan terpancar dari manik Leo yang memicing ke arahnya."Kamu takut, Nay?" Satu sudut bibirnya terangkat tinggi, seakan dia m