"Leo, sakit!"Sanaya tertatih menyamai langkah Leo yang lebar-lebar sambil meringis menahan nyeri di pergelangan tangan. Lelaki itu menyamakan Sanaya seperti hewan yang bisa dia seret seenaknya. Menulikan telinga tak acuh dengan rengekan sang tunangan. Kaki panjangnya terus melangkah dengan raut geram menahan marah.Menyusuri lorong Rumah Sakit yang nampak sepi, dan langkahnya baru berhenti ketika sampai di lorong paling ujung. Tak ada manusia satupun yang lewat di sana. Kesempatan baginya untuk memberi pelajaran untuk perempuan murahan ini."Ka-kamu kenapa bawa aku ke sini? Kita mau ngapain di sini?" Sanaya bertanya dengan tergagap dan manik yang bergerak gelisah. Memindai sekitar dengan waspada, terlebih saat ini dia sedang bersama Leo.Alarm peringatan dalam dirinya seolah memberi pertanda jika semua ini tidak akan berakhir dengan baik. Apalagi, sorot menyeramkan terpancar dari manik Leo yang memicing ke arahnya."Kamu takut, Nay?" Satu sudut bibirnya terangkat tinggi, seakan dia m
"A-apa maksud kamu, Leo? Jangan bilang kalau kamu mau ceritain ini ke Ayah?"Raut Sanaya seketika memucat, mendengar perkataan Leo yang lebih mengarah pada sebuah ancaman. 'Nggak! Leo nggak boleh kasih tau ini ke Ayah!' Batin Sanaya sudah waspada dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada ayah Wili, saat hubungannya dengan Dilan dibongkar Leo.Pasalnya, dokter Danu sudah mengingatkan Sanaya untuk menjaga dan menjauhkan ayah dari kabar buruk atau semacamnya. Terlebih, hubungan gelapnya bersama Dilan bukan hanya berita buruk yang akan mengejutkan ayah Wili, tetapi suatu aib yang akan sangat menghancurkan hati ayah. Leo menyeringai licik, sudut bibirnya berkedut pertanda dia benar-benar puas melihat Sanaya sudah ketakutan mendengar ancamannya. "Kenapa, Sayang? Apa kamu takut?" tanyanya sambil membelai pipi Sanaya dengan punggung tangan. Namun, segera ditepis oleh tunangannya itu. "Jangan gila kamu, Leo! Aku gak akan biarin kamu bongkar hubungan aku sama Dilan ke Ayah! Gak akan
Hampir satu jam lebih, Sanaya duduk di pinggir ranjang rumah sakit, sambil tak lelah berdoa dalam hati agar sang ayah lekas sadarkan diri. Menghela berkali-kali, sesekali mengecek saluran infus yang terdapat di tangan kiri ayah Wili, Sanaya mengalihkan pandangan ke wajah yang mulai menua itu dengan iba."Bangun, Ayah. Nay pengen liat Ayah senyum lagi. Please ..." Dia bermonolog, memohon dan berharap sang ayah mau membuka mata. Mengusap punggung tangan yang kulitnya mulai mengeriput dengan rasa sayang tak terkira.Selain ayah, Sanaya tak memiliki siapa-siapa lagi. Selama ini dia hanya punya ayah di hidupnya semenjak sang ibu memilih pergi dengan laki-laki lain. Melihat ayahnya tak berdaya seperti ini tentu hatinya terasa sakit, dan tak dapat menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang terus saja menghantui.Ditambah dengan ancaman Leo dan pilihan yang sangat berat untuk Sanaya ambil. Pilihan yang sulit lantaran dia harus memecat Dilan dari restoran, sedangkan ayahnya begitu mempercayai le
Dengan tergagap, Sanaya mengiyakan permintaan ayahnya, "Nay ... Ma-mau, Yah." Maniknya melirik sekilas ke Dilan yang mungkin merasa terkejut. 'Maaf, Dilan. Maafin aku ...' Dalam hati Sanaya memohon maaf pada lelaki baik itu, yang pasti merasa sangat kecewa padanya. Dia tidak punya pilihan lain, bukan? Selain menyetujui permintaan ayah. Berada di posisi seperti sekarang juga bukan keinginan Sanaya. Ketika dia harus dihadapkan dengan sebuah pilihan terberat, dan hal itu membuatnya membenci keadaan ini. Kenapa harus ada pilihan? Kenapa dia harus memilih antara ayah dan Dilan? "Terima kasih, Nay. Kamu memang anak ayah yang paling berbakti." Perasaan ayah Wili tentu sangat lega dan bahagia, akhirnya dia bisa menyaksikan puteri satu-satunya menikah dengan laki-laki pilihannya..Namun, di antara kebahagiaan yang menyelimuti hati ayah Wili, ada dua hati yang patah dan terluka. Beliau tidak tahu, jika senyum yang terukir di bibir Sanaya hanyalah sebuah topeng demi menutupi rasa pedih yang
"Dilan, kenapa mesti ke hotel, sih? Kan, kita bisa bicara di kantin rumah sakit atau gak di parkiran." Sanaya protes tak terima karena Dilan malah membawanya ke hotel hanya sekadar untuk bicara empat mata. Seharusnya, tidak perlu sampai ke tempat ini. Toh, masih banyak tempat lain yang lebih nyaman, yang bisa dijadikan tempat untuk mengobrol. Alasan lainnya adalah, Sanaya hanya takut jika Dilan akan bertanya-tanya perihal persetujuannya untuk menikah besok. Dan, soal mengapa dia langsung mengambil keputusan sepihak tanpa berpikir atau berdiskusi terlebih dahulu."Kamu makan dulu, Nay. Baru protes ke aku." Dengan lembut tangan Dilan menarik tangan Sanaya yang berdiri menghadap jendela, membawa perempuan itu duduk di sofa tunggal yang kebetulan ada di kamar hotel.Dia sebenarnya juga merasa marah dan kesal, tetapi sebisa mungkin menahan diri agar tidak melampiaskannya secara berlebihan. Dilan sayang dan tidak mau sampai Sanaya merasa ketakutan. "... Makan dulu habis itu mandi terus k
Detik itu juga jantung Dilan rasanya seperti diremas paksa. Jawaban Sanaya seakan menamparnya hingga menciptakan rasa sakit yang tidak hanya menghancurkan impiannya dalam sekejap mata. Namun, harapannya merajut masa depan bersama Sanaya luluh lantah tak bersisa. Setiap kalimat yang lolos dari bibir manis itu bak belati yang menusuk dan meninggalkan luka menganga.Dia yang bodoh atau memang Sanaya yang pandai menorehkan luka? Begitu mudahnya perempuan itu menganggapnya seperti sampah, yang bisa dibuang seenaknya kapan pun Sanaya mau.Namun, entah mengapa Dilan merasa ada yang tidak beres dengan raut Sanaya ketika melontarkan kalimatnya. Semacam ada tekanan dari sorot matanya yang memancarkan kebohongan.'Apa Sanaya lagi di bawah kendali seseorang? Kenapa gue ngerasa kalo dia gak rela mengakhiri hubungan ini?'Dugaan tersebut terbersit di benak lelaki yang sama sekali tidak berkedip dan hanya menatap lawan bicaranya. Sanaya pun belum lepas menatapnya, maniknya bergerak gelisah menunggu
Harusnya Sanaya menolak. Harusnya hal ini tidak bisa terjadi untuk yang ke sekian kali. Harusnya dia bisa menahan diri untuk tidak terjerat ke pusaran gairah yang Dilan tawarkan. Bukankah ini akan semakin mempersulit? "Argh ..." Sanaya bangkit, terduduk di ranjang, lalu mengacak rambutnya asal. Frustrasi karena merasa lemah iman juga minim penolakan. "Dilan ngeselin!""Ngeselin apa ngangenin?" Yang diumpat baru saja keluar dari kamar mandi, langsung menimpali tanpa merasa kesal sama sekali. Dilan mengusak rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang dikalungkan di leher, berjalan mendekati Sanaya yang tanpa sadar sudah menggodanya.Bayangkan, pemandangan indah yang disuguhkan Sanaya tentu akan memancing siapa saja yang memandang. Dua bukit indah yang ukurannya cukup lumayan di telapak tangan, menggantung sempurna, dihiasi jejak kissmark yang bertebaran. Semakin menambah kesan seksi.Sanaya melirik sinis ke arah Dilan yang duduk di tepi ranjang. "Kamu ngeselin! Aku 'kan udah bilang,
Saat ini Sanaya tengah bersiap-siap untuk akad nikah yang akan dilaksanakan secara dadakan dan beberapa jam lagi. Para asisten yang dibawa mami Anne tengah sibuk sedari tadi membantu sang calon pengantin di ruangan lain yang disediakan oleh pihak Rumah Sakit.Kabar pernikahan dadakan tersebut rupanya sudah terdengar di telinga para staf Rumah Sakit termasuk Direktur yang kebetulan teman dari papinya Leo. Oleh karena itu, keluarga besar Wiratama diberikan pelayanan khusus agar acara tersebut bisa terlaksana dengan baik dan lancar.Sementara itu, ayah Wili menunggu di ruang perawatan dengan ditemani papinya Leo, dan dokter Danu sebagai saksi dari pihak perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki, papinya Leo menunjuk asistennya untuk menjadi saksi.Dilan yang diminta ayah Wili untuk mencari penghulu pun baru saja tiba dan langsung masuk ke ruang perawatan bersama pria paruh baya. Dia nampak tenang walaupun dadanya merasa sangat sesak.Maniknya berpendar mengelilingi seluruh ruangan, menca