Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Hola! Ketemu di novel baru aku, hihii...Happy reading, semoga suka!***“Sanaya! Sanaya!”Seorang pria berperawakan tinggi tegap berteriak seraya berjalan tergesa-gesa menuju di mana ruangan seorang perempuan bernama Sanaya berada. Raut wajahnya terlihat murka dan kesal. Semua pengunjung yang berada di Restoran itu memusatkan perhatiannya pada Leo yang sama sekali tak peduli bila sikapnya itu sudah mengganggu ketenangan para tamu.Pun dengan para pelayan yang tengah berseliweran di area itu. Beberapa dari mereka berbisik-bisik membicarakan sikap pria yang sangat mereka kenali.“Pasti dia mau marah-marah lagi sama Mbak Sanaya,” kata pelayan berambut ikal dan berwarna hitam. Dia berbisik dengan rekannya sambil sibuk membereskan meja bekas pelanggan.“Iya. Kalo ke sini pasti mau marah-marah doang. Punya tunangan, kok, galaknya ngelebihin herder. Ih! Kalo aku, sih, ogah! Biarpun dia ganteng terus kaya tujuh turunan,” sahut pelayan yang rambutnya di ikat ke belakang. Bibirnya komat-kamit
Happy reading! Semoga suka😚***Sanaya terhenyak ketika Dilan meraih tangannya, lalu membawanya masuk ke ruangan. Pandangan perempuan itu tertuju pada tangan Dilan yang menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu menuntunnya perlahan dan hati-hati.Ah, seandainya Leo bisa bersikap lembut seperti Dilan, mungkin dirinya akan mudah jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu. Sayangnya, Leo dan Dilan memiliki perbedaan bak langit dan bumi. Dilan ibarat malaikat penjaganya, sementara Leo ibarat malaikat pencabut nyawanya.‘Hfuuh ....’ Sanaya membuang kasar napasnya, seraya meringis menahan nyeri yang berasal dari sudut bibirnya yang sedikit robek.“Duduk sini, Mbak. Aku ambilin kotak obat dulu,” ucap Dilan, lalu mendudukkan Sanaya di sofa panjang yang berada di sudut ruangan tersebut.Sanaya terduduk sambil memandangi punggung lebar Dilan yang terbalut kemeja hitam. Diam-diam, diperhatikannya sikap pemuda itu yang begitu perhatian padanya. Dia lantas berpikir, entah akan seperti apa jadinya bil
Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa malam telah menjelang. Sanaya yang menuruti perkataan Dilan untuk tetap berada di ruangannya, lama-kelamaan pun mulai merasa bosan. Lagi pula, jam kerja juga sudah lewat, dan ini waktunya dia pulang.“Mending aku pulang aja, deh. Udah jam tujuh ternyata.” Sanaya lantas beranjak dari kursi, lalu mengambil tas yang ada di meja kerjanya.Namun, sebelum itu dia ingin mencari Dilan terlebih dulu. Sanaya tidak mau pemuda itu merasa khawatir saat tidak menemukannya di sini. Oleh karena itu, lebih baik dia memutuskan untuk berpamitan.Begitu keluar dari ruangan, tempat pertama yang dituju adalah ruangan Dilan yang berada tak jauh dari ruangannya. Akan tetapi, saat Sanaya membuka pintunya, sosok yang dicari tidak sedang berada di tempat.“Mungkin Dilan lagi di depan?” Sanaya bergumam setelah menutup pintu itu lagi. Dia berbalik, hendak mencari Dilan yang biasanya pada jam segini berada di meja kasir. Sanaya lupa, jika Dilan selalu berada di sana pada jam
Dengan langkah pelan, Dilan dan Sanaya berjalan bersisian menuju ke dalam. Tepat, di saat itu pula, hujan di luar sana semakin deras. Suara petir bahkan terdengar menggelegak bersahut-sahutan.“Tuh ‘kan, saya bilang apa. Hujannya pasti tambah deres,” ucap Sanaya, yang menoleh sekilas ke Dilan. Mereka hampir tiba menuju lorong gedung tersebut, melewati beberapa orang yang keluar masuk.“Iya, Mbak. Aku pikir tadi cuma bentar. Eh, tahunya malah deres. Mana enggak bawa jas hujan lagi.” Dilan membalas perkataan Sanaya sambil terkekeh, menggaruk tengkuknya guna menutupi rasa canggung yang ada. Dia dan Sanaya kini berada di dalam lift hanya berdua.“Kamu juga, harusnya sedia jas hujan, Dilan. Kita ‘kan enggak pernah tahu kapan hujan turun? Ya ... kaya sekarang ini,” timpal Sanaya, lagi-lagi mengingatkan pemuda yang berdiri di sampingnya.Dilan melempar senyum konyol. “Hehe ... iya, Mbak. Suka enggak kepikiran.”Sanaya menanggapinya dengan gelengan kepala. Bisa-bisanya Dilan tidak memikirkan
"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai."Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan....""Iya, Mbak.""Boleh saya minta sesuatu?""Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh."Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu."Terus apa dong, Mbak?""Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, La