Share

Kebohongan Ibu

AKHIRNYA ISTRIKU BERHENTI MEMINTA BANTUANKU

#6

Sore ini, aku memutuskan untuk segera pulang karena berharap Indah dan putriku sudah menunggu di rumah. Entah mengapa, aku menjadi begitu merindukan istriku setelah ia pergi.

Padahal, belum ada dua puluh empat jam setelah ia benar-benar pergi dari rumah. Namun, aku merasa telah ditinggal begitu lama olehnya.

Mungkin karena sikap tidak perduli yang selama ini aku tunjukan. Aku benar-benar menyesal telah membuat ia terluka seperti saat ini.

Andai saja aku bisa menghargai dia sedikit saja. Mungkin ia masih berada disini bersamaku. Benar, apa yang di katakan Indah. Bayi itu anak kami, bukan hanya anaknya.

Seharusnya aku lebih menyadari hal itu, akan tetapi semua penyesalan ini terasa percuma. Aku bahkan tidak bisa menjadi pelindung untuknya.

"Assalamualaikum."

Aku ketuk pintu dan mengucapkan salam, berharap Indah akan membuka pintu dan menyambut kedatanganku. Ingin rasanya aku memeluk tubuh lemah itu dan mengucapkan maaf beberapa kali sampai ia benar-benar memaafkan aku.

Namun, semua hanyalah khayalan semata. Tidak ada satupun orang yang menyambut kedatanganku, hanya kesunyian yang ada di dalam ruangan ini.

Ruang tamu yang masih tertutup gorden dan ruang makan yang penuh dengan piring berserakan. Aku menghela nafas panjang, kemudian segera masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian.

Kamar yang biasa di pakai Indah untuk menidurkan bayinya. Masih terkenang wajah lelah istriku yang tengah menyusui di sudut rajang.

Astaghfirullah, ia kelelahan selama ini. Namun, dengan egois aku justru terus merundungnya. Perlahan aku rebahkan tubuhku di atas kasur, mencium aroma tubuh Indah yang masih tertinggal disini.

Kemana harus aku mencari wanita yang telah aku sia-siakan? Apakah mungkin ia pulang ke rumah orangtuanya? Namun, aku takut ia tidak benar-benar kesana.

Aku takut mertuaku justru akan menanyakan tentang kepergian Indah. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa aku memperlakukan dia dengan sangat buruk sehingga ia memutuskan untuk pergi.

Langit sudah mulai gelap, tanpa terasa aku terjaga setelah beberapa nyamuk mengigit tanganku. Rupanya aku bari saja terlelap setelah memeluk bantal kesayangan Indah sembari mencium aroma tubuhnya disini.

Segera aku bangkit dan membereskan piring-piring yang semalam aku pakai untuk makan. Setelah itu, aku nyalakan lampu teras dan lampu depan.

Diluar nampaknya akan hujan, tapi Indah tak juga kembali. Bagaimana jika ia dan putriku kehujanan? Ya Allah, kemana aku harus mencarinya?

Dalam lamunan tentang istri dan anakku, perutku terasa sangat lapar. Namun, aku sadar tak ada apapun yang bisa di makan. Hingga aku memutuskan untuk pergi ke rumah ibuku yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku.

"Assalamualaikum, Bu," sapaku saat sampai di rumah ibu.

"Waalaikumsalam," jawab ibu seraya membuka pintu.

Wajahnya terlihat kesal dan cemberut. Entah apa yang terjadi dengan beliau, padahal biasanya wajah beliau selalu berseri-seri.

"Kenapa Bu?" tanyaku.

"Capek, habis beresin rumah. Gara-gara Indah kabur jadi ibu harus kerjain semua sendiri!" cetus beliau.

"Kan Bayu juga udah kasih uang buat bayar orang Bu, kenapa nggak cari orang aja sih?" tanyaku.

"Nggak-nggak! Pembantu sekarang bayaran minta mahal, mana kerjanya nggak mau sampe malem. Males ibu!" ketus beliau.

Rumah ibu yang begitu besar dan banyaknya benda-benda antik disini. Mungkinkah selama ini Indah yang membersihkan semua sepanjang hari? Ya Allah, pantas saja ia sering mengeluh kecapekan.

"Bu, Indah kalau disini makan berapa kali?" tanyaku.

Wajah ibu nampak panik ketika aku menanyakan hal tersebut. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa takut jika Ibu tidak pernah memberikan makan kepada istriku selamat mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini.

Padahal aku selalu memberikan uang yang cukup untuk ibuku agar beliau bisa membeli semua kebutuhan di rumah ini. Terkadang, aku bahkan lebih mementingkan gajiku untuk ibu daripada untuk istriku.

Ya Allah, mengapa semua baru terasa saat Indah sudah tidak ada disini?

"Makan kok, banyak dia tuh makannya. Rugi ibu!" jawab beliau.

Namun, wajah panik ibu tidak bisa menyembunyikan bahwa ia tengah berbohong. Aku paham betul raut wajah ibu ketika tengah berbohong atau tidak.

Hanya saja aku tidak mungkin mengatakan dan langsung untuk ibu berbohong karena aku sama seperti tidak memiliki bukti apapun, akan tetapi aku benar-benar merasa bersalah atas kepergian istriku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status