Share

Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku
Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku
Penulis: Sriayu23

Acara Keluarga

"Mas, apa benar keponakanmu, Habil mau sunatan?"

Aku langsung menatap gugup ke arah Eva. Berusaha setenang mungkin. Jangan sampai dia tahu apa yang sedang aku sembunyikan darinya.

"Lah, kata siapa, Dek?"

"Kata Lala, sahabatku yang rumahnya deket perumahan Mbak Neli."

"Terus kamu percaya?" Eva hanya menggeleng. Tangannya fokus menata baju-bajuku ke dalam koper.

"Gak usah dipercaya si Lala. Dia 'kan suka nyebar gosip gak bener. Kalau ada acara di rumah Kakakku, pasti kamu di suruh datang."

"Iya juga yah, Mas."

"Ya iya toh, Dek. Jangan berpikir macam-macam. Doakan bisnis kopi Mas lancar, yah. Biar bisa cepat pulang ke rumah."

Maafkan aku, Eva. Suamimu ini telah berbohong. Aku bukan pergi bisnis kopi ke Lampung. Sebenernya, aku akan menghadiri acara sunatan Habil di jakarta. Aku tidak mungkin mengajak istri yang kampungan seperti Eva. Mbak Neli bisa marah-marah. Maklum saja, dia sudah lama hidup di kota. Gaya dan pergaulannya juga cukup moderen. Berbeda dengan Eva. 

Aku dan Eva memang tinggal di kaki gunung selamet. Daerah Sirampog, Brebes. Di sini, aku mengurus kebun dan pabrik kopi warisan bapaknya Eva. Karena dia anak tunggal. 

Penampilanku sudah modis. Namun, tidak dengan istriku. Meskipun, semua harta miliknya, tapi dia tak pernah bergaya bagai orang kaya. Selalu kucel, dan kampungan.

"Ini Mas sudah beres."

"Matur suwun, Dek. Ayok, kita ke depan."

Eva hanya tersenyum sambil menggandeng tanganku. Kami bergegas menuju garasi mobil. 

"Mas, jangan lama-lama yah, bisnis ke Lampungnya. Adek takut di rumah sama Lik Janah doang."

"Iya Dek. Kamu 'kan sudah biasa Mas tinggal ke luar kota. Tumben ngomong kaya gitu."

"Emang sih udah sering. Tapi kali ini, perasaan Adek gak enak. Mas, kaya aneh gitu."

"A-aneh gimana, Adek Sayang?"

Aku elus kepala Eva. Agar dia tidak kebanyakan berpikir negatif. Berusaha bersikap semanis mungkin di depannya. Agar tak curiga.

"Ya, aneh aja. Masa ada pemilik kafe yang mau kerja sama, tapi harus Mas yang ke sana. Harusnya tinggal kita kirim saja bubuk kopi pabrik kita. Nanti, kalau setuju baru diadakan perjanjian kerja secara online."

Aku cukup tersentak mendengar penuturan Eva. Sejak kapan Eva mau ikut campur tentang penjualan. Selama ini, Eva hanya sibuk di rumah dan perkebunan kopi. Mengawasi para pemetik kopi. Tidak pernah ikut campur masalah pemasaran ataupun perjanjian kerja sama dengan costumer. Dia hanya bagian memberi gaji para warga desa yang sebagian besar menjadi buruh di perkebunan kami.

"Sudahlah, Dek. Masalah produksi, pemasaran dan konsumen biar Mas yang ngatur. Namanya juga penjualan skala besar. Wajar jika costumer ingin langsung bertemu."

"Tapi, Mas, gegara sering ngurus bisnis kopi. Aku dan kamu tidak pernah ada waktu berkunjung ke rumah ibu dan kakak-kakamu di Jakarta."

"Kapan-kapan kita main ke sana, yah."

"Ya sudahlah. Tapi Mas janji yah, nanti kita adakan makan-makan keluarga di rumah Ibu. Biar aku lebih dekat dengan Kakak, adik dan saudara-saudara kamu."

"Siap, Istriku yang paling cantik."

Aku cium kening Eva. Beruntunglah, dia langsung bisa dijinakkan hanya dengan kecupan. Bahaya jika terus bertanya panjang kali lebar. Aku takut, dia curiga. 

Hampir sembilan jam, perjalanan dari kampung Eva menuju rumah kakakku. Setelah sampai, semua keluarga sudah berkumpul. Tradisi keluarga besar kami, memang selalu kumpul bersama jika ada acara besar. Sebagian sanak saudara sengaja menginap.

"Akhirnya, anak Ibu datang juga."

"Iya Bu, cape banget nyetir mobil sendiri."

"Mangkanya nyewa supir pribadi, Di" sambung Mbak Ratna. Dia Kakakku paling tua.

Aku adalah anak nomer tiga dari empat bersaudara. Anak lelaki satu-satunya. Hanya punya satu adik perempuan yang masih sekolah kelas tiga SMA.

"Adi sudah pernah nyari supir. Tapi gak boleh sama Eva."

"Lah, pelit banget istrimu. Duitnya banyak juga," sergah Mbak Neli.

"Emang si Eva tuh pelit. Kalau mau minjem duit ama dia, harusnya kita yang ke sana. Alesannya biar sekalian silaturahmi. Lah, males banget main ke pelosok desa."

Seperti biasa, Mbak Ratna selalu berkomentar bagai netizen. Padahal, selama ini Eva tetap memberi pinjaman. Walaupun Mbak Ratna tidak mau berkunjung ke rumah kami. Aku juga heran, Kenapa kakakku sering mencibir Eva. Sejujurnya, Eva perempuan yang baik. Namun, sayang, aku tidak pernah mencintainya.

"Habil jam berapa disunatnya Mbak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

"Besok pagi jam 07.00, Di. Mending kamu istirahat dulu."

"Iya, Mbak. Cape banget badanku."

"Ya sudah, istirahat Di."

"Iya Bu."

"Nayla udah nunggu di kamar," bisik Mbak Ratna.

Aku hanya bisa tersenyum tipis. Ada rasa bahagia yang tak tergambarkan. Seisi hati berbunga-bunga saat di pertemukan pujaan hati. Namun, di sisi lain sanubari rasanya tak tega menghianati istri yang baik dan berbakti seperti Eva. 

******

Matahari pagi sudah memancarkan cahayanya. Aku sengaja menunggu di rumah. Ibu, Mbak Neli dan Mas Hendri yang pergi ke klinik. Aku bertugas menunggu dan menyambut tamu atau sanak saudara yang sudah datang.

"Mas, mau makan dulu?"

"Nanti aja, Nay. Masih pagi banget."

"Oke deh. Kita langsung ke depan."

Aku menggandeng Nayla ke depan. Jika bersamanya, aku merasa menjadi pria paling beruntung. Mendapatkan perempuan berkulit putih, berbadan seksi, dan berperangai lemah lembut. Nayla bagai bidadari surga. Tak ada cacat sedikitpun di mataku. Dia perempuan cerdas. Bisa menyeimbangkan gaya hidup keluargaku yang kekinian.

"Wah, hebat. Bisa dapet cowok tajir, nih," sindir Gibran--mantan pacar Nayla sekaligus saudara sepupuku.

"Mas ...." 

Nayla memegang tanganku erat. Wajahnya nampak murung. Dia sangat risih atas ucapan Gibran. Sepupuku memang selalu sirik dengan pencapaianku. Apalagi, saat tahu perempuan yang dia sayangi lebih memilihku.

"Kenapa? kesindir? kenyataannya gitu. Adi, Adi, mata batin lu udah buta karena cinta. Suatu saat, lu bakal sadar dan nyesel punya istri kaya Nayla."

Keluarga besarku hanya mengetahui bahwa Nayla adalah istri yang pertama dan satu-satunya. Mereka tidak pernah tahu tentang Eva. Karena pernikahanku dengan Eva hanya di hadiri Ibu, Kakak, Adik dan Lik Sumi--Ibunya Gibran. Lik Sumi sengaja aku suruh menyembunyikan pernikahanku dengan Eva.

"Tutup mulut lu, Gibran!"

"Kenapa? lu mau mukul gua? pukul aja."

Tanganku mengepal kuat. Urat-urat nampak jelas, saking kesalnya. Wajah merah padam. Menatap nyalang ke arah Gibran.

Bugh!

Bugh!

Pertengkaran, akhirnya terjadi. Aku tak kuasa menahan amarah yang memuncak. Bagai lahar gunung kerakatau. Siap melahap setiap elemen yang menghadang.

"Wes, mandek!" (Sudah berhenti)

"Jangan hentikan aku, Bu. Biar Adi sadar. Bahwa perempuan yang dia pilih itu berhati buruk."

"Sudah!"

Lik Sumi anaknya. Gibran membocorkan tak percaya. Dia tersenyum sinis. Segera pergi meninggalkan kami dengan raut kecewa.

"Maaf, Nang," ucap Lik Sumi pelan.

"Bagus. Lilik ajari Gibran biar gak kurang ajar." 

"Iya Di."

Lik Sumi Berlalu begitu saja. Dia tak akan berani membantah. Wataknya berbeda jauh dengan Bapakku--Kakak kandungnya. Lik Sumi lebih pendiam dan selalu mengalah, di bandingkan kakaknya yang keras kepala. Tidak heran, jika watak Bapak juga menuruni.

"Mas gak papa?"

"Gak papa, Nay. Jangan lupa Gibran." Nayla hanya mengangguk. Wajahnya masih lemah lembut. Dia tidak memaki Gibran sama sekali. Aku heran, kenapa Gibran selalu memfitnah Nayla dengan tuduhan keji. Padahal, sudah beberapa bulan pernikahan, tak ada yang buruk dari sikap Nayla.

"Eva?"

Kornea mataku lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. keberadaanya mulai terhalangi rombongan keluarga dan sudaraku yang baru datang dari klinik.

"Siapa Mas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status