Aku langsung menatap gugup ke arah Eva. Berusaha setenang mungkin. Jangan sampai dia tahu apa yang sedang aku sembunyikan darinya.
"Lah, kata siapa, Dek?"
"Kata Lala, sahabatku yang rumahnya deket perumahan Mbak Neli."
"Terus kamu percaya?" Eva hanya menggeleng. Tangannya fokus menata baju-bajuku ke dalam koper.
"Gak usah dipercaya si Lala. Dia 'kan suka nyebar gosip gak bener. Kalau ada acara di rumah Kakakku, pasti kamu di suruh datang."
"Iya juga yah, Mas."
"Ya iya toh, Dek. Jangan berpikir macam-macam. Doakan bisnis kopi Mas lancar, yah. Biar bisa cepat pulang ke rumah."
Maafkan aku, Eva. Suamimu ini telah berbohong. Aku bukan pergi bisnis kopi ke Lampung. Sebenernya, aku akan menghadiri acara sunatan Habil di jakarta. Aku tidak mungkin mengajak istri yang kampungan seperti Eva. Mbak Neli bisa marah-marah. Maklum saja, dia sudah lama hidup di kota. Gaya dan pergaulannya juga cukup moderen. Berbeda dengan Eva.
Aku dan Eva memang tinggal di kaki gunung selamet. Daerah Sirampog, Brebes. Di sini, aku mengurus kebun dan pabrik kopi warisan bapaknya Eva. Karena dia anak tunggal.
Penampilanku sudah modis. Namun, tidak dengan istriku. Meskipun, semua harta miliknya, tapi dia tak pernah bergaya bagai orang kaya. Selalu kucel, dan kampungan.
"Ini Mas sudah beres."
"Matur suwun, Dek. Ayok, kita ke depan."
Eva hanya tersenyum sambil menggandeng tanganku. Kami bergegas menuju garasi mobil.
"Mas, jangan lama-lama yah, bisnis ke Lampungnya. Adek takut di rumah sama Lik Janah doang."
"Iya Dek. Kamu 'kan sudah biasa Mas tinggal ke luar kota. Tumben ngomong kaya gitu."
"Emang sih udah sering. Tapi kali ini, perasaan Adek gak enak. Mas, kaya aneh gitu."
"A-aneh gimana, Adek Sayang?"
Aku elus kepala Eva. Agar dia tidak kebanyakan berpikir negatif. Berusaha bersikap semanis mungkin di depannya. Agar tak curiga.
"Ya, aneh aja. Masa ada pemilik kafe yang mau kerja sama, tapi harus Mas yang ke sana. Harusnya tinggal kita kirim saja bubuk kopi pabrik kita. Nanti, kalau setuju baru diadakan perjanjian kerja secara online."
Aku cukup tersentak mendengar penuturan Eva. Sejak kapan Eva mau ikut campur tentang penjualan. Selama ini, Eva hanya sibuk di rumah dan perkebunan kopi. Mengawasi para pemetik kopi. Tidak pernah ikut campur masalah pemasaran ataupun perjanjian kerja sama dengan costumer. Dia hanya bagian memberi gaji para warga desa yang sebagian besar menjadi buruh di perkebunan kami.
"Sudahlah, Dek. Masalah produksi, pemasaran dan konsumen biar Mas yang ngatur. Namanya juga penjualan skala besar. Wajar jika costumer ingin langsung bertemu."
"Tapi, Mas, gegara sering ngurus bisnis kopi. Aku dan kamu tidak pernah ada waktu berkunjung ke rumah ibu dan kakak-kakamu di Jakarta."
"Kapan-kapan kita main ke sana, yah."
"Ya sudahlah. Tapi Mas janji yah, nanti kita adakan makan-makan keluarga di rumah Ibu. Biar aku lebih dekat dengan Kakak, adik dan saudara-saudara kamu."
"Siap, Istriku yang paling cantik."
Aku cium kening Eva. Beruntunglah, dia langsung bisa dijinakkan hanya dengan kecupan. Bahaya jika terus bertanya panjang kali lebar. Aku takut, dia curiga.
Hampir sembilan jam, perjalanan dari kampung Eva menuju rumah kakakku. Setelah sampai, semua keluarga sudah berkumpul. Tradisi keluarga besar kami, memang selalu kumpul bersama jika ada acara besar. Sebagian sanak saudara sengaja menginap.
"Akhirnya, anak Ibu datang juga."
"Iya Bu, cape banget nyetir mobil sendiri."
"Mangkanya nyewa supir pribadi, Di" sambung Mbak Ratna. Dia Kakakku paling tua.
Aku adalah anak nomer tiga dari empat bersaudara. Anak lelaki satu-satunya. Hanya punya satu adik perempuan yang masih sekolah kelas tiga SMA.
"Adi sudah pernah nyari supir. Tapi gak boleh sama Eva."
"Lah, pelit banget istrimu. Duitnya banyak juga," sergah Mbak Neli.
"Emang si Eva tuh pelit. Kalau mau minjem duit ama dia, harusnya kita yang ke sana. Alesannya biar sekalian silaturahmi. Lah, males banget main ke pelosok desa."
Seperti biasa, Mbak Ratna selalu berkomentar bagai netizen. Padahal, selama ini Eva tetap memberi pinjaman. Walaupun Mbak Ratna tidak mau berkunjung ke rumah kami. Aku juga heran, Kenapa kakakku sering mencibir Eva. Sejujurnya, Eva perempuan yang baik. Namun, sayang, aku tidak pernah mencintainya.
"Habil jam berapa disunatnya Mbak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Besok pagi jam 07.00, Di. Mending kamu istirahat dulu."
"Iya, Mbak. Cape banget badanku."
"Ya sudah, istirahat Di."
"Iya Bu."
"Nayla udah nunggu di kamar," bisik Mbak Ratna.
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Ada rasa bahagia yang tak tergambarkan. Seisi hati berbunga-bunga saat di pertemukan pujaan hati. Namun, di sisi lain sanubari rasanya tak tega menghianati istri yang baik dan berbakti seperti Eva.
******
Matahari pagi sudah memancarkan cahayanya. Aku sengaja menunggu di rumah. Ibu, Mbak Neli dan Mas Hendri yang pergi ke klinik. Aku bertugas menunggu dan menyambut tamu atau sanak saudara yang sudah datang.
"Mas, mau makan dulu?"
"Nanti aja, Nay. Masih pagi banget."
"Oke deh. Kita langsung ke depan."
Aku menggandeng Nayla ke depan. Jika bersamanya, aku merasa menjadi pria paling beruntung. Mendapatkan perempuan berkulit putih, berbadan seksi, dan berperangai lemah lembut. Nayla bagai bidadari surga. Tak ada cacat sedikitpun di mataku. Dia perempuan cerdas. Bisa menyeimbangkan gaya hidup keluargaku yang kekinian.
"Wah, hebat. Bisa dapet cowok tajir, nih," sindir Gibran--mantan pacar Nayla sekaligus saudara sepupuku.
"Mas ...."
Nayla memegang tanganku erat. Wajahnya nampak murung. Dia sangat risih atas ucapan Gibran. Sepupuku memang selalu sirik dengan pencapaianku. Apalagi, saat tahu perempuan yang dia sayangi lebih memilihku.
"Kenapa? kesindir? kenyataannya gitu. Adi, Adi, mata batin lu udah buta karena cinta. Suatu saat, lu bakal sadar dan nyesel punya istri kaya Nayla."
Keluarga besarku hanya mengetahui bahwa Nayla adalah istri yang pertama dan satu-satunya. Mereka tidak pernah tahu tentang Eva. Karena pernikahanku dengan Eva hanya di hadiri Ibu, Kakak, Adik dan Lik Sumi--Ibunya Gibran. Lik Sumi sengaja aku suruh menyembunyikan pernikahanku dengan Eva.
"Tutup mulut lu, Gibran!"
"Kenapa? lu mau mukul gua? pukul aja."
Tanganku mengepal kuat. Urat-urat nampak jelas, saking kesalnya. Wajah merah padam. Menatap nyalang ke arah Gibran.
Bugh!
Bugh!
Pertengkaran, akhirnya terjadi. Aku tak kuasa menahan amarah yang memuncak. Bagai lahar gunung kerakatau. Siap melahap setiap elemen yang menghadang.
"Wes, mandek!" (Sudah berhenti)
"Jangan hentikan aku, Bu. Biar Adi sadar. Bahwa perempuan yang dia pilih itu berhati buruk."
"Sudah!"
Lik Sumi anaknya. Gibran membocorkan tak percaya. Dia tersenyum sinis. Segera pergi meninggalkan kami dengan raut kecewa.
"Maaf, Nang," ucap Lik Sumi pelan.
"Bagus. Lilik ajari Gibran biar gak kurang ajar."
"Iya Di."
Lik Sumi Berlalu begitu saja. Dia tak akan berani membantah. Wataknya berbeda jauh dengan Bapakku--Kakak kandungnya. Lik Sumi lebih pendiam dan selalu mengalah, di bandingkan kakaknya yang keras kepala. Tidak heran, jika watak Bapak juga menuruni.
"Mas gak papa?"
"Gak papa, Nay. Jangan lupa Gibran." Nayla hanya mengangguk. Wajahnya masih lemah lembut. Dia tidak memaki Gibran sama sekali. Aku heran, kenapa Gibran selalu memfitnah Nayla dengan tuduhan keji. Padahal, sudah beberapa bulan pernikahan, tak ada yang buruk dari sikap Nayla.
"Eva?"
Kornea mataku lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. keberadaanya mulai terhalangi rombongan keluarga dan sudaraku yang baru datang dari klinik.
"Siapa Mas?"
"Eva?"Kornea mataku membulat lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. Keberadaannya mulai terhalangi rombongan keluarga dan suadaraku yang baru datang dari klinik."Siapa Mas?""Ti-tidak, Nay. Ayok, kita sambut Habil."Jangan sampai Nayla tahu kecemasanku saat ini. Walaupun, Nayla memang sudah mengetahui statusku sebagai pria beristri, tapi bahaya jika mereka saling bertemu di acara sunatan. Bisa malu Mbak Neli kalau terjadi keributan."Mas mau ke mana?""Aku ke sana dulu, sebentar."Aku sengaja melangkah menuju rombongan. Ingin memastikan perempuan berkacamata yang terlihat misterius. Nayla, sengaja aku suruh tunggu di tenda acara."Kenapa, Di?" tanya Mbak Neli.Wajah Mbak Neli nampak bingung melihat gelagat aneh yang aku tunjukan. Sedangkan mataku terus melirik ke segala penjuru. Namun, nihil. Perempuan itu sudah menghilang. Padahal, aku yakin sekali dia sedang memandang ke arahku. Kapan dia pergi? ap
"Halah, jangan banyak omong. Pergi!"Mbak Neli meraung sambil menangis. Dia berada dalam pelukan ibu. Aku tahu perasaannya. Pasti kacau karena kejadian ini."Bangunkan mereka," perintah Bapak tua.Salah seorang anak buahnya mencipratkan air. Orang-orang yang tadi kesurupan dan pingsan, mulai sadarkan diri. Mereka bergegas keluar dari tenda hajatan."Dasar gila!"Mbak Ratna melempar Aqua gelas yang berserakan di tanah. Meluapkan emosi yang membuncah. Dia memang paling bar bar. Tak akan terima jika adiknya disakiti."Mending kita bubar aja, guys. Serem di sini. Pasti mereka banyak duitnya gak wajar. Mangkanya diganggu makhluk halus."Celetuk seorang perempuan tukang gosip. Dia menggiring opini buruk kepada para tamu yang hadir. Satu persatu, para tamu membubarkan diri."Maria, apa benar si Adi punya istri lain? atau salah satu anakmu nyewa jasa pesugihan?" tanya salah satu saudara kepada ibuku."Heh, Uwa Erna jangan bicara yang sembarangan. Istri Adi hanya satu, Nayla. Terus yah, kelu
[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?"Hallo, Dek?"Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?"Iya, Mas kenapa?""Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?""Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?""Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng.""Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa.""Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah.""Iya."Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayl
"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan.""Saya bukan pem-"Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. "Ratna, bawa Nayla ke kamar.""Oke, Bu.""Ayok, Nay.""Tapi, Mbak, Bu ...." "Masuk!" bentak Ibu geram.Tak ada yang bisa membantah ucapan Ibu. Nayla yang awalnya nampak ingin membongkar pernikahan kami, tiba-tiba tak bisa berkutik. Mbak Ratna, dengan sigap menariknya masuk ke kamar. Sedangkan aku, hanya bisa mematung bagai seorang sapi yang dicucuk hidungnya. "Ibu pasti kesal juga yah, sama kelakuan pembantunya? sabar yah, Bu. Pembantu kadang suka gitu," ucap Eva dengan enteng.Dia malah duduk sambil meminum air putih. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Eva yang biasa aku kenal. Ada apa sebenarnya?"Istirahatlah, Eva. Kamu pasti capek. Soal Nayla, biar ibu yang urus."Aku yakin Ibu sebenarnya marah pada Eva. Namun tak ada yang berani melawan. Ibu maupun Mbak Ratna, selalu bersikap manis pada Eva. Meskipun, kenyataannya Eva hanya dimanfaatkan saja. Demi harta
POV Eva Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja. Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku. Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli. Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku. Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak b
POV Eva (cepat Bu, katakanlah!) "Gila. Mereka benar-benar gila." Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku. "Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu." "Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?" "Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?" "Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang." "Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu." Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan p
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi