Kornea mataku membulat lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. Keberadaannya mulai terhalangi rombongan keluarga dan suadaraku yang baru datang dari klinik.
"Siapa Mas?"
"Ti-tidak, Nay. Ayok, kita sambut Habil."
Jangan sampai Nayla tahu kecemasanku saat ini. Walaupun, Nayla memang sudah mengetahui statusku sebagai pria beristri, tapi bahaya jika mereka saling bertemu di acara sunatan. Bisa malu Mbak Neli kalau terjadi keributan.
"Mas mau ke mana?"
"Aku ke sana dulu, sebentar."
Aku sengaja melangkah menuju rombongan. Ingin memastikan perempuan berkacamata yang terlihat misterius. Nayla, sengaja aku suruh tunggu di tenda acara.
"Kenapa, Di?" tanya Mbak Neli.
Wajah Mbak Neli nampak bingung melihat gelagat aneh yang aku tunjukan. Sedangkan mataku terus melirik ke segala penjuru. Namun, nihil. Perempuan itu sudah menghilang. Padahal, aku yakin sekali dia sedang memandang ke arahku. Kapan dia pergi? apa aku hanya halusinasi? ah, tak mungkin.
"Adi, kenapa sih?"
Mbak Neli menepuk keras pundakku. Membuatku tersadar dari pikiran-pikiran negatif. Kami hanya berdua saja di dekat parkiran motor dan mobil para tamu undangan. Habil sudah digendong masuk oleh Mas Hendri. Diiringi para rombongan keluarga.
"Tadi Adi liat Eva, Mbak."
"Apa Eva? gak mungkin dia ke sini. Mana tahu dia alamat rumahku."
Betul juga ucapan Mbak Neli. Hampir satu tahun menikah, Eva tak pernah aku ajak berkunjung ke rumah Kakak apalagi saudaraku. Hanya tahu rumah ibu. Itupun sebelum kami menikah. Saat hari pemakaman Bapak. Setelah menikah, aku selalu ada di rumah Eva. Hanya keluar kota saat ada acara bisnis dan berkunjung ke rumah ibu. Sekalian bertemu Nayla. Karena dia sengaja tinggal bersama ibuku.
"Sudahlah,Di. Ayok kita masuk."
Mbak Neli menarik paksa. Aku hanya bisa pasrah dalam cengkeramannya. Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Aku takut kedatangan perempuan misterius itu akan mendatangkan hal-hal yang tak diinginkan. Dia seperti mata-mata yang sengaja mengintai keluargaku. Apa ini Hanya perasaanku saja?
"Mas kenapa?" tanya Nayla dengan lembut sambil bergelayut manja.
"Enggak Nay. Mungkin suasananya terlalu rame, jadi bikin pusing."
"Oh gitu. Ya udah, Mas duduk aja."
Aku dan Nayla duduk bersama di halaman depan yang sudah dipasang tenda. Acara sunatan Habil sangat ramai. Hampir sama seperti hajatan pernikahan. Mbak Neli sengaja mengundang tetangga dan teman kerja Mas Hendri. Ibu juga, mengajak ibu-ibu arisan yang biasa kumpul bersamanya.
Habil dan orang tuanya duduk di tempat khusus yang sudah dihias bagai pelaminan. Ada tiga tempat duduk. Dihiasi tenda berenda cream, dengan balon-balon di sampingnya. Di tambah beberapa hiasan Bunga.
"Assalamualaikum."
Netraku menatap bingung. Segerombolan orang datang dengan kostum tertentu. Mereka membawa kuda-kudaan dari kayu serta pecut. Musik hajatan tiba-tiba berhenti. Semua mata menatap heran.
"Mas, mereka mau ngapain?"
"Gak tahu, Nay. Apa Mbak Neli sengaja ngundang kuda lumping buat hiburan?"
"Aku gak tahu, Mas."
"Di, kamu yang ngundang mereka?" Tiba-tiba Mbak Neli menghampiriku.
"Lah, aku kira Mbak yang ngundang."
"Dih, gak level aku ngundang hiburan kaya gini."
"Aneh. Mereka nampaknya mau menampilkan kesenian kuda lumping. Aku sering melihatnya di kampung Eva. Di sana biasa di sebut Ebeg."
"Ih, kenapa modelan kaya gini ada di Jakarta? hiburan kampungan. Malu-maluin aja."
"Mana Adi tahu, Mbak."
"Ya udah, biar Mbak usir saja."
"Jangan, Mbak. Nanti jadi heboh. Mbak gak malu?"
"Iya juga sih."
"Ya udah, kita liatin aja."
Mbak Neli hanya bisa menatap sinis ke arah para pemain kuda lumping. Sedangkan mereka, sedang mempersiapkan kesenian daerah tersebut. Musik khusus pengiring kuda lumping mulai dinyalakan.
Tiga orang permain kuda lumping mulai menaiki kuda-kudaan. Berjoget ke sana ke mari. Bagai seorang kuda. Jujur, hawa mistis terasa saat melihat kesenian ini. Karena biasanya, dalam acara kuda lumping selalu ada pemain yang kesurupan.
Bruk!Seorang pemain menendang meja. Sehingga, membuat makananan dan piring-piring yang ada di atasnya jatuh berserakan. Menimbulkan suara yang nyaring. Hampir mengalahkan suara musik yang mengiringi.
"Keluarga setan!"
"Keluarga setan!"
Orang itu terus berteriak. Suaranya terdengar jelas meskipun bersandingan dengan musik. Dia Menghancurkan semua yang ada di hadapannya.
"Hei, apa-apa ini!"
Mbak Neli langsung berlari ke arah pemain kuda lumping. Dia menghampiri seorang pria paruh baya yang memakai blanko. Tepatnya seorang bapak tua yang sedang sibuk komat kamit sambil memegang wadah tempat membakar kemenyan.
"Berhenti!"
"Diam."
Aku merasakan firasat buruk. Segera mendekati Mbak Neli. Takut terjadi apa-apa.
"Mas, di sini aja. Nayla takut."
"Sebentar Nay."
"Wahai semua manusia di sini, jangan mau memakan makanan dari keluarga setan seperti mereka, hahaha."
Seorang pria yang tadi sudah mengamuk, sekarang terus mengeluarkan kata-kata aneh.
"Ih, serem banget. Jangan-jangan Si Neli nyewa pesugihan kali yah," ucap beberapa tetangga yang sampai di telingaku dan juga Mbak Neli.
"Hey, berhenti! saya tidak pernah mengundang kalian ke sini!" Kakakku terus berteriak histeris.
Dia pasti merasa malu dan marah. Acara pesta sunatan anaknya jadi berantakan. Dua pemain kuda lumping lainnya masih berjoget-joget sambil menghancurkan semua hiasan dan hidangan yang tersedia. Sedangkan satu orang, terus meracau tak karuan. Mengatakan hal-hal buruk tentang keluargaku.
"Tolong hentikan kekacauan ini, Pak. Saya bisa laporkan kalian ke polisi," ancamku pada seorang bapak tua, pemimpin pasukan kuda lumping.
"Kami hanya mempersembahkan hiburan. Sesuai perintah."
Apa maksud perkataanya? siapa yang memerintahkan mereka? Apakah semua ini ulah Eva? tidak mungkin. Eva tak akan bisa bertindak segila ini. Atau semua ini ulah Gibran?
"Wahai manusia jagat raya, lihat pria ini. Dia benalu, dan tidak tahu malu, hahaha."
"Apa maksudmu?"
Rasa kesal mulai memuncak. Mereka sangat menguji kesabaran. Bukan hanya acara keponakanku yang dihancurkan, tapi orang asing itu terus berbicara macam-macam.
"Lanang kentir. Ora puas siji wadon."
(Pria gila. Tidak puas satu wanita)"Ora eling. Wes due bojo."
(Gak sadar. Sudah punya istri)"Si Adi selingkuh?"
"Pantesan jarang balik. Punya istri dua kali, yah."
Saudaraku yang rata-rata campuran suku Jawa, sangat memahami arti perkataan orang tersebut. Pertanyaan dan dugaan mulai terlontar. Kepalaku rasanya pusing mendengar omongan negatif dari mereka.
"Arrgh!""Adi!"
Sebuah pecutan tepat kena punggungku. Atraksi kuda lumping makin tak karuan. Mereka bukan mempersembahkan hiburan. Namun, bertindak anarkis.
"Cukup! berhenti!"
Ibu berjalan tergopoh-gopoh dari arah dalam rumah bersama Mbak Ratna. Dia pasti kaget melihat pemandangan yang luar biasa.
"Hei, pergi kalian! siapa yang menyuruh kalian ke sini. Cepat pergi!"
Mbak Ratna ikut mengamuk. Dia menghempaskan wadah kemenyan dari tangan si Bapak Tua.
"Sembrono! sampean wes buang kemenyan Iki. Kesengsaraan akan menimpa kalian."
(ceroboh! kamu sudah membuang kemenyan ini. Kesengsaraan akan menimpa kalian.)Bapak Tua mengungkapkan ketajaman ke arah keluargaku. Dia mengangkat tangan. Sebagai kode musik alunan. Tiga pemain yang kesurupan langsung jatuh pingsan.
"Kalian akan menemukan kesengsaraan, karena telah mengganggu kami untuk mengenang kesenian ini."
Bapak tua itu berbicara tepat di hadapanku. Bulu kuduk bergidik ngeri dengan ucapannya. Apa benar, akan ada penderitaan yang menerpaku dan keluarga karena kejadian ini?
"Halah, jangan banyak omong. Pergi!"Mbak Neli meraung sambil menangis. Dia berada dalam pelukan ibu. Aku tahu perasaannya. Pasti kacau karena kejadian ini."Bangunkan mereka," perintah Bapak tua.Salah seorang anak buahnya mencipratkan air. Orang-orang yang tadi kesurupan dan pingsan, mulai sadarkan diri. Mereka bergegas keluar dari tenda hajatan."Dasar gila!"Mbak Ratna melempar Aqua gelas yang berserakan di tanah. Meluapkan emosi yang membuncah. Dia memang paling bar bar. Tak akan terima jika adiknya disakiti."Mending kita bubar aja, guys. Serem di sini. Pasti mereka banyak duitnya gak wajar. Mangkanya diganggu makhluk halus."Celetuk seorang perempuan tukang gosip. Dia menggiring opini buruk kepada para tamu yang hadir. Satu persatu, para tamu membubarkan diri."Maria, apa benar si Adi punya istri lain? atau salah satu anakmu nyewa jasa pesugihan?" tanya salah satu saudara kepada ibuku."Heh, Uwa Erna jangan bicara yang sembarangan. Istri Adi hanya satu, Nayla. Terus yah, kelu
[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?"Hallo, Dek?"Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?"Iya, Mas kenapa?""Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?""Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?""Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng.""Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa.""Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah.""Iya."Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayl
"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan.""Saya bukan pem-"Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. "Ratna, bawa Nayla ke kamar.""Oke, Bu.""Ayok, Nay.""Tapi, Mbak, Bu ...." "Masuk!" bentak Ibu geram.Tak ada yang bisa membantah ucapan Ibu. Nayla yang awalnya nampak ingin membongkar pernikahan kami, tiba-tiba tak bisa berkutik. Mbak Ratna, dengan sigap menariknya masuk ke kamar. Sedangkan aku, hanya bisa mematung bagai seorang sapi yang dicucuk hidungnya. "Ibu pasti kesal juga yah, sama kelakuan pembantunya? sabar yah, Bu. Pembantu kadang suka gitu," ucap Eva dengan enteng.Dia malah duduk sambil meminum air putih. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Eva yang biasa aku kenal. Ada apa sebenarnya?"Istirahatlah, Eva. Kamu pasti capek. Soal Nayla, biar ibu yang urus."Aku yakin Ibu sebenarnya marah pada Eva. Namun tak ada yang berani melawan. Ibu maupun Mbak Ratna, selalu bersikap manis pada Eva. Meskipun, kenyataannya Eva hanya dimanfaatkan saja. Demi harta
POV Eva Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja. Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku. Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli. Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku. Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak b
POV Eva (cepat Bu, katakanlah!) "Gila. Mereka benar-benar gila." Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku. "Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu." "Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?" "Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?" "Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang." "Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu." Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan p
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi
Senyum merekah di wajah mereka. Seakan lega atas keputusanku. Mereka tidak tahu, semua ini bagian dari rencanaku. Rumah ini harus kosong, agar Gibran leluasa menjalankan rencana kami. Biarkan Nayla ikut. Di mana pun tempatnya, dia akan tetap aku perlakukan sebagai pembantu. "Wih, Asik banget kita bakal jalan-jalan sekeluarga. Bisa makan di restoran mewah. Pulangnya mampir ke mal. Iya Gak Va? nanti kamu Mbak ajak ke tempat barang-barang brended, biar makin modis." "Boleh, Mbak." "Makasih ya, Dek." Mas Adi mulai melembut kembali. Dia tersenyum bahagia. Sambil mengusap lembut tanganku. Tentunya dia gembira, karena aku mengajak semua keluarga bahkan gundiknya untuk jalan-jalan. Pasti mereka berpikir, aku rela menghamburkan uang untuk membiayai gengsi mereka. Dulu mungkin demikian. Sekarang, tentu tidak. Aku akan memberikan pelajaran berharga untuk semua keluarga Mas Adi. Agar mereka sadar, bahwa selama ini, hartaku ikut andil memberikan kebahagian kepada mereka. Jam menunjukan puk