Share

Eva Tiba-tiba Datang

"Halah, jangan banyak omong. Pergi!"

Mbak Neli meraung sambil menangis. Dia berada dalam pelukan ibu. Aku tahu perasaannya. Pasti kacau karena kejadian ini.

"Bangunkan mereka," perintah Bapak tua.

Salah seorang anak buahnya mencipratkan air. Orang-orang yang tadi kesurupan dan pingsan, mulai sadarkan diri. Mereka bergegas keluar dari tenda hajatan.

"Dasar gila!"

Mbak Ratna melempar Aqua gelas yang berserakan di tanah. Meluapkan emosi yang membuncah. Dia memang paling bar bar. Tak akan terima jika adiknya disakiti.

"Mending kita bubar aja, guys. Serem di sini.   Pasti mereka banyak duitnya gak wajar. Mangkanya diganggu makhluk halus."

Celetuk seorang perempuan tukang gosip. Dia menggiring opini buruk kepada para tamu yang hadir. Satu persatu, para tamu membubarkan diri.

"Maria, apa benar si Adi punya istri lain? atau salah satu anakmu nyewa jasa pesugihan?" tanya salah satu saudara kepada ibuku.

"Heh, Uwa Erna jangan bicara yang sembarangan. Istri Adi hanya satu, Nayla. Terus yah, keluarga kami memang banyak duit. Jangan sirik. Segala nuduh pesugihan."

Mbak Ratna menatap sinis. Dia paling tidak terima jika keluarganya dihina. Sedangkan Ibu, hanya bisa diam sambil menenangkan Mbak Neli.

"Dih, aku ya gak sirik. Cuman nanya. Aneh saja bisa ada kejadian seperti tadi. Setiap sesuatu yang terjadi, pasti ada sebab dan akibat. Gak mungkin kuda lumping datang sendiri. Bisa jadi, itu cara Gusti Allah menunjukan apa yang tersembunyi dari keluarga ini."

Uwa Erna yang mulutnya lebar memang tak mau diam. Dia paling kepo dengan urusan orang lain. 

"Diam! Erna, pergi dari sini!" bentak Ibu penuh amarah.

"Kalau gak salah, gak usah marah dong."

Uwa Erna pergi sambil memanyunkan bibir. Menampakan raut tak suka. 

"Bu, gimana ini. Aku malu."

"Sudah Nel. Ayok kita masuk dulu."

"Bener kata Ibu Nel. Jangan pikirkan perkataan manusia julid. Kamu tenangkan diri dulu. Untung Mas Hendri sigap membawa Habil masuk. Jadi, dia gak lihat kekacauan ini. Mending, kamu samperin anakmu."

"Bener kata Ratna. Ayok, masuk Nak."

Ibu merangkul Mbak Neli masuk. Aku, Mbak Ratna dan Nayla hanya bisa memandang iba. Hati kami ikut tercabik-cabik. Muka bagai terkena kotoran sapi. Kejadian hari ini, Sangat memalukan.

"Dimana Gibran dan Lik Sumi, Mbak?"

"Mbak gak tahu. Sejak tadi, mereka gak kelihatan batang hidungnya. Emang kenapa?"

"Pasti semua ini ulah Gibran."

"Masa sih? jangan asal nuduh, Di. Ngapain si Gibran ngelakuin kaya gini."

"Aku juga curiga sama dia, Mas." Nayla buka suara. Baru kali ini dia berprasangka buruk pada orang lain. Mungkin, kecurigaanku memang tepat. Buktinya, Nayla juga sependapat denganku.

"Apa iya?" Mbak Ratna mengernyitkan dahi. 

"Aku harus menemuinya."

"Mas, ikut."

"Kamu tunggu saja di sini, Nay. Tolong bantu tenangkan Mbak Neli."

"Baiklah, Mas. Hati-hati."

Aku segera mengambil kunci mobil. Menyalakan mesin mobil dan segera tancap gas. Rumah Lik Sumi tidak jauh dari rumah Mbak Neli, maupun rumah ibuku. Masih dalam satu kecamatan. Hanya beda komplek perumahannya.

"Gibran, buka pintunya!"

Sudah berkali-kali aku gedor pintu, tapi tak ada jawaban. Rumahnya nampak sepi. Kemana Lik Sumi dan Gibran. Apa mereka sudah kembali ke tempat Mbak Neli? tapi tidak mungkin. 

"Lik Sumi, buka pintunya!"

"Cari Bu Sumi Mas?" tanya tetangga yang rumahnya ada di samping kanan. 

"Iya Bu. Ibu tahu tidak ke mana Lik Sumi?"

"Katanya mau ikut bantu-bantu diacara sunatan saudaranya, Mas."

"Tadi memang ada diacara sunatan anak kakak saya, tapi tiba-tiba menghilang. Apa Ibu gak liat Lik Sumi kembali ke sini?"

"Gak liat tuh, Mas. Dia pergi sejak pagi, dan belum balik lagi."

"Kalau anaknya, Gibran?"

"Anaknya juga belum pulang kayanya, Mas. Soalnya, Bu sumi naik motor bareng Gibran. jadi, kalau balik pasti barengan."

"Gitu ya Bu. Makasih informasinya. Saya pamit pulang saja."

"Sama-sama Mas."

Aku putuskan naik ke dalam mobil. Duduk terdiam sambil memutar otak. Menerka-nerka kejadian hari ini, dengan tiba-tiba hilangnya Lik Sumi dab Gibran. Apa ini rencana mereka? atau mereka hanya pergi sebentar lalu kembali lagi ke rumah Mbak Neli? otakku terus berputar-putar memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. 

Suara ponsel berdering kencang. Getarannya terasa di paha kanan. Segera aku ambil ponsel dari saku celana.

"Hallo, kenapa Mbak?"

"Adi, kamu di mana?"

"Aku masih di depan ruamah Lik Sumi. kebetulan banget Mbak telpon, Lik Sumi sama Gibran udah balik ke situ?"

"Gak ada. Sudahlah, lupakan tentang Lik Sumi dan Gibran. Ada hal lain yang lebih penting."

Suara Mbak Ratna terdengar panik. Pasti dia sedang kebingungan atau cemas berlebihan. Namun, apa gerangan yang membuatnya sangat khawatir seperti itu?

"Kenapa Mbak? jangan buat Adi jadi panik."

"Ya emang panik banget, koh. Bahaya Di. Bahaya tingkat dewa. Kita harus gimana nih."

"Bahaya apa Mbak? ngomong yang bener."

"Eva, Di ... Eva."

Jantungku berdegup kencang. Bagai ritme musik reggae. Mengalun keras dengan irama cepat.

"Ada apa dengan Eva, Mbak?"

"Eva ada di rumah ibu."

Duar!

Ombak pelabuhan ratu, seakan menerpa tubuhku. Rasanya bagai mimpi. Kenapa tiba-tiba Eva ada di rumah Ibu? kenapa dia tidak mengabariku?

"Gimana ini, Di. Di rumah 'kan banyak foto pernikahan kamu sama Nayla."

"Aduh, kacau. Adi gak mungkin nemuin Eva. Bisa nambah curiga. Mbak Ratna temui Eva duluan. Ajak dia ke rumah Mbak. Biar aku yang membawa semua foto itu ke rumah Mbak Neli."

"Ide bagus. Ya udah, kita gas jalanin rencana kamu, Di. Mbak temui Eva dulu."

"Ok sip, Mbak."

Mbak Ratna segera menutup telpon. Sedangkan aku, bergegas menuju rumah Mbak Neli. Bahaya jika sampai Eva tahu tentang pernikahan keduaku. Dia sangat membenci poligami.

Masih terekam jelas, perkataan Eva beberapa bulan lalu, tentang poligami.

"Mas kesian Lik Janah. Suaminya selingkuh. Tapi syukurlah, Lik Janah mau cerai dengan suaminya. Percuma dipertahankan," keluh Eva.

"Kenapa harus bercerai, dek? toh, Suami boleh menikah lebih dari satu kali, asal adil," tanyaku sengaja memancing.

Aku ingin tahu respon Eva tentang poligami. Saat itu, pernikahanku dengan Nayla baru berjalan satu bulan. Beruntung, belom sampai ketahuan seperti suaminya Lik Janah.

"Keadilan itu hal yang abstrak. Manusia tidak bisa sepenuhnya adil, apalagi masalah hati. Jadi, Eva termasuk golongan istri yang menolak keras dipoligami."

Jawaban Eva begitu lugas. Cukup menyentak hati. Membuatku mati gaya mendengarnya. Meskipun dia mengutarakan pendapatnya dengan senyuman.

"Ini foto-fotonya sudah aman."

Beruntunglah, Mbak Ratna menyelipkan kunci rumah. Jadi, aku bisa langsung ke tempat Ibu dan mengambil semua foto. Kemudian, kembali ke rumah Mbak Neli.

"Mas, aku harus tinggal dimana?" rengek Nayla.

"Tinggal saja di sini."

"Tidak. Nayla tetap tinggal di rumah Ibu."

"Tapi, Bu, Nanti Eva curiga."

"Soal Eva biar Ibu yang urus. Nayla akan ibu perkenalkan sebagai saudara sepupu dari Hendri," ucap ibu di depan anggota keluarga.

Mbak Neli dan Mas Hendri hanya mengangguk tanda setuju. Mereka seakan tak mau ikut campur. Masih kalut memikirkan acara sunatan yang gagal. Belum lagi, kerugian yang harus ditanggung.

[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]

Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status