Share

Nayla Dianggap Pembantu

[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]

Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?

"Hallo, Dek?"

Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?

"Iya, Mas kenapa?"

"Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?"

"Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?"

"Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng."

"Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa."

"Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah."

"Iya."

Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?

Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayla. Baru beberapa menit kepergian Ibu dan Nayla ke rumah, hatiku sudah gundah gulana. Tak mungkin melawan kemauan ibu. Dia sangat menyayangi Nayla. Mangkanya sejak awal bersikeras ingin mengatakan pernikahanku dengan Nayla. Agar Nayla punya hak yang sama sebagai istri. Sehingga, bisa tinggal di istana Eva. Agar aku bersikap adil, dan mempunyai waktu bersama lebih panjang dengan Nayla. 

Selama ini, aku hanya bertemu Nayla dua Minggu sekali. Tidak bisa setiap Minggu. Eva bisa curiga jika aku terus beralasan bisnis di luar kota. Seringnya, Nayla merajuk karena menganggapku tidak adil.

"Di, Mbak minjem duit yah."

"Aduh, Mbak, Adi lagi pusing mikirin Eva, malah minta minjem duit."

"Soal Eva gak usah dipikirin. Kalaupun ketahuan ya tidak masalah. Dia itu polos dan terlalu baik. Dia juga bucin banget sama kamu. Mbak yakin, Eva rela dimadu."

"Jangan menggampangkan masalah, Mbak. Belum tentu Eva sebodoh yang kita pikirkan."

"Halah, sudahlah jangan berpikir macam-macam. Buruan, kirim uang ke rekening Mbak. Gegara segerombolan orang gila tadi, Mbak harus nanggung rugi. Makanan habis berserakan, tenda rusak, sedangkan yang kondangan ngasih duit cuman sedikit."

"Iya, Adi transper."

Sebelum Mbak Neli ngoceh-ngoceh, lebih baik aku segera transfer uang sesuai keinginannya. Kepalaku bisa nambah pusing jika harus mendengar mulut cerewetnya.

"Udah dikirim. 50 juta."

"Asik. Makasih adikku."

"Iya."

"Senyum dong. Mukanya kusut banget."

"Gimana bisa senyum. Rumah tangga Adi dengan Eva sedang genting kaya gini. Kalau Eva tahu tentang Nayla, habis sudah."

"Tenang, kamu 'kan masih punya Nayla."

"Iya Adi tahu. Tapi kita bisa kehilangan harta Eva. Mbak juga tahu 'kan, selama ini keluarga kita sangat bergantung pada Eva."

"Oh soal harta, tenang aja. Aman."

Mbak Neli hanya tersenyum sambil mengerling. Dia menepuk pundakku, seakan memberi kode bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia meninggalkanku sendirian di kamar. Seakan tak perduli dengan nasib rumah tanggaku. Kenapa dia bersikap seperti itu? bukankah selama ini, Mbak Neli yang paling takut aku kehilangan Eva. Tepatnya, khawatir harta Eva tidak jatuh ke tanganku.

[Di, lebih baik kamu pulang ke rumah ibu secepatnya. Eva bersikap aneh]

Setelah makan malam, jantungku kembali berdetak tak tenang. Saat mendapatkan pesan dari Mbak Ratna.

[Bersikap aneh gimana, Mbak?] 

[Pokoknya aneh banget. Kasihan Nayla, masa dia di suruh-suruh sama Eva. Disuruh masak, bantuin dia beres-beres kamarnya. Kesel banget Mbak sama si Eva. Mentang-mentang banyak duit, dia memperlakukan Nayla kaya babu.]

[Apa? gak mungkin, Mbak. Adi tahu banget sikap Eva. Dia gak mungkin kaya gitu.]

[Dih, kamu gak percaya sama kakak sendiri? lebih belain perempuan kampung itu? keterlaluan kamu, Di. Mbak kesel sama kamu. Mending kamu ke sini sekarang. Lihat nih, kelakuan istri pertama kamu.]

Mbak Ratna menambahkan imot marah berkali-kali. Pasti dia kesal kepadaku. Bukan maksud tak percaya pada kakak sendiri. Namun, apa yang dilaporkan Mbak Ratna nampaknya sangat mustahil. Eva bukan tipe orang yang suka nyuruh-nyuruh. Soal sikap, dia sangat lugu, baik dan penurut. Berusaha selalu menolong siapapun. Sehingga tak mau merepotkan orang lain. Apa ini hanya akal-akalan Mbak Ratna? dia 'kan sangat membenci Eva. 

"Di, kamu di suruh buruan balik ke rumah ibu."

"Emang ada apa lagi, Mbak Nel?"

"Gak tahu. Ibu ngechat gitu."

"Tapi Mbak, Eva bisa curiga kalau aku sudah balik ke rumah."

"Iya juga sih. Perjalanan dari Lampung 'kan lama. Lagian, kamu Beloon banget. Kenapa segala alesan ke Lampung. Gak logis banget."

"Sudahlah. Pusing aku. Mbak Neli sama Mbak Ratna bukannya kasih solusi. Bisanya komentar doang."

"Dih, ya kamunya aja yang gak handal bohongin istri. Pinteran dikit napa."

Tanpa menjawab omongan Mbak Neli, aku bergegas mengambil kunci mobil dan koper.     Tak ada pilihan lain. Aku harus pulang ke rumah ibu. Sebelum terjadi huru hara di sana.

"Adi, jangan marah dong. Mbak 'kan udah kasih saran."

Bugh!

Aku tutup pintu mobil dengan keras. Tak perduli kepada Mbak Neli yang terus mengetuk kaca mobil. Hawanya jengkel sekali. Kalau urusan duit saja, aku yang selalu mereka andalkan. Bahkan, selalu minta secepatnya diberikan. 

Padahal, Mbak Neli sudah punya suami. Tidak seperti Mbak Ratna yang menjanda, yang memang harus aku bantu perekonomiannya. Namun, suaminya yang bekerja sebagai HRD, tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Aku juga heran ke mana perginya gaji Mas Hendri. Entahlah, pikiranku sangat kacau. Tak mau memikirkan yang lain. Aku harus fokus mencari solusi, agar Eva tak curiga.

"Assalamualaikum."

Berkali-kali aku mengucap salam, tapi tak ada jawaban. Ke mana Ibu, Mbak Ratna, Eva  dan Nayla.

Pintu ternyata tidak dikunci. Aku langsung masuk. Terdengar suara ribut-ribut. Nampaknya, berasal dari ruang makan. Segera aku menuju sumber suara.

"Kalau kerja yang becus dong, Mbak," ucap Eva sambil berkacak pinggang.

Nayla sedang menunduk sambil meneteskan air mata. Sedangkan, Ibu dan Mbak Ratna hanya diam saja.

"Ada apa ini?"

"Mas ...."

Nayla langsung berlari ke arahku. Dia merangkul tanganku. Membuat Eva menatap sinis.

"Le-lepaskan."

Sengaja aku menghempaskan tangan Nayla. Takut Eva curiga. Nayla menatap tak percaya dengan perbuatanku. Air mata di pipinya makin deras.

"Ada hubungan apa Mas dengan pembantu itu?"

"Pembantu?"

Aku edarkan pandangan kepada Ibu dan Mbak Ratna. Mereka hanya membisu. Membalas dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak ada yang mau menjelaskan. Kenapa Nayla dianggap sebagai pembantu? Ibu bilang, dia akan memperkenalkan Nayla sebagai sepupu Mas Hendri. Kenapa kenyataan di lapangan berbeda?

"Iya. Perempuan ini 'kan pembantunya Ibu. Kenapa dia pegang-pegang Mas kaya gitu. Kalian kaya udah deket lama. Mana pembantu ini kerjanya gak becus. Lihat nih, baju gamisku kena jus."

"Adi tidak dekat dengan Nayla, Nak. Mereka hanya pernah beberapa kali ketemu. Adi emang orang yang baik. Jadi, mudah akrab."

"Betul, Eva. Adikku 'kan orangnya ramah. Dia baik sama siapa aja. Termasuk sama pembantu," sambung Mbak Ratna menguatkan opini Ibu.

"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan."

"Saya bukan pem-"

Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status