POV Eva (cepat Bu, katakanlah!)
"Gila. Mereka benar-benar gila."
Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku.
"Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu."
"Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?"
"Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?"
"Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang."
"Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu."
Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan pabrik dan kebun kopi itu sangat penting bagi masyarakat sekitarku. Tak akan aku biarkan, mereka merebutnya secara paksa.
"Setahu Lilik, surat itu masih atas namamu Eva. Mereka baru mengambilnya satu bulan lalu. kamu ingat bukan, saat mertuamu datang meminta mobil baru?"
"Iya Eva ingat."
"Mobil itu untuk menantu barunya, Nayla. Dia juga sengaja, mengambil sertifikat itu, agar suatu saat Adi bisa lepas darimu dan bahagia dengan menantu pilihannya."
"Keterlaluan uwa Maria. Kita harus ambil tindakan."
"Aku tak menyangka Ibu sejahat itu padaku."
Air mata tak tertahan lagi. Keluar begitu saja dari kelopak mata. Menggambarkan hatiku yang hancur. Sakitnya tak bisa dilukiskan kata-kata.
"Jangan menangis. Kamu harus sadar, Adi bukan suami yang baik untukmu. Pantas saja, Nayla mau menikah dengan Adi. Ternyata hartanya banyak, karena jadi benalu dalam hidupmu. Mangkanya, kamu jadi perempuan jangan lemah. Ko, bisa-bisanya surat berharga kaya gitu, ada ditangan mertuamu. Jangan percaya sepenuhnya pada orang lain. Kita harus tetap berwaspada. Kalau udah kaya gini jadi runyam urusannya," cecar Gibran.
"Sudahlah, Nang. Jangan memperkeruh suasana."
"Tapi perempuan ini, terlalu bodoh, Bu. Ko bisa-bisanya kecolongan kaya gini."
Aku tak bisa membantah kata-kata Gibran. Namun, masa lalu tak bisa terulang. Semua yang sudah terjadi tak bisa dikembalikan seperti semula. Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah mencari jalan keluar. Berpikir jernih. Mencari solusi terbaik dari masalahku. Tentunya, dengan cara halus. Orang licik, harus dilawan dengan siasat yang sama.
Mulai saat itulah, aku membuka mata lebar-lebar. Menguatkan diri dengan kenyataan pahit yang terjadi. Aku harus bangkit mengambil kembali hakku.
Aku bersyukur, Lik Sumi dan Gibran mau membantu. Mereka bersedia mencari tahu keberadaan surat-surat berhargaku. Namun, Selama tiga bulan berlalu, Gibran dan Lik Sumi belum bisa mendapatkannya. Terpaksa, aku harus turun tangan sendiri. Untuk tinggal di rumah Ibunya Mas Adi. Agar mempermudah pencarian sertifikat tanah milikku.
Acara sunatan Habil, menjadi awal pembalasanku pada keluarga Mas Adi.
"Bagaimana, Gibran? apakah kuda lumpingnya aman?" tanyaku melalui panggilan W******p.
"Aman. Kamu lebih baik segera meninggalkan rumah Ibuku. Takutnya Adi ke situ. Karena kami sempat beradu tinju tadi. Dia pasti mencurigaiku."
"Siap. Aku memang akan pergi dari sini. Lalu, ke rumah Mbak Neli. Agar bisa menyaksikan secara langsung kekacauan di acara keluarga suamiku."
"Oke. Biar nanti ibu yang mengantarmu ke rumah Uwa Maria."
"Siap."
Aku bergegas menuju rumah Mbak Nelu. Menggunakan baju gamis berwarna navy dengan kerudung senada. Untuk penyamaran, aku pakai jaket hitam dengan selendang, dan kaca mata hitam.
Acara sunatan ini sangat mewah. Pasti, Mas Adi diam-diam mengambil uang hasil penjualan kopi. Sebenernya, aku sudah tak rela, kalau uangku digunakan mereka. Namun, jika rekening Mas Adi aku blokir, dia bisa curiga. Lebih baik, aku kehilangan beberapa puluh juta terlebih dahulu. Dibandingkan mengorbankan sertifikat tanah.
"Kalian sangat serasi, Mas."
Nayla sedang menggandeng Mas Adi. Mereka nampak bahagia. Tiba-tiba, Mas Adi melihat ke arahku. Sepertinya dia curiga. Aku segera menyelip di antara para rombongan yang baru datang dari klinik. Bersembunyi diantara mobil-mobil para tamu.
Beruntunglah, Mas Adi tidak menghampiriku. Dari balik mobil para tamu, aku dapat menyaksikan adegan kerusuhan. Wajah Mbak Neli nampak panik. Dia pasti malu sekali. Kakak iparku yang satu ini, selalu mengendepankan gengsinya. Padahal, belum mapan secara finansial.
Mbak Ratna ikut marah-marah. Ibu mertuaku, masih menunjukan sikapnya yang kalem. Dia memang tidak terlalu cerewet seperti anak-anaknya. Sedangkan Mas Adi, meringis kesakitan saat cambuk tepat mengenai tubuhnya. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan menyaksikan ini.
Acara kekacauan pertama sudah selesai. Aku segera menuju mobilku. Pak supir dan Lik Sumi sudah menunggu. Sedangkan Gibran bertugas menemui para pemain kuda lumping untuk membayar jasa mereka.
"Bagaimana Ndok, aman?"
"Aman Lik. Kita jalankan rencana kedua."
"Syukurlah. Semoga mereka sedikit sadar atas kejadian hari ini."
"Mereka tak akan sadar, Lik."
"Iya juga, Ndok. Apa yang mereka lakukan, buka semata-mata hilaf. Tapi sengaja. Sabar, Ndok. Kamu pasti bisa merebut hak milikmu."
"Iya Lik. Kejahatan tidak akan pernah menang."
Lik Sumi merangkul pundakku. Memberikan kekuatan, agar aku tegar. Hanya seulas senyum yang bisa aku balas. Sebagai respon, bahwa aku berusaha kuat menghadapi semua ini.
Mbak Ratna datang menemuiku. Memberi alasan bahwa Ibu sedang ada acara di luar. Dia membujukku untuk mampir ke rumahnya. Pasti, mereka sengaja mengulur waktu untuk menyembunyikan bukti-bukti pernikahan kedua Mas Adi yang ada di dalam rumah itu. Baiklah, aku ikuti permainan mereka.
Lembayung senja menghiasai langit. Pertanda, bahwa aku harus segera ke rumah ibu mertua. Agar bisa secepatnya memberi kejutan tak terduga kepada keluarga suamiku. Sedikit pembalasan dariku. Agar mereka cukup memahami arti disakiti.
Aku mengajak Mbak Ratna kembali ke rumah Ibu. Sedangkan Lik Sumi, memilih pulang ke rumahnya. Lik Sumi dan Gibran, akan mempersiapkan rencana selanjutnya.
"Ibu, ya ampun Eva kangen banget."
Aku tunjukan akting ala-ala menantu baik hati dan lugu. Begitu sebaliknya. Ibu sangat ramah. Memperlakukanku, bagai anaknya sendiri.
"Eva, kenalkan ini Nayla se-"
"Oh Nayla, pembantunha Ibu yah? Lik Sumi udah cerita, ko. Baguslah kalau ibu nyewa pembantu, jadi ada yang nemenin."
"Tapi Eva, Nayla ini bu-"
"Benar Nak. Dia pembantu Ibu. Ayok, kita masuk."
Nayla menunjukan raut tak suka. Hatiku bersorak riang menyaksikan ekspresi kekesalannya.
Misiku memperlakukan Nayla sebagai pembantu berhasil. Tak ada yang melawan. Demi harta, mereka mampu menyembunyikan rasa kesal karena perbuatanku.
Begitupula dengan Mas Adi. Dia masih saja bersikap pura-pura romantis. Sampai berusaha menggodaku untuk melayaninya. Untung, akting mengigau cukup membuatnya ketakutan, sehingga tak bisa menyentuhku.
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?"
"Surat itu ...."
Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah!
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi
Senyum merekah di wajah mereka. Seakan lega atas keputusanku. Mereka tidak tahu, semua ini bagian dari rencanaku. Rumah ini harus kosong, agar Gibran leluasa menjalankan rencana kami. Biarkan Nayla ikut. Di mana pun tempatnya, dia akan tetap aku perlakukan sebagai pembantu. "Wih, Asik banget kita bakal jalan-jalan sekeluarga. Bisa makan di restoran mewah. Pulangnya mampir ke mal. Iya Gak Va? nanti kamu Mbak ajak ke tempat barang-barang brended, biar makin modis." "Boleh, Mbak." "Makasih ya, Dek." Mas Adi mulai melembut kembali. Dia tersenyum bahagia. Sambil mengusap lembut tanganku. Tentunya dia gembira, karena aku mengajak semua keluarga bahkan gundiknya untuk jalan-jalan. Pasti mereka berpikir, aku rela menghamburkan uang untuk membiayai gengsi mereka. Dulu mungkin demikian. Sekarang, tentu tidak. Aku akan memberikan pelajaran berharga untuk semua keluarga Mas Adi. Agar mereka sadar, bahwa selama ini, hartaku ikut andil memberikan kebahagian kepada mereka. Jam menunjukan puk
"Eva ...." Aku cari Eva ke segala Penjuru. Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB, tapi dia sudah tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Aku bahkan merasa asing kepada istriku sendiri. Baru pertama kali juga, dia berani melawanku dan memutuskan pisah ranjang. Ada apa sebenarnya? apa Eva sudah mengetahui perselingkuhanku? tapi tidak mungkin. "Nyari siapa Mas?" "Eva, Nay. Kemana dia?" "Gak tahu," jawab Nayla cuek. Raut wajahnya berubah karena ucapanku. "Nay, maafkan sikap Eva, yah. Mas janji, akan segera mengajak dia pulang ke Jawa. Biar kamu gak diperlakukan semena-mena lagi, sama Eva." "Gak usah. Mas emang gak pernah adil sama aku." "Bukan gitu, Nay. Kamu 'kan tahu posisiku. Bahaya kalau Eva tahu hubungan kita, sebelum hartanya dikuasai." "Mangkanya cepat kuasai harta Eva, Mas. Toh, sertifikat sudah ada di tangan kita. Tinggal alihkan atas nama kamu." "Gimana cara minta tanda tangannya Nay? kalau Eva menyadari perbuatan kita, bisa masuk penjara." "Pake cara halus."
Ibu membelalak kaget. Dia langsung memegang dada bagian kiri. Meremas baju, dan meringis menahan sakit. "Bu, kenapa Bu?" Mbak Ratna yang ada di samping Ibu langsung menyanggah tubuhnya yang hampir roboh. Beruntung Mbak Ratna sigap memegangi. Jika tidak, kepala Ibu sudah menyenggol tembok. "Dada, Ibu sakit." "Kita ke rumah sakit aja, Bu. Pasti jantung ibu kumat lagi." "Ti-tidak. Antar ibu ke kamar, dan Suruh Nayla ambilkan obat Ibu." Aku memapah ibu masuk ke kamar. Kami sangat panik dengan kondisi Ibu. Namun, tidak dengan Eva. Ekspresinya sangat santai. Bahkan, dia belum menyusul kami ke kamar. "Mas, Ibu kenapa bisa gini?" Nayla datang karena di panggil Mbak Ratna. Wajahnya panik. Kami semua tak tega melihat kondisi ibu yang mulai memucat. Giginya merapat menahan sakit. "Gak tau, Nay. Buruan kasih Ibu obat." Tanpa banyak tanya lagi, Nayla membuka salah satu laci dan mengeluarkan obat. "Biar Mbak ambilin air minumnya." Dengan sigap Mbak Ratna keluar kamar mengambil minum. H
Semilir angin pagi, berhembus sejuk. Terasa dari lapisan kulit terluar, lalu menusuk ke rongga-rongga hati. Memberi hawa dingin yang menyegarkan. Namun, tidak dengan hatiku dan keluarga. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, begitu pula dengan Ibu dan Mbak Ratna. Pagi ini rasanya sangat menegangkan. Keringat dingin mengucur. Menantikan momen-momen yang paling tidak diharapkan. "Bu, bagaimana ini?" tanya Mbak Ratna saat aku menemuinya di kamar Ibu. "Ibu tidak tahu harus apa." "Tenang, Bu, Mbak. Adi yakin, keluarga besar kita tidak akan ada yang datang. Bukankah Mbak Ratna sudah membuang surat undangnya?" "Iya sih, Udah. Tapi kenapa perasaan Mbak gak enak, yah? sikap si Eva bener-bener mencurigakan. Pertama, dia memperlakukan Nayla kaya pembantu. Padahal, setau Mbak, Si Eva bukan orang yang julid kaya gitu. Kedua, dia sering pergi sendiri. Ketiga, semalam, Si Eva seakan udah tahu rencana kita. Dia kaya sengaja bawa Lik Sumi dan yang lainnya untuk ke sini, biar rencana kita gagal. Mb
Setelah sertifikat ada di tanganku, segera aku hubungi Gibran untuk membuat sertifikat palsu. Lalu, membuat surat pengalihan sertifikat rumah ibu, atas namaku. Gibran merupakan pria yang sangat cerdas. Dia bisa mengurus permasalahanku secara cepat dan cantik. Tanpa menimbulkan kecurigaan. Semalam baru aku menelponnya, saat pagi hari, dia sudah bisa memasukan sertifikat palsu ke dalam kotak itu. Kami yakin, Nayla akan curiga dan segera mengambilnya. Betul saja, prediksi kami tidak salah. Saat aku pergi, dia mengambilnya. Aku melihat semua aktifitas dan pembicaraan mereka lewat cctv yang sudah dipasang disegala penjuru rumah. Ketika Mas Adi memasukan obat tidur ke dalam minumanku, Gibran langsung mengirim pesan. Maka aku bisa mengantisipasi kelakuan jahat suamiku. Sehingga, mencari alasan agar Mas Adi meminumnya. Akhirnya, dia sendiri yang terlelap karena obat tidur. Pagi hari, aku pergi ke rumah Lik Sumi. Mulai menyusun rencana puncak. Gibran sampai mengorbankan waktu kerjanya, untu
Ibu!" Teriakan Mbak Ratna membuatku kaget. Aku langsung berlari ke arah halaman depan. Disusul Lik Sumi dan Gibran. "Innalilah." Ibu sudah tergeletak di tanah. Dia pingsan tidak sadarkan diri. Semua anaknya menampakan raut panik. "Bu, bangun, Bu ...." "Adi, cepat bawa mobil. Ayok kita bawa Ibu ke rumah sakit," perintah Mbak Neli. Mas Adi langsung bergegas masuk kembali ke rumah. Namun, Gibran menghalanginya. "Mobil itu punya Eva. Kamu tidak berhak lagi membawanya." "Jangan halangi aku, Gibran. Apa kamu tidak lihat, ibuku pingsan!" bentak Mas Adi. "Pakai saja mobil milikku, yang telah kamu berikan untuk gundikmu itu." "Ta-tapi, Dek, itu mobilku. Ungnya kita dapatkan bersama, dari hasil penjualan kopi." "Jangan banyak berdebat. Suruh gundikan memberikan kunci mobil itu. Kunci mobilmu yang sudah ada di tanganku, tidak akan kembali." "Dasar perempuan Ibl*s. Ibuku sedang sekarat, tapi kamu masih membicarakan hak kepemilikan. Di mana hati nuranimu, Eva. Menyesal aku pernah punya