Setelah sertifikat ada di tanganku, segera aku hubungi Gibran untuk membuat sertifikat palsu. Lalu, membuat surat pengalihan sertifikat rumah ibu, atas namaku. Gibran merupakan pria yang sangat cerdas. Dia bisa mengurus permasalahanku secara cepat dan cantik. Tanpa menimbulkan kecurigaan. Semalam baru aku menelponnya, saat pagi hari, dia sudah bisa memasukan sertifikat palsu ke dalam kotak itu. Kami yakin, Nayla akan curiga dan segera mengambilnya. Betul saja, prediksi kami tidak salah. Saat aku pergi, dia mengambilnya. Aku melihat semua aktifitas dan pembicaraan mereka lewat cctv yang sudah dipasang disegala penjuru rumah. Ketika Mas Adi memasukan obat tidur ke dalam minumanku, Gibran langsung mengirim pesan. Maka aku bisa mengantisipasi kelakuan jahat suamiku. Sehingga, mencari alasan agar Mas Adi meminumnya. Akhirnya, dia sendiri yang terlelap karena obat tidur. Pagi hari, aku pergi ke rumah Lik Sumi. Mulai menyusun rencana puncak. Gibran sampai mengorbankan waktu kerjanya, untu
Ibu!" Teriakan Mbak Ratna membuatku kaget. Aku langsung berlari ke arah halaman depan. Disusul Lik Sumi dan Gibran. "Innalilah." Ibu sudah tergeletak di tanah. Dia pingsan tidak sadarkan diri. Semua anaknya menampakan raut panik. "Bu, bangun, Bu ...." "Adi, cepat bawa mobil. Ayok kita bawa Ibu ke rumah sakit," perintah Mbak Neli. Mas Adi langsung bergegas masuk kembali ke rumah. Namun, Gibran menghalanginya. "Mobil itu punya Eva. Kamu tidak berhak lagi membawanya." "Jangan halangi aku, Gibran. Apa kamu tidak lihat, ibuku pingsan!" bentak Mas Adi. "Pakai saja mobil milikku, yang telah kamu berikan untuk gundikmu itu." "Ta-tapi, Dek, itu mobilku. Ungnya kita dapatkan bersama, dari hasil penjualan kopi." "Jangan banyak berdebat. Suruh gundikan memberikan kunci mobil itu. Kunci mobilmu yang sudah ada di tanganku, tidak akan kembali." "Dasar perempuan Ibl*s. Ibuku sedang sekarat, tapi kamu masih membicarakan hak kepemilikan. Di mana hati nuranimu, Eva. Menyesal aku pernah punya
POV Adi "Adi, cepat kejar Eva." "Gak usah Bu. Jangan buat keluarga kita tambah malu. Apa Ibu gak denger kata Mbak Eva? dia sudah tidak mau dimintai bantuan. Ini semua karena keserakahan kalian sendiri. Sekarang, mintalah bantuan sama pelakor ini." Dengan nada Emosi, Tiwi mengeluarkan pendapatnya. Dia menatap tajam ke arah Ibu dan juga diriku. Kemudian, melangkah keluar menyusul Eva. "Adi, jangan dengarkan Tiwi. cepat kejar Eva." Aku hanya diam. Bersandar di tembok, lalu terduduk lesu. Sudah tak ada harapan lagi mendapatkan hati Eva. Benar kata Tiwi, nampaknya aku harus belajar hidup tanpa bergantung pada Eva. Dari awal,aku memang ragu dengan sandiwara yang ibu suruh. Sejak ibu sadar sore tadi, dia histeris karena menyadari bahwa kakinya lumpuh. Dokter menganjurkan untuk terus melakukan pengobatan secara bertahap agar lekas pulih. Diperkirakan butuh uang banyak untuk penyembuhan ibu. Karena itulah, Ibu mendesakku untuk membujuk Eva agar mau kembali lagi. Sehingga, dia bisa memba
"Rumahku, disita Mbak." "Apa?" Kami semua syok. Mengedarkan pandangan tak percaya ke arah Mbak Neli dan Mas Hendri. Ibu hanya bisa mengelus dada. Sedangkan, Mbak Ratna dan Nayla memandang dengan sorot mata sinis. "Kenapa bisa disita? terus kalian mau tinggal di mana? jangan bilang tinggal disini. Rumahku sudah sesek." Mbak Ratna memiringkan bibirnya. Nampak jelas kekesalan di wajahnya. Membuat Mbak Neli menunduk karena merasa tak enak hati. "Ratna, jangan bicara seperti itu pada adikmu." "Bukan maksud Ratna ngelarang mereka tinggal di sini, Bu. Tapi Ibu 'kan tahu, di sini cuman ada tiga kamar. Mereka nanti tidur di mana?" "Ibu tidur sama Mbak Ratna. Biar kamar Ibu bisa aku tempati sama Mas Hendri." "Lah, terus nanti Tiwi tidur di mana?" "Tiwi tidur bareng Mbak juga." "Enak aja. Pemilik rumah ini aku, kenapa kamu yang ngatur-ngatur, Nel?" "Aku gak maksud gitu, Mbak. Tapi, ya gimana lagi." "Iya enak banget, yah, kalian. Numpang aja, terus." Suasana ruang tamu jadi panas. Ras
"Berikan!" bentaku. Aku berusaha merebut ponsel di tangan Nayla. Dia terus berontak. Rasa curiga semakin kuat. Pasti ada hal yang dia sembunyikan. "Tidak! Jangan berani-berani ngatur aku. Kamu tuh, cuman suami yang berguna. Bisanya ngajak aku susah doang. Nyesel aku nikah sama kamu." Plak! Ulu hati nyeri. Tidak menyangka perempuan yang selama ini aku anggap lemah lembut, ternyata mempunyai mulut yang mampu merobek isi hati. Amarah menghipnotisku. Tanpa sadar mendaratkan tamparan di pipi mulus Nayla. "Kamu nampar aku, Mas?" tanya Nayla tak percaya. "Ma-maaf, Nay. Aku gak niat nyakitin kamu." "Ada apa ini?" Ibu mendorong kursi rodanya masuk ke kamar. Pintu memang tidak dikunci. Pasti Ibu mendengar pertengkaran di antara kami. "Ibu." Nayla merangkul ibu. Dia menitikan air mata. Sambil memegang pipi bagian kiri, yang nampak memerah. Menunjukan ekspresi pilu. "Apa yang kamu lakukan sama Nayla Adi?" tanya ibu dengan oktaf suara tinggi. Matanya melebar. "Mas Adi nampar Nayla, Bu.
POV Eva "A-aku hamil, Mas." Tubuhku rasanya gemetar. Saat Tiwi mengungkap sebuah kejujuran. Tak pernah menyangka, dia akan salah jalan seperti ini. Saat di kantor polisi, aku pikir dia hanya baru sekali saja melakukan perbuatan menjijikan itu. Namun, ternyata sudah sangat jauh. "Apa?" Mantan mertua, dan anak-anaknya datang. Aku bisa melihat jelas ekspresi kaget yang luar biasa dari wajah mereka. Ibu Mas Adi, terperangah. Dia mematung. Bagai jasad tanpa ruh. Plak! "Gila kamu Tiwi. Sejak kapan kamu bisa berbuat hal memalukan seperti ini? kenapa bisa hamil di luar nikah. Dasar adik tidak tahu diuntung." Mbak Ratna terus memaki Tiwi. Bukan hanya menampar, tapi beberapa kali mencoba memukul tangannya. Aku berusaha menghadang. Agar Tiwi tidak terus menerus disakiti. "Tiwi, coba ulangi lagi perkatanmu. Pasti ibu salah dengar. Betulkan, Nak? katakan bahwa semuanya tidak benar." Ibu Maria mendekati Tiwi dengan kursi roda. Kondisinya sangat memprihatikan. Hatiku tak tega. Dia berusaha
"Apa, rujuk?" Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Mbak Ratna berbicara hal yang ngawur. Membuat kepalaku geleng-geleng, karena heran. "Iya. Kamu harus rujuk sama Adi. Sebagai penjamin, hidup Tiwi akan bahagia. Kalau kamu masih jadi istri Adi, Kamu bisa membantu perekonomian rumah tangga Tiwi nantinya. Kami tidak akan khawatir, nasib adik kami, kedepannya. Meskipun dia harus nikah muda." "Hahaha, aduh, aduh ...." Tawaku pecah dan menggema di ruang tamu. Cacing diperut ikut terpingkal-pingakal menyaksikan kebodohan kakaknya Mas Adi. Mereka menatap bingung dengan tingkahku. "Kenapa kamu malah ketawa, Eva?" "Kalian itu lucu, hahaha." "Lucu Gimana maksud kamu? Dasar perempuan kampung, Jangan main-main sama kami." "Hahaha, siapa yang main-main? justru kalian sendiri yang memainkan drama jadul." "Sudahlah Eva. Jangan banyak bercanda. lebih baik kamu setujui saja syarat yang kami ajukan. Dengan senang hati kami akan menikahkan Tiwi." Nampaknya mereka ini memang sudah benar-benar gil
POV Adi "Na-nayla kabur." Jantungku bergemuruh hebat saetelah mendengar kabar yang begitu menacap di hati. Betul prediksiku selama beberapa hari ini. Ada yang aneh dari Nayla. Dia pasti selingkuh dengan pria lain. Mulai dari ponsel yang diberi sandi tanpa aku ketahui. Lalu, Sudah hampir satu minggu kemarin, dia selalu pulang larut malam. Sikap Nayla pula yang memberi cambukan tersendiri kepadaku. Apalgi Ibu selalu saja membela Nayla. Bahkan saat Eva datang memintaku untuk menikahkan Tiwi, Ibu selalu saja menyalahkanku. "Di, kenapa kamu tidak bisa meluluhkan kembali hati, Eva? Jadi runyam seperti ini. Bagaimana nasib adikmu jika harus menikah muda. Harusnya kamu bisa mencari solusi dari permaslahan keluarga kita." Kata-kata Ibu setelah Eva pergi, sangat memukul batinku. Benar kata Eva, aku hanya dijadikan tumbal kebahagian keluarga ini. Mereka selalu membebankan semua masalah kepadaku. Ibu hanya menjadikanku alat untuk kebahagian Mbak Ratna, Mbak Neli, dan adikku. Namun, mereka tid