POV Eva "A-aku hamil, Mas." Tubuhku rasanya gemetar. Saat Tiwi mengungkap sebuah kejujuran. Tak pernah menyangka, dia akan salah jalan seperti ini. Saat di kantor polisi, aku pikir dia hanya baru sekali saja melakukan perbuatan menjijikan itu. Namun, ternyata sudah sangat jauh. "Apa?" Mantan mertua, dan anak-anaknya datang. Aku bisa melihat jelas ekspresi kaget yang luar biasa dari wajah mereka. Ibu Mas Adi, terperangah. Dia mematung. Bagai jasad tanpa ruh. Plak! "Gila kamu Tiwi. Sejak kapan kamu bisa berbuat hal memalukan seperti ini? kenapa bisa hamil di luar nikah. Dasar adik tidak tahu diuntung." Mbak Ratna terus memaki Tiwi. Bukan hanya menampar, tapi beberapa kali mencoba memukul tangannya. Aku berusaha menghadang. Agar Tiwi tidak terus menerus disakiti. "Tiwi, coba ulangi lagi perkatanmu. Pasti ibu salah dengar. Betulkan, Nak? katakan bahwa semuanya tidak benar." Ibu Maria mendekati Tiwi dengan kursi roda. Kondisinya sangat memprihatikan. Hatiku tak tega. Dia berusaha
"Apa, rujuk?" Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Mbak Ratna berbicara hal yang ngawur. Membuat kepalaku geleng-geleng, karena heran. "Iya. Kamu harus rujuk sama Adi. Sebagai penjamin, hidup Tiwi akan bahagia. Kalau kamu masih jadi istri Adi, Kamu bisa membantu perekonomian rumah tangga Tiwi nantinya. Kami tidak akan khawatir, nasib adik kami, kedepannya. Meskipun dia harus nikah muda." "Hahaha, aduh, aduh ...." Tawaku pecah dan menggema di ruang tamu. Cacing diperut ikut terpingkal-pingakal menyaksikan kebodohan kakaknya Mas Adi. Mereka menatap bingung dengan tingkahku. "Kenapa kamu malah ketawa, Eva?" "Kalian itu lucu, hahaha." "Lucu Gimana maksud kamu? Dasar perempuan kampung, Jangan main-main sama kami." "Hahaha, siapa yang main-main? justru kalian sendiri yang memainkan drama jadul." "Sudahlah Eva. Jangan banyak bercanda. lebih baik kamu setujui saja syarat yang kami ajukan. Dengan senang hati kami akan menikahkan Tiwi." Nampaknya mereka ini memang sudah benar-benar gil
POV Adi "Na-nayla kabur." Jantungku bergemuruh hebat saetelah mendengar kabar yang begitu menacap di hati. Betul prediksiku selama beberapa hari ini. Ada yang aneh dari Nayla. Dia pasti selingkuh dengan pria lain. Mulai dari ponsel yang diberi sandi tanpa aku ketahui. Lalu, Sudah hampir satu minggu kemarin, dia selalu pulang larut malam. Sikap Nayla pula yang memberi cambukan tersendiri kepadaku. Apalgi Ibu selalu saja membela Nayla. Bahkan saat Eva datang memintaku untuk menikahkan Tiwi, Ibu selalu saja menyalahkanku. "Di, kenapa kamu tidak bisa meluluhkan kembali hati, Eva? Jadi runyam seperti ini. Bagaimana nasib adikmu jika harus menikah muda. Harusnya kamu bisa mencari solusi dari permaslahan keluarga kita." Kata-kata Ibu setelah Eva pergi, sangat memukul batinku. Benar kata Eva, aku hanya dijadikan tumbal kebahagian keluarga ini. Mereka selalu membebankan semua masalah kepadaku. Ibu hanya menjadikanku alat untuk kebahagian Mbak Ratna, Mbak Neli, dan adikku. Namun, mereka tid
POV adi Suara ayam mulai memekikkan telinga. Menandakan malam berganti pagi. Langit mulai tersenyum kembali dengan cahaya mentari. Meskipun hatiku masih terasa gelap. Nayla sama sekali tidak mau berbicara denganku sejak bertemu dini hari tadi. Dia langsung tidur membelakangiku. Awalnya, aku berniat memeriksa ponselnya. Namun, tak kunjung bisa membuka sandi. Akhirnya, aku menyerah dan memilih mencari cara lain untuk membongkar skandal perselingkuhan yang mungkin saja dilakukan Nayla. "Di, kapan mau cari kerja? Mbak Sudah tidak punya simpanan lagi untuk biaya makan. Pusing harus gimana nantinya," ucap Mbak Ratna yang sedang memasak di dapur bersama Mbak Neli. "Iya, Di. Kerja, cari uang. Masa mau numpang makan terus." "Gak nyadar? Mbak Neli juga numpang. Udah punya suami, masih ngandelin orang tua." "Songong kamu, Di. Bukannya dengerin Mbak. Malah membalikan fakta." Mbak Neli menggoreng nasi dengan kesal. Beberapa butiran nasi sampai berjatuhan ke kompor. Aku abaikan tanpa menimpal
POV Eva (Harta Gono gini) Air mata runtuh. Batin rasanya begitu lelah. Pada persidangan kali ini, Mas Adi masih saja bersikukuh mempertahankan rumah tangga kami. Persidangan berjalan alot. Dia bahkan berani mengatakan siap menceriakan istri keduanya demi rujuk kembali. Dasar pria gila. Dia pikir, luka yang ditorehkan mudah disembuhkan. Hanya karena mulut manisnya? tentu tidak. Sakitnya penghianatan dan kebohongan, bagai peluru yang tepat mengenai jantungku. Menembus lapisan kulit terdalam, dan bersarang di hati. "Menangislah, Eva. Kamu butuh sesi mengeluarkan semua unek-unek, kekecewaan dan amarah yang ada di hati." Gibran mengelus pundakku saat diparkiran. Kaki rasanya berat melangkah masuk ke mobil. Aku ingin mengamuk. Meluapkan semua kepedihan yang sudah berbulan-bulan disimpan. Bahkan, setelah mengetahui skandal terlarang suamiku, tetap saja tak bisa keluar dari cengkeramannya. "Kenapa sulit sekali lepas dari Mas Adi, Ran?" "Tenang, Eva. Kamu pasti bisa lepas darinya." "Ak
Aku pegang kening, lalu memijit pelipis. Masalah duit, tidak ada habisnya diperebutkan. Manusia akan mati-matian mendapatkan uang, bahkan dengan cara yang salah sekalipun. Contohnya keluarga Mas Adi. Selalu mencari celah dan kesempatan agar bisa memiliki hartaku. Kenapa mereka tidak memulai hidup baru dengan cara mencari uang sendiri. Tanpa merongrong uang dan warisan yang aku punya. "Eva, buka pintunya!" Selesai mengerjakan solat isya, kupingku terganggu oleh suara teriakan dari pintu depan. Beberapa kali pintu di ketuk sangat keras. Siapa gerangan tamu yang datang tak diundang? tidak ada sopan santunnya bertamu ke rumah orang. Aku lipat mungkena. Menyimpannya di atas kasur. Kemudian, memakai kerudung langsungan. Segera menuju pintu depan. Sebelum pintu rumahku rusak. "Buka! perempuan penjahat. buka!" "Iya, sebentar!" Dengan setengah berlari aku buka pintu. Munculah sosok yang tidak asing. Mbak Ratna berdiri dengan raut penuh kekesalan dan amarah. Dia menatapku bagai sosok ast
POV Adi "Kita ke rumah Eva," ucap Ibu. "Mau apa lagi, Bu?" tanyaku benar-benar tak setuju. "Untuk meminta uang pelicin persidangan, dan harta gono gini." "Tidak. Cukup, jangan mengemis lagi, Bu." "Diam. Jangan membantah." Ruang tamu makin panas. Ditambah cuaca siang hari yang semakin terik. Ide gile ibu menambah resah. Api seakan membakar ubun-ubun. Aku tak mau mengemis lagi. Yang aku inginkan hanya kembali pada Eva. Ingin menjalani hidup normal seperti biasanya. Bukan melakukan siasat licik. Akan tetapi, ulah Nayla yang seenaknya menjual mobil, membuat ibu mengeluarkan ide gila ini. Nayla benar-benar berubah. Dia sama sekali tidak perduli kepadaku dan keluarga. Dengan mudahnya menjual mobil, tanpa memberi sepersen pun kepada kami. Keluargaku sudah tidak punya tabungan. Mas Hendri tidak bisa diandalkan. Sudah lebih dari satu bulan, dia di PHK. karena perusahannya mengalami kerugian. Akhirnya, dia usul untuk meminjam uang dengan jaminan sertifikat rumah Mbak Ratna. Lalu mengguna
"Saya harap, Pak Adi bisa tegar dan sabar. Ibu anda terkena stroke total. Tubuhnya mengalami mati rasa. Hanya tangan saja yang masih berfungsi seperti biasa." Batin rasanya dilempar besi dengan berat puluhan kilo. Nyeri, menembus dari ulu hati dan menjalar melalui urat-urat sampai ke seluruh tubuh. Air mata meluncur bebas di kedua pipi. "Yang kuat, Mas." Eva menggenggam tanganku. Sorot matanya menunjukan rasa kasihan yang teramat dalam. Perlahan, dia usap air mata ini. Aku tak kuasa menopang tubuh. Seketika menghambur ke pelukan Eva. Menyandarkan segala duka lara yang dirasa. "Kamu pasti kuat. Jangan lemah. Ada Ibu, kakak dan adik perempuanmu yang harus dijaga." Eva mengusap lembut punggungku. Dia terus mengucap kata-kata positif untuk memberi kekuatan. Aku sampai tak bisa berkata-kata. Kebaikan Eva begitu luar biasa. Perempuan yang aku sakiti. Malah menjadi orang pertama yang memberi kekuatan menghadapi cobaan hidup. "Ingat janji Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 286,