"Saya harap, Pak Adi bisa tegar dan sabar. Ibu anda terkena stroke total. Tubuhnya mengalami mati rasa. Hanya tangan saja yang masih berfungsi seperti biasa." Batin rasanya dilempar besi dengan berat puluhan kilo. Nyeri, menembus dari ulu hati dan menjalar melalui urat-urat sampai ke seluruh tubuh. Air mata meluncur bebas di kedua pipi. "Yang kuat, Mas." Eva menggenggam tanganku. Sorot matanya menunjukan rasa kasihan yang teramat dalam. Perlahan, dia usap air mata ini. Aku tak kuasa menopang tubuh. Seketika menghambur ke pelukan Eva. Menyandarkan segala duka lara yang dirasa. "Kamu pasti kuat. Jangan lemah. Ada Ibu, kakak dan adik perempuanmu yang harus dijaga." Eva mengusap lembut punggungku. Dia terus mengucap kata-kata positif untuk memberi kekuatan. Aku sampai tak bisa berkata-kata. Kebaikan Eva begitu luar biasa. Perempuan yang aku sakiti. Malah menjadi orang pertama yang memberi kekuatan menghadapi cobaan hidup. "Ingat janji Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 286,
POV Eva "Pake saja uangku dulu, Mas." Mas Adi menggeleng tanda menolak. Dia bersikeras ingin membiarkan Mbak Neli di rawat di rumah. Padahal, hal tersebut sangat mengancam keselamatan penghuni rumah dan Mbak Neli Sendiri. "Terima saja bantuan Eva. Gak usah malu-malu, Di. Kamu mau kita ditusuk si Neli yang lagi stres itu? udahlah, ayok Eva, Gibran, bawa adikku ke rumah sakit. Jangan lupa, kalian juga yang bayarin." Tanpa banyak basa basi, kami berusaha membujuk Mbak Neli agar mau naik ke mobil. Pura-pura membohonginya untuk bertemu Hendri. Dia tidak menolak. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil. Tertawa, berbicara ngawur, persis gelagat orang gila yang berseliweran di pinggir jalan. Aku tidak menyangka, kehilangan seorang suami membuat Mbak Neli begitu rapuh. Dia terlalu mencintai manusia di luar batas. Sampai logikanya keluar dari jalur kewarasan. Beruntung, Tuhan masih memberiku kesehatan mental. Meskipun sudah dikhianati, tetapi masih tegar berdiri. "Kondisi Ibu Neli cuk
"Aku ingin melamarmu." Mataku melotot. Segera aku lepaskan genggaman Gibran. Menatap kikuk ke arahnya. Ada perasaan takut yang menyelimuti. Entah kenapa, aku merasa khawatir setiap mendengar isi hati seorang pria. Aku takut, ucapan hanya sekedar kata. Bukan ketulusan tapi akal bulus, dan cintanya hanya palsu belaka. "Kenapa, Eva? apa kamu belum bisa melupakan Adi? aku siap menunggu, sampai kamu benar-benar melupakannya." "Gibran, tolong jangan bercanda. Leluconmu gak lucu." "Va, aku serius. Aku cinta sama kamu. Bukan soal harta, rupa atau apapun itu. Tapi aku suka hatimu. Aku suka sikapmu. Kamu perempuan hebat dan kuat." Bibirku membeku mendengar perkataan Gibran. Tak menyangka, secepat ini ada seseorang yang mengungkapkan perasaan kepadaku. "Va, aku benar-benar mencintaimu." Rintikan hujan menerpa baju kami. Gibran menarikku mencari tempat meneduh. Tak ada kata yang terucap. Kami sibuk dengan perasaan masing-masing. Aku tidak bisa membalas cinta Gibran. Meskipun bersamanya ada
POV Adi "Di, kamu gak minta, sedikit aja harta Gono gini?" tanya Mbak Ratna di malam hari, saat kami mengobrol di ruang tamu. "Cukup Mbak. Gak usah bahas harta lagi, harta lagi. Kapan sih, Mbak Sadar? Eva udah baik banget sama kita. Gak malau terus-terusan niat meres dia?" Aku sudah tidak perduli bahwa Mbak Ratna adalah kakakku. Kali ini sikapnya benar-benar keterlaluan. Selalu saja berniat merepotkan Eva. Meminta sesuatu yang bukan milik kami. Sesekali, aku harus bersikap tegas padanya. Supaya dia sadar, keadaan keluarga kami seperti ini, karena kejahatan yang sudah dilakukan pada Eva. "Santai dong, Di. Gak sopan banget. Aku ini kakak kamu. Harusnya kamu hormat sama aku. Inget, cuman aku doang yang mau bantu kamu. Mbak cape dan malu Di, jadi buruh cuci gosok. Tapi, Mbak gak tega liat kamu nanggung beban sendirian. Eh, kamu dibelain malah ngelunjak." "Bukan gitu, Mbak. Adi cu-" "Halah, berisik. Terus aja merasa sok bener. Semua ini gara-gara kamu. Hidupku jadi belangsak. Ibu saki
POV Eva ( Masa Iddah berakhir) Udara pegunungan terhirup sampai ke rongga-rongga paru. Suara kicauan burung selalu menemani hari-hariku. Meskipun tak ada tambatan hati. Namun, aku bersyukur bisa menikmati sisa hidup, dengan bahagia dan merasa merdeka. "Sarapan, cah ayu," panggil Lik Janah. Aku selalu kalah cepat dengannya. Setiap pagi, Lik Janah sudah menyiapkan serba-serbi makanan untuk sarapan. Seulas senyum, ikut menghiasi wajahnya yang mulai menampakan kerutan. "Enggih, Lik." Aku tarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Lik Janah. Hanya ada kami berdua di rumah ini. Jujur, rasa sepi kadang menghantui. Akan tetapi, berusaha aku tepis, dengan cara berbaur bersama masyarakat sekitar. Mengikuti kegiatan yang menyita waktu. Agar aku lupa luka masa lalu. Sehingga, tidak lagi meratapi kesendirian. "Hari ini, bertepatan berakhirnya masa iddah, cah ayu, Enggih?" "Uhuk ... uhuk ...." "Minum, Ndok. Ya ampun, alon-alon." Perkataan Lik Janah, tiba-tiba membuatku tersedak. Segera aku a
"Apa yang mau Mas bicarakan?" "Maukah adek, ke tempat biasa. Untuk mengobrol berdua?" "Baiklah." Awalnya aku malas menuruti keinginannya. Namun, bagaimanapun Mas Adi adalah tamu. Dia datang jauh-jauh dari Jakarta ke Jawa. Pasti ada hal penting yang mau dibicarakan. Jika mengobrol di pabrik, akan terganggu para pekerja. Kami melangkah menuju perkebunan kopi. Ada sebuah gubuk dan bangku di sana. Tempat yang sering kami kunjungi saat masih suami istri. Aku suka mengajak Mas Adi istirahat dan makan di sini. Gubuk ini terletak diperbatasan antara perkebunan kopi milikku, dengan perkebunan sayur warga sekitar. Udara segar dan pemandangan indah, memanjakan mata. Di sini, menjadi tempat ternyaman ketika melepas lelah. "Katakan maksud dan tujuan Mas ke sini. Tolong, jangan mengulang masa kelam diantara kita. Aku sudah hidup bahagia, Mas." "Maaf, Dek. Mas ke sini tak ada maksud mengusikmu lagi. Mas hanya ingin menyampaikan titipan almarhumah ibu." "Almarhumah?" tanyaku kaget. "Iya Dek
"Gibran." terlihat, ternyata bukan hanya ada Gibran. Di belakangnya juga datang Mas Adi, dan Lik Sumi. "Eva. Selamat datang di kafe 'dunia penikmat kopi' aku sudah menepati ucapanku sama kamu." "Gibran. Kenapa kamu gak pernah menemuiku? kenapa sekarang kamu baru seperti ini?" "Maaf Eva. Aku tidak berani bertemu denganmu. Sebelum aku sukses membuktikan bahwa aku bisa menepati janji." Aku hanya menggeleng. Rasa kesal membuncah. Perasaanku campur aduk. Antara bahagia tapi kecewa. Gibran telah membuktikan kebenaran tentangnya. Selama ini, dia sering ke sini, tapi tidak mau menemuiku. Mas Adi juga berbohong. Kemarin, dia berlagak pura-pura tak tahu. Mengapa mereka sekongkol membohongiku? apa ruginya, jika jujur dari awal? "Eva, mohon bantuannya dulu penjelasanku. Jangan berpikir buruk. Aku akan menjelaskan semuanya." Gibran melangkah maju ke panggung, yang sudah di dekor untuk acara hari ini. Dia berbicara pada seseorang, yang aku taksir sebagai pembawa acara. Betul saja, Master o
POV Eva Tujuh Tahun Kemudian "Hallo, Sayang," ujar Mas Gibran melalui sambungan telepon. "Iya, Mas. Kenapa? kamu kapan pulang? udah jam segini." "Mas kayanya pulang malem, Sayang. Jadi, kamu tidur duluan yah." "Pulang malam lagi? aku sudah siapin kamu makan malam, Mas." "Iya, Sayang. Maafin, Mas. Ada banyak yang harus diurus untuk pengiriman produk kopi terbaru kita. Ditambah lagi, Mas harus mengecek keuangan beberapa kafe kita." "Hmmm, ya sudah." "Maaf, Sayang. Jangan marah yah." "Iya." Sambungan telepon segera aku matikan. Aku memijat pelipis karena sedikit pusing. Terlalu lama menunggu Mas Gibran pulang. Sudah pukul 22.00 WIB Mas Gibran belum pulang juga. Entah ke mana sebenarnya dia. Semenjak usaha kafe dan pabrik kopi kami semakin maju, suamiku itu semakin sibuk. Bahkan, jarang makan bersama. Ada apa dengan suamiku? rasa kesal dan was-was bercampur jadi satu. Takut masa lalu terulang lagi. Dulu Mas Adi sering bersikap tak acuh seperti ini. Akhirnya, dia ketauan selin