"Aku ingin melamarmu." Mataku melotot. Segera aku lepaskan genggaman Gibran. Menatap kikuk ke arahnya. Ada perasaan takut yang menyelimuti. Entah kenapa, aku merasa khawatir setiap mendengar isi hati seorang pria. Aku takut, ucapan hanya sekedar kata. Bukan ketulusan tapi akal bulus, dan cintanya hanya palsu belaka. "Kenapa, Eva? apa kamu belum bisa melupakan Adi? aku siap menunggu, sampai kamu benar-benar melupakannya." "Gibran, tolong jangan bercanda. Leluconmu gak lucu." "Va, aku serius. Aku cinta sama kamu. Bukan soal harta, rupa atau apapun itu. Tapi aku suka hatimu. Aku suka sikapmu. Kamu perempuan hebat dan kuat." Bibirku membeku mendengar perkataan Gibran. Tak menyangka, secepat ini ada seseorang yang mengungkapkan perasaan kepadaku. "Va, aku benar-benar mencintaimu." Rintikan hujan menerpa baju kami. Gibran menarikku mencari tempat meneduh. Tak ada kata yang terucap. Kami sibuk dengan perasaan masing-masing. Aku tidak bisa membalas cinta Gibran. Meskipun bersamanya ada
POV Adi "Di, kamu gak minta, sedikit aja harta Gono gini?" tanya Mbak Ratna di malam hari, saat kami mengobrol di ruang tamu. "Cukup Mbak. Gak usah bahas harta lagi, harta lagi. Kapan sih, Mbak Sadar? Eva udah baik banget sama kita. Gak malau terus-terusan niat meres dia?" Aku sudah tidak perduli bahwa Mbak Ratna adalah kakakku. Kali ini sikapnya benar-benar keterlaluan. Selalu saja berniat merepotkan Eva. Meminta sesuatu yang bukan milik kami. Sesekali, aku harus bersikap tegas padanya. Supaya dia sadar, keadaan keluarga kami seperti ini, karena kejahatan yang sudah dilakukan pada Eva. "Santai dong, Di. Gak sopan banget. Aku ini kakak kamu. Harusnya kamu hormat sama aku. Inget, cuman aku doang yang mau bantu kamu. Mbak cape dan malu Di, jadi buruh cuci gosok. Tapi, Mbak gak tega liat kamu nanggung beban sendirian. Eh, kamu dibelain malah ngelunjak." "Bukan gitu, Mbak. Adi cu-" "Halah, berisik. Terus aja merasa sok bener. Semua ini gara-gara kamu. Hidupku jadi belangsak. Ibu saki
POV Eva ( Masa Iddah berakhir) Udara pegunungan terhirup sampai ke rongga-rongga paru. Suara kicauan burung selalu menemani hari-hariku. Meskipun tak ada tambatan hati. Namun, aku bersyukur bisa menikmati sisa hidup, dengan bahagia dan merasa merdeka. "Sarapan, cah ayu," panggil Lik Janah. Aku selalu kalah cepat dengannya. Setiap pagi, Lik Janah sudah menyiapkan serba-serbi makanan untuk sarapan. Seulas senyum, ikut menghiasi wajahnya yang mulai menampakan kerutan. "Enggih, Lik." Aku tarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Lik Janah. Hanya ada kami berdua di rumah ini. Jujur, rasa sepi kadang menghantui. Akan tetapi, berusaha aku tepis, dengan cara berbaur bersama masyarakat sekitar. Mengikuti kegiatan yang menyita waktu. Agar aku lupa luka masa lalu. Sehingga, tidak lagi meratapi kesendirian. "Hari ini, bertepatan berakhirnya masa iddah, cah ayu, Enggih?" "Uhuk ... uhuk ...." "Minum, Ndok. Ya ampun, alon-alon." Perkataan Lik Janah, tiba-tiba membuatku tersedak. Segera aku a
"Apa yang mau Mas bicarakan?" "Maukah adek, ke tempat biasa. Untuk mengobrol berdua?" "Baiklah." Awalnya aku malas menuruti keinginannya. Namun, bagaimanapun Mas Adi adalah tamu. Dia datang jauh-jauh dari Jakarta ke Jawa. Pasti ada hal penting yang mau dibicarakan. Jika mengobrol di pabrik, akan terganggu para pekerja. Kami melangkah menuju perkebunan kopi. Ada sebuah gubuk dan bangku di sana. Tempat yang sering kami kunjungi saat masih suami istri. Aku suka mengajak Mas Adi istirahat dan makan di sini. Gubuk ini terletak diperbatasan antara perkebunan kopi milikku, dengan perkebunan sayur warga sekitar. Udara segar dan pemandangan indah, memanjakan mata. Di sini, menjadi tempat ternyaman ketika melepas lelah. "Katakan maksud dan tujuan Mas ke sini. Tolong, jangan mengulang masa kelam diantara kita. Aku sudah hidup bahagia, Mas." "Maaf, Dek. Mas ke sini tak ada maksud mengusikmu lagi. Mas hanya ingin menyampaikan titipan almarhumah ibu." "Almarhumah?" tanyaku kaget. "Iya Dek
"Gibran." terlihat, ternyata bukan hanya ada Gibran. Di belakangnya juga datang Mas Adi, dan Lik Sumi. "Eva. Selamat datang di kafe 'dunia penikmat kopi' aku sudah menepati ucapanku sama kamu." "Gibran. Kenapa kamu gak pernah menemuiku? kenapa sekarang kamu baru seperti ini?" "Maaf Eva. Aku tidak berani bertemu denganmu. Sebelum aku sukses membuktikan bahwa aku bisa menepati janji." Aku hanya menggeleng. Rasa kesal membuncah. Perasaanku campur aduk. Antara bahagia tapi kecewa. Gibran telah membuktikan kebenaran tentangnya. Selama ini, dia sering ke sini, tapi tidak mau menemuiku. Mas Adi juga berbohong. Kemarin, dia berlagak pura-pura tak tahu. Mengapa mereka sekongkol membohongiku? apa ruginya, jika jujur dari awal? "Eva, mohon bantuannya dulu penjelasanku. Jangan berpikir buruk. Aku akan menjelaskan semuanya." Gibran melangkah maju ke panggung, yang sudah di dekor untuk acara hari ini. Dia berbicara pada seseorang, yang aku taksir sebagai pembawa acara. Betul saja, Master o
POV Eva Tujuh Tahun Kemudian "Hallo, Sayang," ujar Mas Gibran melalui sambungan telepon. "Iya, Mas. Kenapa? kamu kapan pulang? udah jam segini." "Mas kayanya pulang malem, Sayang. Jadi, kamu tidur duluan yah." "Pulang malam lagi? aku sudah siapin kamu makan malam, Mas." "Iya, Sayang. Maafin, Mas. Ada banyak yang harus diurus untuk pengiriman produk kopi terbaru kita. Ditambah lagi, Mas harus mengecek keuangan beberapa kafe kita." "Hmmm, ya sudah." "Maaf, Sayang. Jangan marah yah." "Iya." Sambungan telepon segera aku matikan. Aku memijat pelipis karena sedikit pusing. Terlalu lama menunggu Mas Gibran pulang. Sudah pukul 22.00 WIB Mas Gibran belum pulang juga. Entah ke mana sebenarnya dia. Semenjak usaha kafe dan pabrik kopi kami semakin maju, suamiku itu semakin sibuk. Bahkan, jarang makan bersama. Ada apa dengan suamiku? rasa kesal dan was-was bercampur jadi satu. Takut masa lalu terulang lagi. Dulu Mas Adi sering bersikap tak acuh seperti ini. Akhirnya, dia ketauan selin
Apa benar ini surat undangan suamiku? tak mungkin. Jika dia benar-benar selingkuh, kenapa bertindak bodoh mengirim surat undangan ini? aku harus segera ke alamat pesat pernikahan dalam undangan ini. Besok acaranya dimulai. Aku harus memastikan kenyataan yang sebenarnya. "Lik ... Lik Janah!" teriakku seketika panik. Berlari masuk ke beberapa ruangan rumah, mencari Lik Janah. Nyeri dan sesak di dada berusaha aku tahan. Air mata diusap kasar. Tak boleh lemah. Aku harus kuat menghadapi apapun. Tak akan aku biarkan ada yang menghancurkan hatiku lagi. "Cah Ayu, kamu kenapa, toh? kaya dikejar-kejar maling." "Lik, hari ini juga, temani Eva ke Jakarta. Ada hal yang harus diselidiki." "Maksudnya, gimana, Nok?" "Nanti Eva jelaskan, Bu. Tolong panggil Pak Udin. Eva mau dia yang menyupiri mobil." "Ya sudah, Nok. Lilik bilang Pak Udin dulu." Lik Janah bergegas menuju salah satu tetangga desa. Dia yang biasa diajak orang untuk jadi supir. Aku memang tak punya supir pribadi, karena jarang per
"Eva, tenanglah. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan." "Betul, Mbak. Kamu salah paham," ujar perempuan tak tahu malu itu. "Halah, pintar ngeles kalian. Sudah tertangkap basah, masih saja mengelak," ujarku sinis. Jujur, dada sesak. Kaki gemetar. Aku terus berusaha beristigfar. Memohon kekuatan atas apa yang terjadi. Meskipun pernah merasakan dikhianati, tetap saja kali ini sangat menyakitkan hati. Seseorang pria yang tahu latar belakang masa laluku. Dia yang datang untuk menyembuhkan lukaku. Malah dia juga yang menghancurkanku. "Eva, ayok kita turun dari sini. Biar Mas jelaskan semuanya." "Tidak. Semuanya sudah jelas. Tega kamu, Mas. Menghancurkan kepercayaanku demi perempuan murahan ini." "Eva jaga bicaramu. Jangan menjelekkan Rani seperti itu. Dia perempuan baik-baik. Dia sahabat sekaligus saudaraku." Plak! Plak! Aku tampar Mas Gibran, bergiliran dengan Rani. Mereka tercengang sambil memegangi pipi yang kemerahan. Sementara para tamu riuh bergunjing. "Eva. Kamu keterlalu