POV Gibran "Nanti kita lanjut lagi. Tenanglah, jangan banyak pikiran. Gibran itu setia. Aku berani menjaminnya," kekeh Rani. Lalu, merangkul istriku menuju meja makan. Mereka tidak sadar, aku mengamati tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tampaknya benar kata Rani, ada seseorang yang ingin mengusik rumah tanggaku. Sama sekali tidak terpikirkan untukku berpoligami atau selingkuh.Sikapku berubah, hanya karena sedang fokus mengumpulkan uang untuk program bayi tabung. Sengaja tak membicarakannya dengan Eva, agar istriku tidak kepikiran.Jujur, memang sulit menerima keadaan. Sebagai pria, aku sangat mendambakan menjadi seorang ayah. Namun, mau bagaimana lagi. Semesta belum mengizinkan. Aku akan terus berusaha. Berdoa, dan menempuh jalur medis semaksimal mungkin. Bukan malah mencari perempuan lain. Itu bukan solusi, tapi jurang yang menjerumuskan pada kehancuran. "Ayok dimakan," ujar Rani sangat antusias. Sahabat sekaligus saudara jauhku selalu begitu. Sangat ramah kepada siapapun. It
"Panjang kalau diceritain. Intinya kamu harus hati-hati sama anak itu. Aku malah takutnya, dia yang merencanakan kekacauan semalam.""Kamu serius, Ran? coba jelaskan sama aku. Apa Salwa masih nekat kaya dulu pas masih SMA?" tanya Gibran bingung.Aku juga bingung harus menjelaskannya seperti apa. Tak mau membongkar aib buruk adik sendiri. Namun, aku sangat khawatir kalau obsesi Salwa mendapatkan Gibran malah jadi bumerang untuk pernikahannya dengan Eva. Aku tak mau Salwa jadi pelakor seperti ibunya. Akan tetapi, aku bisa berbuat apa di tengah tekanan Salwa yang tingkah lakunya di luar nalar? "Kalian kenapa masih di sini? lebih baik kita ngobrol bareng di depan. Biar aku bawakan minum," ujar Salwa tiba-tiba kembali ke dapur. "Mbak Rani, suruh Mas Gibran ke depan," ujarnya dengan tatapan memaksa dan menunjukan bahwa kemauannya harus selalu dituruti. "Gibran, ayok kita ke depan. Kasian istrimu sendiri," ujar Mas Gilang beranjak dari duduk. Dua pria tersebut pergi ke ruangan depan. Seme
"Salwa, apa kamu sengaja mau mencelakai Gibran dan Eva?" bertanya saat bertemu Salwa di ruang Tamu. Bukannya menjawab, anak itu malah tersenyum mengerikan. "Iya. Aku sengaja melakukannya agar bisa ikut dengan mereka." "Hah? gila kamu." "Sudah-sudah kakakku tercinta. Kamu ikuti saja permainanku. Biarkan aku mengantar mereka pulang sekaligus ikut dengan mereka." "Salwa, kamu harus aku ajak ke rumah sakit jiwa. Biar isi kepalamu tidak penuh kejahatan. Heran, ibumu salah apa menyampaikan laporan segila ini." Prang! Gelas yang ada di meja dia banting sekuat tenaga. Hancur berkeping-keping di lantai. Salwa berdiri dengan raut emosi. Mukanya sangat seram. Bagaikan singa yang siap menerkam. "Ikuti kemauanku, dan beraktinglah dengan baik untuk mempermudah rencanaku," dia mengungkapkan secara tajam. Dia ambil serpihan kaca. Berjalan maju ke arahku. perlahan aku mundur. "Salwa hentikan. Kami akan mempermudah rencanamu. Asal jangan nekat," ujar Mas Gilang tiba-tiba datang dan langsung me
POV Eva "Eva, simpan surat ini, dan baca saat kamu sudah sampai rumah. Ingat, baca di kamar, dan hanya Gibran yang boleh tahu isinya." "Surat apa?" Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Mengapa penghuninya tampak aneh. seolah-olah ada hal besar yang ditutup. Sikap Rani tampak berubah-ubah. Apalagi saat ada Salwa di antara kami. "Aku mohon, simpan saja. Ikuti arahaku. Sulit untukku menjelaskannya." Aku turuti saja kemauan Rani. Beberapa menit kemudian, dia menghampiri suamiku. Lalu, aku lihat dia juga memasukan surat ke saku Mas Gibran. "Ada apa sebenarnya, Rani?" "Nanti kamu akan tahu. Bersikaplah biasa. Aku juga sudah memberi petunjuk kepada Girban. Tolong ... hanya kalian yang bisa membantu," bisik Rani. Keningku mengkerut. Ada apa sebenarnya? masalah tampak serius. Namun, aku harus sabar menunggu waktu yang tepat untuk membuka surat. Sesuai Arahan Rani. "Hei, mobil sudah siap. Ayok, Mbak Eva kita bersiap pulang," ujar Salwa dengan ceria. Saat kedatangan Salwa, lagi
"Mas yakin Rani dan Gilang tidak berbohong. Biar Mas ceritakan kejadian beberapa tahun lalu."Mas Gibran mulai menceritakan masa lalunya. Dia pernah dijebak oleh Salwa. Perempuan itu menggunakan ponsel kakaknya. Sengaja mengirim pesan berisi minta tolong. Lalu, Mas Gibran diarahkan ke sebuah diskotik. Di sana, Mas Gibran malah dijebak, tiba-tiba di pukul dari belakang. Saat setengah sadar, Mas Gibran melihat Rani melabrak Salwa, dan mengajaknya untuk pulang."Kamu serius, Mas?""Iya, Sayang. Pas itu aku emang setengah sadar. Tapi, aku yakin banget Salwa membawaku di kamar hotel. Hanya berdua saja. Itulah alasan aku tak mau mengizinkan dia ikut bersama kita.""Maafkan aku, Mas. Aku gak tahu kalau kejadiannya seperti itu ""Tidak apa-apa, Sayang. Kita ikuti saja permainan dia. Jangan langsung melawan apalagi menghindarinya. Mas takut dia nekat. Bukan hanya keselamatan Rani yang terancam. Pasti kita juga dalam kondisi bahaya.""Iya, Mas. Kita sepemikiran."Aku tak menyangka, ternyata per
"Sudahlah, Mas. Bersikap biasa," lirihku. Aku sengaja menyuruh mereka pergi berdua. Agar dengan leluasa menghubungi Rani. Aku mau mengorek lebih jauh terkait Salwa. Sebagai langkah antisipasi sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. "Ya sudah, kali ini saja.""Demi untung kita, Mas."Mas Gibran hanya menunjukkan raut sungkan. Dia tampak tidak senang dengan ide-ide anehku. Mau bagaimana lagi, Salwa sudah ada di tengah-tengah kami. Kami juga harus memikirkan cara agar dia menjauh dari keluargaku. "Ayok, Mas. Aku sudah siap.""Sayang, Mas berangkat dulu.""Aku juga berangkat yah, Mbak.""Iya, hati-hati, yah."Mereka pergi menggunakan mobil menuju pabrik kami yang berjarak sekitar 30 menit dari rumah. Setelah mereka menghilang dari pandangan, aku bereskan dulu pekerjaan rumah. Lalu, membuka leptop, dan mengecek email Mas Gibran. Suami Rani bilang dalam surat, kalau dia akan menceritakan semuanya melalui email. "Nah, ini pasti email-nya."Aku baca paragraf demi paragraf dari email ya
"Tidak. Aku tak mau melakukan rencana gila ini!" sentaknya emosi. "Tapi, Mas ... mau pakai cara apa lagi untuk mengusir Salwa. Kamu sudah baca email Gilang 'kan? Kasihan Rani dan Gilang. Kita juga harus membantu mereka.""Tidak usah, Sayang. Mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan. Kita fokus saja dengan rumah tangga kita. Mas sudah merencanakan pertemuan dengan dokter hebat di Semarang. Kita bakal usaha buat bayi tabung lagi.""Soal Salwa gimana, Mas?""Biar Mas yang nyuruh dia pergi dari sini.""Ya, sudah kalau itu yang terbaik menurutmu.""Iya, Sayang. Kita fokus dengan kebahagiaan kita saja." Aku mengangguk ragu. Dari pengalamanku selama ini, biasanya orang seperti Salwa tak akan menyerah begitu saja. Dia punya seribu satu cara mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, jika suamiku mengatakan hal demikian, lebih baik aku ikuti saja kemauannya. *****"Salwa, duduk di sini, kami mau bicara," ucap Mas Gibran setelah sarapan. "Ada apa, Mas?""Kami sudah memutuskan, kalau kamu leb
"Kita lihat nanti. Mas tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Kacau. Hampir setengahnya pabrik kita hancur dimakan api." Mas Gibran mengacak rambut frustasi. "Sabar, Mas. Kita pasti bisa menghadapi cobaan ini." "Maafkan Mas, Eva. Mas tidak mengurus bisnis milikmu dengan baik. Mas malu," ucap Mas Gibran berkaca-kaca. Suamiku terduduk lesu sambil menyandar ke tembok. mata berkaca-kaca. Wajahnya tak karuan, dipenuhi hitam-hitam karena asap kebakaran. Keringat tampak membasahi permukaan kulitnya. "Jangan bicara begitu, Mas. Kita hadapi semuanya bersama. Masih ada tabungan. Kita pakai dulu buat perbaikan. Setelahnya, kita bisa menjalankan bisnis ini seperti semula. percayalah, dibalik kesusahan pasti ada kemudahan." Aku usap lembut pundaknya. Duduk di samping suamiku, sambil mengelap keringat dan debu yang menempel di area wajahnya. "Maaf." Hanya kata itu yang terucap dari bibir tipisnya. Tiba-tiba, Mas Gibran memelukku dengan erat. Napasnya naik turun menahan gejolak kekece