Share

BAB 03 - NISSA

Alvin memang membondong keluarga Rissa untuk tinggal di rumahnya saat pertama kali menikah. Bahkan pernikahan yang biasanya dirayakan di rumah mempelai wanita, mereka mengadakannya di kediaman si pria. 

Rissa seorang wanita sederhana, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang tidak mampu menampung banyak orang. Nina, ibu tirinya yang sudah seperti orangtuanya sendiri selalu saja membuntuti wanita itu ke mana pun dia pergi. Begitu juga dengan adik tirinya yang bernama Nissa, dia pula ikut dengan kakaknya. Almarhum ayahnya memang berpesan kepada putri sulungnya untuk menjaga istri dan anaknya dari Nina. Meski pun gadis berusia tujuh belas tahun itu bukanlah adik kandungnya, tapi betapa sayangnya dia pada sang adik hingga apa pun yang diinginkannya selalu saja dituruti. 

"Bi Ratih itu asisten rumah tangga di sini. Memang masih baru sih, tapi Zidan cepat lengket banget," terang Kang Alvin. 

Ucapannya hanya diangguki pelan Rissa, lagipula dia tidak mau memperpanjang permasalahan. Kalau pun memang ada bukti yang akurat, wanita itu berjanji akan membuka kedok sifat suaminya yang sebenarnya. 

Sesekali Zidan memainkan janggutnya yang tumbuh di sekitaran dagu Kang Alvin. Anak itu memang sangat menggemaskan, hanya saja Rissa merasa tidak suka setiap kali melihat mereka selalu bersama dengan sang suami. Terlihat seperti anak dan ayah yang tengah mencurahkan segala kasih sayangnya. 

"Kamu kayaknya sayang banget sama Zidan ya, Mas?" tanya Rissa. 

"Iya. Udah kayak ke anak sendiri," jawab Zidan pelan. 

"Nanti kalau semisalkan kamu punya anak sendiri, masih tetap sayang Zidan juga?" tanya Rissa berhati-hati. 

Dari kejauhan Bi Ratih mendengarkan pembicaraan mereka. Sayup-sayup terdengar suara nada tidak suka yang terlihat menonjol meski itu dari sikapnya. 

"Tetap sayang dong. Zidan kan udah aku anggap kayak anakku sendiri, Sayang."

Tidak berselang lama Bi Ratih datang dengan membawakan beberapa satu gelas teh hangat dan secangkir kopi yang masih mengepul. 

"Kopi, pakai susu, gulanya sedikit. Bener kan, Pak?" tanya Bi Ratih. 

Kedua mata Rissa tidak terlepas ke arah Bi Ratih, dia semakin geram pada asisten rumah tangganya. Baru saja menikah sudah banyak permasalahan yang menjadi tanda tanya. 

"Tau banget kesukaan suami saya ya, Bi?" sindir Rissa, tangannya mengepal kuat dia meredam kekesalannya. 

"Tentu saja, Nyonya." Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. 

"Pagi." Nina menyapa mereka yang berada di ruang tengah. Rissa menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman. 

Rissa celingukan seperti mencari seseorang yang tidak ikut serta dengan ibunya. "Ke mana Nissa, Bu? Dari kemarin dia enggak keliatan."

"Di kamarnya kali."

"Dia sakit, Bu?" tanya Rissa khawatir, keningnya mengernyit tidak mengerti ketidakhadiran adik tirinya. Dia sangat menyayangi Nissa yang tak lain hasil dari pernikahan almarhum ayahnya juga Nina. 

"Enggak tahu juga. Coba deh kamu tengok dia."

"Iya coba lihat dulu Nissa, Sayang. Takutnya dia sakit," ucap Kang Alvin menyarankan. 

Wanita berkerudung merah muda itu pun hendak bangkit dari duduknya, mencoba untuk melihat keadaan adiknya yang tidak saja keluar dari kamarnya. 

Begitu kenop pintunya dibuka, matanya menyisir sekitar hingga pandangannya terpaku pada satu titik, gadis berambut panjang tengah tertidur di atas kasur king size. Tubuhnya meringkuk di sana sambil diselimuti. 

"Nissa?" panggil Rissa pelan. 

Gadis yang dipanggil tidak sekali pun menyahut, akhirnya wanita itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Sesekali menggoyangkan bahunya, tapi tidak ada penggerakan dari adiknya. 

"Nissa, kamu sakit, Sayang?" tanya Rissa. 

"Iya, Kak." Suaranya terdengar serak, Rissa semakin khawatir dengan kondisi adiknya yang sedari tadi terus terbaring. 

Semenjak acara pernikahannya, Nissa tidak terlihat mungkin dia mengurung dirinya di dalam kamar. 

"Kalau gitu istirahat aja ya." Rissa mengelus pelan kepala adiknya lembut. Setelah dirasa Nissa harus banyak istirahat, dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. 

Setelah kepergian Rissa, gadis berusia tujuh belas tahun itu menoleh ke arah pintu kamar yang kini sudah tertutup. Dia kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal yang menjadi tumpuan. Nissa berusaha menyamarkan suara isak tangisnya agar tidak terlalu terdengar, bagaimana jika kakaknya nanti menanyakan banyak hal atas air matanya yang meluncur bebas membasahi permukaan wajahnya. 

Perlahan, dia cepat menyeka air matanya, beberapa kali menghela napas pelan tuk menetralkan keadaannya. 

"Maafin aku, Kak Rissa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status