Alvin memang membondong keluarga Rissa untuk tinggal di rumahnya saat pertama kali menikah. Bahkan pernikahan yang biasanya dirayakan di rumah mempelai wanita, mereka mengadakannya di kediaman si pria.
Rissa seorang wanita sederhana, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang tidak mampu menampung banyak orang. Nina, ibu tirinya yang sudah seperti orangtuanya sendiri selalu saja membuntuti wanita itu ke mana pun dia pergi. Begitu juga dengan adik tirinya yang bernama Nissa, dia pula ikut dengan kakaknya. Almarhum ayahnya memang berpesan kepada putri sulungnya untuk menjaga istri dan anaknya dari Nina. Meski pun gadis berusia tujuh belas tahun itu bukanlah adik kandungnya, tapi betapa sayangnya dia pada sang adik hingga apa pun yang diinginkannya selalu saja dituruti.
"Bi Ratih itu asisten rumah tangga di sini. Memang masih baru sih, tapi Zidan cepat lengket banget," terang Kang Alvin.
Ucapannya hanya diangguki pelan Rissa, lagipula dia tidak mau memperpanjang permasalahan. Kalau pun memang ada bukti yang akurat, wanita itu berjanji akan membuka kedok sifat suaminya yang sebenarnya.
Sesekali Zidan memainkan janggutnya yang tumbuh di sekitaran dagu Kang Alvin. Anak itu memang sangat menggemaskan, hanya saja Rissa merasa tidak suka setiap kali melihat mereka selalu bersama dengan sang suami. Terlihat seperti anak dan ayah yang tengah mencurahkan segala kasih sayangnya.
"Kamu kayaknya sayang banget sama Zidan ya, Mas?" tanya Rissa.
"Iya. Udah kayak ke anak sendiri," jawab Zidan pelan.
"Nanti kalau semisalkan kamu punya anak sendiri, masih tetap sayang Zidan juga?" tanya Rissa berhati-hati.
Dari kejauhan Bi Ratih mendengarkan pembicaraan mereka. Sayup-sayup terdengar suara nada tidak suka yang terlihat menonjol meski itu dari sikapnya.
"Tetap sayang dong. Zidan kan udah aku anggap kayak anakku sendiri, Sayang."
Tidak berselang lama Bi Ratih datang dengan membawakan beberapa satu gelas teh hangat dan secangkir kopi yang masih mengepul.
"Kopi, pakai susu, gulanya sedikit. Bener kan, Pak?" tanya Bi Ratih.
Kedua mata Rissa tidak terlepas ke arah Bi Ratih, dia semakin geram pada asisten rumah tangganya. Baru saja menikah sudah banyak permasalahan yang menjadi tanda tanya.
"Tau banget kesukaan suami saya ya, Bi?" sindir Rissa, tangannya mengepal kuat dia meredam kekesalannya.
"Tentu saja, Nyonya." Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman.
"Pagi." Nina menyapa mereka yang berada di ruang tengah. Rissa menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman.
Rissa celingukan seperti mencari seseorang yang tidak ikut serta dengan ibunya. "Ke mana Nissa, Bu? Dari kemarin dia enggak keliatan."
"Di kamarnya kali."
"Dia sakit, Bu?" tanya Rissa khawatir, keningnya mengernyit tidak mengerti ketidakhadiran adik tirinya. Dia sangat menyayangi Nissa yang tak lain hasil dari pernikahan almarhum ayahnya juga Nina.
"Enggak tahu juga. Coba deh kamu tengok dia."
"Iya coba lihat dulu Nissa, Sayang. Takutnya dia sakit," ucap Kang Alvin menyarankan.
Wanita berkerudung merah muda itu pun hendak bangkit dari duduknya, mencoba untuk melihat keadaan adiknya yang tidak saja keluar dari kamarnya.
Begitu kenop pintunya dibuka, matanya menyisir sekitar hingga pandangannya terpaku pada satu titik, gadis berambut panjang tengah tertidur di atas kasur king size. Tubuhnya meringkuk di sana sambil diselimuti.
"Nissa?" panggil Rissa pelan.
Gadis yang dipanggil tidak sekali pun menyahut, akhirnya wanita itu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Sesekali menggoyangkan bahunya, tapi tidak ada penggerakan dari adiknya.
"Nissa, kamu sakit, Sayang?" tanya Rissa.
"Iya, Kak." Suaranya terdengar serak, Rissa semakin khawatir dengan kondisi adiknya yang sedari tadi terus terbaring.
Semenjak acara pernikahannya, Nissa tidak terlihat mungkin dia mengurung dirinya di dalam kamar.
"Kalau gitu istirahat aja ya." Rissa mengelus pelan kepala adiknya lembut. Setelah dirasa Nissa harus banyak istirahat, dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya.
Setelah kepergian Rissa, gadis berusia tujuh belas tahun itu menoleh ke arah pintu kamar yang kini sudah tertutup. Dia kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal yang menjadi tumpuan. Nissa berusaha menyamarkan suara isak tangisnya agar tidak terlalu terdengar, bagaimana jika kakaknya nanti menanyakan banyak hal atas air matanya yang meluncur bebas membasahi permukaan wajahnya.
Perlahan, dia cepat menyeka air matanya, beberapa kali menghela napas pelan tuk menetralkan keadaannya.
"Maafin aku, Kak Rissa."
"Aku kerja dulu ya, Sayang." Kang Alvin mengecup kening istrinya dengan lembut. Sesekali Rissa membenarkan letak dasi dan jas hitamnya. Bekerja di perkantoran membuatnya harus terlihat sangat rapi, apalagi di sana suaminya menjabat sebagai direktur utama. Ya, Kang Alvin memang keluarga terpandang mempunyai beberapa perusahaan di mana-mana, tidak heran jika dia mengeluarkan banyak uang saat pernikahannya beberapa hari lalu. Akan tetapi, tetap saja Nina mengatakannya tidak cukup masih saja memakai uangnya, padahal tidak sama sekali. Ibu tiri Rissa memang baik sangat menyayanginya, meski pun dia bukan anak kandungnya. Hanya saja Nina tipe orang yang pelit, dia tidak mau satu rupiah pun keluar dari dompetnya dan terlalu menghemat. "Nanti kamu pulangnya biasanya jam berapa, Kang?" tanya Rissa, dia memang belum tahu mengenai jam kerja suaminya. "Biasanya sih malam, tapi kalau kamu kangen siang juga aku bisa langsung pulang." Pria berjas hitam itu mengusap lembut pipi sang istri. Perlaku
"Aku enggak mau ke dokter, Kak!" sergah Nissa. "Kenapa? Kamu kan lagi sakit." ucap Rissa, mengelus puncak kepala sang adik dengan lembut. Ternyata ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, kini Nissa sudah beranjak remaja dan Rissa merasa dia belum bisa menjadi kakak yang terbaik. "Nissa sekarang baik-baik aja kok, Kak." "Beneran?" tanya Rissa, menaikkan alisnya sebelah mencoba memastikan kebenaran dari ucapan adiknya. Dia mengangguk pelan, lalu sudut bibirnya ditarik ke atas membentuk senyuman yang manis. Bingkai wajahnya kini terlihat kembali sumringah meski sepertinya gadis itu memaksakan senyumnya. "Beneran, Kak.""Kalau gitu kamu makan aja dulu ya. Kakak bawain makanan buat kamu, Sayang." Rissa memperlihatkan makanan yang kini dia letakkan di atas nakas dekat petidurannya. Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu menganggukkan kepalanya pelan. Kalau pun memang sudah lapar pasti dia juga akan makan, tapi akhir-akhir ini Nissa tidak merasakannya mungkin karena banyakny
"Nissa kamu sebentar lagi masuk perkuliahan ya?" tanya Kang Alvin, lelaki itu tengah memainkan garpu dan sendok. Mereka berada di meja makan, kini Nissa juga ikut bergabung mungkin dia sudah sehat mendadak setelah kemarin dipaksa untuk diperiksa ke dokter. "Iya, Kak." Gadis bertubuh kurus itu menjawabnya dengan sangat pelan, kepalanya terus menunduk tidak berani menatap ke arah iparnya. "Mulai sekarang Kak Alvin yang tanggung. Jangan sungkan, Niss. Kamu kan adeknya Kak Rissa, berarti adek Kak Alvin juga." Seulas senyum terbingkai di wajahnya, begitu juga Rissa yang ikut bahagia karena memiliki suami sangat menyayangi keluarganya. Bukan hanya kepada Nissa yang merupakan adik tiri istrinya, dia juga sangat memperhatikan kebutuhan mertuanya. Selalu menanyakan keinginan Nina dengan mudahnya dia memenuhinya. "Makasih ya, Kang." Rissa mengusap lengan suaminya, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya. Kang Alvin mengangguk pelan, dia pula menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman
Seprai bernoda darah saat di malam pertamanya, kini sudah memudar tidak terlihat lagi. Bahkan sekarang sudah kering setelah dicuci. Rissa memandangi seprai itu dengan pandangan nanar, entah kenapa melihat kain berwarna putih yang kini masih menggantung berjemur membuat hatinya terasa sakit. Bayangan suaminya memenuhi kepalanya, mana mungkin Kang Alvin berbuat yang tidak senonoh di belakangnya. Bahkan di malam pertama mereka dia sudah lebih dulu menyakiti hatinya. Wanita itu menggeleng pelan berusaha menjauhkan pemikiran yang seharusnya tidak dipikirkan. "Mana mungkin Kang Alvin sejahat itu." Dia menyeka air matanya yang membasahi permukaan wajahnya. Dikarenakan tidak ada bukti yang meyakinkan hatinya jika Kang Alvin berselingkuh dengan pembantunya sendiri. Untuk saat ini dia mencoba untuk berpikir positif selama dirinya mencari bukti mengenai perselingkuhan mereka. Mengingat perlakuan manis dari Kang Alvin membuatnya tidak mempercayai jika suaminya mengkhianati dirinya. Meski rasa
"Bisa pijitin bahu Kakang enggak, Neng?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang tengah mengoleskan krim malam. Dia terduduk di depan cermin sehingga pantulan paras ayunya terlibat dengan jelas. Rissa tidak memedulikan ucapan suaminya, dia terlalu kesal dengan sikap Kang Alvin pada anak si janda. Jika bisa berteriak sepertinya wanita itu akan bertanya, sebenarnya hubungan kalian apa? Namun, Rissa belum memiliki keberanian untuk menanyakannya. Lebih baik dia merayap perlahan demi mencari bukti-bukti mengenai suaminya. Apakah darah itu bukti perselingkuhannya, atau memang noda nyamuk yang tewas saat terbang. "Neng ... disuruh suami kok enggak nurut?" tanya Kang Alvin, dia mulai beringsut dari petidurannya menghampiri istrinya yang masih terduduk di kursi depan cermin. Wanita itu terus mengoleskan krim malam pada wajahnya, padahal sudah dua kali putaran dia selesai memakainya. Mungkin Rissa melimpahkan kekesalannya pada skincare yang seharusnya cukup untuk sebula
"Kamu harus makan yang banyak, Kang." Rissa terus menambahkan makanan di piring suaminya. Makanan yang tersaji di atas meja masih masakan buatannya. Entah sudah berapa hari Bi Ratih tidak memasak, karena Rissa yang mencegahnya. Dia mengatakan bisa mengolah makanan apa pun tanpa bantuan dari siapa pun, apalagi pembantunya. Kang Alvin mulai mencicipi makanannya, tapi dia cepat minum air putih yang juga sudah disediakan. "Ini kamu yang masak lagi ya, Sayang?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang terus menatap suaminya dengan lekat. Rissa menganggukkan kepalanya pelan. "Iya. Kenapa memang, Kang?""Masakan kamu ada ciri khasnya." Kang Alvin menyunggingkan bibirnya berusaha untuk tetap tersenyum meski sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi dengan masakan istrinya yang bisa dibilang berciri khas garam semua. "Iya dong beda sama yang lain. Kamu harus makan yang banyak kalau suka." Rissa kembali menambahkan nasi serta lauk pauknya di piring Kang Alvin. Nina baru keluar dari kamarnya, dia ikut
"Kang ...," panggil Rissa pelan. "Iya, kenapa, Sayang?" Kang Alvin memang menjawabnya, tapi dia tidak mengindahkan pandangannya ke arah sang istri. Kedua matanya masih terfokus pada layar monitor, pria itu tengah mengerjakan pekerjaan kantornya. Istrinya meletakkan secangkir kopi masih mengepul yang kini disimpan di atas nakas. Dia pula membuat teh hangat teruntuk dirinya, tidak lupa menyuguhkan cemilan ringan beberapa macam di hadapan suaminya. "Aku cuman mau tanya aja sih. Pengin tahu gitu. Boleh?" Alisnya terangkat sebelah mencoba untuk memastikan suaminya. Kali ini Kang Alvin menutup laptopnya, dia mengubah posisinya yang samua mengarah ke depan layar monitor kini menghadap istrinya. "Boleh. Kenapa, Sayang? Tanya apa?" tanya Kang Alvin, dia mengelus lembut kepala sang istri yang tertutupi dengan hijab. Betapa beruntungnya Alvin mendapatkan istri sebaik Rissa, meski kekurangannya tidak bisa memasak dan mempunyai kadar kecemburuan di atas rata-rata. "Pertama kali ketemu sama
"Kalian harus segera mempunyai anak, Rissa." Pandangan Nina tidak terlepas mengarah pada album foto yang kini sudah mulai usang. Gambar yang tercetak jelas di sana kenangan bersama almarhum suaminya yang sudah beberapa tahun ini meninggalkannya. Meski pun begitu, Nina tidak menghilangkan statusnya sebagai ibu dari Rissa. Dia menganggap wanita itu sudah seperti anak kandungnya, karena dari kecil dia menjaganya dengan sepenuh hati. Maka, tidak aneh lagi jika ada seorang ibu tiri yang menyayangi anak dari istri pertama suaminya. "Iya, Mah. Hari ini aku mau coba bicara sama Kang Alvin.""Nah iya. Alvin suka sama anak kecil, kalau kalian punya anak kan jadinya dia enggak terus dekat sama anak orang lain." Nina membalik lembar album yang lain, di sana ada gambar seorang anak perempuan yang tengah merangkak. Terlihat dari wajahnya tampak sumringah, mungkin karena dibuat senang oleh ayahnya yang berada di balik kamera. Sudut bibir Rissa tertarik ke atas membentuk senyuman, dia tahu siapa o