"Aku kerja dulu ya, Sayang." Kang Alvin mengecup kening istrinya dengan lembut. Sesekali Rissa membenarkan letak dasi dan jas hitamnya. Bekerja di perkantoran membuatnya harus terlihat sangat rapi, apalagi di sana suaminya menjabat sebagai direktur utama.
Ya, Kang Alvin memang keluarga terpandang mempunyai beberapa perusahaan di mana-mana, tidak heran jika dia mengeluarkan banyak uang saat pernikahannya beberapa hari lalu. Akan tetapi, tetap saja Nina mengatakannya tidak cukup masih saja memakai uangnya, padahal tidak sama sekali.
Ibu tiri Rissa memang baik sangat menyayanginya, meski pun dia bukan anak kandungnya. Hanya saja Nina tipe orang yang pelit, dia tidak mau satu rupiah pun keluar dari dompetnya dan terlalu menghemat.
"Nanti kamu pulangnya biasanya jam berapa, Kang?" tanya Rissa, dia memang belum tahu mengenai jam kerja suaminya.
"Biasanya sih malam, tapi kalau kamu kangen siang juga aku bisa langsung pulang." Pria berjas hitam itu mengusap lembut pipi sang istri. Perlakuannya memang selalu manis, tapi Rissa merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.
Berhubungan selama dua tahun bersama Kang Alvin tidak membuatnya mengetahui segala hal tentangnya. Mungkin karena suaminya tipe orang tertutup, seperti masalah keluarganya dia tidak begitu menjelaskannya. Hanya intinya saja jika kedua orang tuanya sudah tiada sejak dia masih kecil dan meninggalkan banyak warisan yang kini dia kelola dengan baik.
Rissa terkekeh mendengar ucapan suaminya, Kang Alvin memang bisa pulang cepat karena dia pemilik perusahaannya sendiri. Toh, tidak akan ada yang melarang, lagipula ada banyak karyawan kepercayaannya yang selalu andil menjalankannya.
"Nanti pas pulang kamu mau dimasakin apa?" tanya Rissa, mengelus dada bidang suaminya. Masih ingat sekali dalam benaknya, dua tahun lalu dia masih malu-malu saat berbincang dengan kakak kelasnya. Ya, dulu saat kuliah Kang Alvin salah satu kakak tingkatnya yang diidamkan oleh kebanyakan orang. Bukan hanya wajahnya yang tergolong pria tampan, idaman, tapi dia merupakan mahasiswa favorit di antara jejeran dosen.
Beberapa saat Kang Alvin terdiam, lalu kedua matanya tertuju pada Bi Ratih yang tengah menyapu halaman. "Biasanya Bi Ratih kalau masak selalu enak, dia juga tahu apa saja yang aku suka. Kamu bisa tanya dia."
Ucapan suaminya membuat hatinya semrawut, padahal dia sudah mencoba untuk tidak memikirkan banyak hal. Menjauhkan prasangka buruk mengenai suaminya, tapi Kang Alvin sudah memulainya. Membakar kembali bara yang mulai padam, kini berkobar lagi bagai api yang bergejolak.
Merasa diperhatikan Bi Ratih menoleh ke arah mereka yang masih mematung di teras depan. Janda beranak satu itu menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman manis ke arah Kang Alvin. Tanpa disadari tangan Rissa mengepal kuat karena melihat gerak-gerik mata mereka membuatnya jijik tidak suka.
"Aku berangkat dulu ya, Sayang."
Rissa mengecup punggung tangan suaminya lembut. Bagaimana pun kelakuan Kang Alvin, dia tetap imamnya yang harus dihormati.
"Hati-hati, Kang."
Kang Alvin masuk ke dalam mobilnya berwarna hitam, lalu dia mulai menancapkan pedal gasnya dan berlalu meninggalkan pekarangan rumahnya. Rissa tidam henti melambaikan tangannya meski mobil suaminya mulai menghilang dari pandangan.
"Nyonya ... nanti mau ikut masak juga?" Pertanyaan itu membuat Rissa tersadar dari lamunannya, dia menoleh dan mendapati Bi Ratih yang berada di belakangnya.
"Iya. Masa saya enggak masakin suami sendiri," jawab Rissa ketus. Wanita itu juga cepat masuk ke dalam rumahnya meninggalkan asisten rumah tangganya begitu saja.
***
"Nissa masih sakit, Bu?" tanya Rissa, menanyakan keberadaan adiknya yang masih belum terlihat keluar kamar.
"Iya. Katanya sih gitu," jawab ibunya.
"Kayaknya kita harus bawa Nissa ke dokter deh, Bu." Rissa menyarankan, wanita itu memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya lalu mulai mengunyahnya.
Terlihat Bi Ratih membawa sebuah nampan besar. Di atasnya ada sepiring nasi beserta lauk pauknya, segelas susu, dan buah-buahan sebagai cuci mulutnya. Langkahnya mengarah ke kamar Nissa yang berada di atas.
"Bi ... mau di bawa ke mana?" tanya Rissa yang cepat memanggil begitu Bi Ratih hendak menanjak anak tangga.
"Nona Nissa, Nyonya. Kata tuan sebelum berangkat kasih pesan ke saya jangan sampai lupa kasih makan untuk Neng Nissa," ucap Bi Ratih.
Rissa mendengus kesal. "Kenapa enggak langsung bilang ke aku juga sih. Kan Nissa adik aku."
Wanita itu terus menggerutu, Nina mengelus lengan Rissa lembut mencoba menenangkan anak tirinya. Lagian baru saja menikah beberapa hari, masa harus ada drama lagi setelah masalah bercak darah di seprai.
Bi Ratih merasa tidak enak dengan istri majikannya, langkahnya terhenti di tempat. Hingga akhirnya Rissa mengambil alih nampan di tangan pembantunya.
"Biar saya aja yang anter makanannya buat Nissa."
Wanita itu akhirnya mengangguk patuh, meski awalnya enggan memberikan nampan itu. Karena sudah menjadi kewajibannya melayani keluarga majikannya.
Rissa membawa nampan itu ke arah kamar adiknya, setelah berada di depan pintu dia mendengar suara Nissa yang tengah berbincang dengan seseorang. Sepertinya gadis itu berbicara lewat telepon yang tidak diketahui siapa lawan bicaranya.
"Aku takut." tanya Nissa pada seseorang di sebrang sana, suaranya terdengar parau dan serak.
"Aku enggak mau ke dokter, Kak!" sergah Nissa. "Kenapa? Kamu kan lagi sakit." ucap Rissa, mengelus puncak kepala sang adik dengan lembut. Ternyata ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, kini Nissa sudah beranjak remaja dan Rissa merasa dia belum bisa menjadi kakak yang terbaik. "Nissa sekarang baik-baik aja kok, Kak." "Beneran?" tanya Rissa, menaikkan alisnya sebelah mencoba memastikan kebenaran dari ucapan adiknya. Dia mengangguk pelan, lalu sudut bibirnya ditarik ke atas membentuk senyuman yang manis. Bingkai wajahnya kini terlihat kembali sumringah meski sepertinya gadis itu memaksakan senyumnya. "Beneran, Kak.""Kalau gitu kamu makan aja dulu ya. Kakak bawain makanan buat kamu, Sayang." Rissa memperlihatkan makanan yang kini dia letakkan di atas nakas dekat petidurannya. Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu menganggukkan kepalanya pelan. Kalau pun memang sudah lapar pasti dia juga akan makan, tapi akhir-akhir ini Nissa tidak merasakannya mungkin karena banyakny
"Nissa kamu sebentar lagi masuk perkuliahan ya?" tanya Kang Alvin, lelaki itu tengah memainkan garpu dan sendok. Mereka berada di meja makan, kini Nissa juga ikut bergabung mungkin dia sudah sehat mendadak setelah kemarin dipaksa untuk diperiksa ke dokter. "Iya, Kak." Gadis bertubuh kurus itu menjawabnya dengan sangat pelan, kepalanya terus menunduk tidak berani menatap ke arah iparnya. "Mulai sekarang Kak Alvin yang tanggung. Jangan sungkan, Niss. Kamu kan adeknya Kak Rissa, berarti adek Kak Alvin juga." Seulas senyum terbingkai di wajahnya, begitu juga Rissa yang ikut bahagia karena memiliki suami sangat menyayangi keluarganya. Bukan hanya kepada Nissa yang merupakan adik tiri istrinya, dia juga sangat memperhatikan kebutuhan mertuanya. Selalu menanyakan keinginan Nina dengan mudahnya dia memenuhinya. "Makasih ya, Kang." Rissa mengusap lengan suaminya, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya. Kang Alvin mengangguk pelan, dia pula menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman
Seprai bernoda darah saat di malam pertamanya, kini sudah memudar tidak terlihat lagi. Bahkan sekarang sudah kering setelah dicuci. Rissa memandangi seprai itu dengan pandangan nanar, entah kenapa melihat kain berwarna putih yang kini masih menggantung berjemur membuat hatinya terasa sakit. Bayangan suaminya memenuhi kepalanya, mana mungkin Kang Alvin berbuat yang tidak senonoh di belakangnya. Bahkan di malam pertama mereka dia sudah lebih dulu menyakiti hatinya. Wanita itu menggeleng pelan berusaha menjauhkan pemikiran yang seharusnya tidak dipikirkan. "Mana mungkin Kang Alvin sejahat itu." Dia menyeka air matanya yang membasahi permukaan wajahnya. Dikarenakan tidak ada bukti yang meyakinkan hatinya jika Kang Alvin berselingkuh dengan pembantunya sendiri. Untuk saat ini dia mencoba untuk berpikir positif selama dirinya mencari bukti mengenai perselingkuhan mereka. Mengingat perlakuan manis dari Kang Alvin membuatnya tidak mempercayai jika suaminya mengkhianati dirinya. Meski rasa
"Bisa pijitin bahu Kakang enggak, Neng?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang tengah mengoleskan krim malam. Dia terduduk di depan cermin sehingga pantulan paras ayunya terlibat dengan jelas. Rissa tidak memedulikan ucapan suaminya, dia terlalu kesal dengan sikap Kang Alvin pada anak si janda. Jika bisa berteriak sepertinya wanita itu akan bertanya, sebenarnya hubungan kalian apa? Namun, Rissa belum memiliki keberanian untuk menanyakannya. Lebih baik dia merayap perlahan demi mencari bukti-bukti mengenai suaminya. Apakah darah itu bukti perselingkuhannya, atau memang noda nyamuk yang tewas saat terbang. "Neng ... disuruh suami kok enggak nurut?" tanya Kang Alvin, dia mulai beringsut dari petidurannya menghampiri istrinya yang masih terduduk di kursi depan cermin. Wanita itu terus mengoleskan krim malam pada wajahnya, padahal sudah dua kali putaran dia selesai memakainya. Mungkin Rissa melimpahkan kekesalannya pada skincare yang seharusnya cukup untuk sebula
"Kamu harus makan yang banyak, Kang." Rissa terus menambahkan makanan di piring suaminya. Makanan yang tersaji di atas meja masih masakan buatannya. Entah sudah berapa hari Bi Ratih tidak memasak, karena Rissa yang mencegahnya. Dia mengatakan bisa mengolah makanan apa pun tanpa bantuan dari siapa pun, apalagi pembantunya. Kang Alvin mulai mencicipi makanannya, tapi dia cepat minum air putih yang juga sudah disediakan. "Ini kamu yang masak lagi ya, Sayang?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang terus menatap suaminya dengan lekat. Rissa menganggukkan kepalanya pelan. "Iya. Kenapa memang, Kang?""Masakan kamu ada ciri khasnya." Kang Alvin menyunggingkan bibirnya berusaha untuk tetap tersenyum meski sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi dengan masakan istrinya yang bisa dibilang berciri khas garam semua. "Iya dong beda sama yang lain. Kamu harus makan yang banyak kalau suka." Rissa kembali menambahkan nasi serta lauk pauknya di piring Kang Alvin. Nina baru keluar dari kamarnya, dia ikut
"Kang ...," panggil Rissa pelan. "Iya, kenapa, Sayang?" Kang Alvin memang menjawabnya, tapi dia tidak mengindahkan pandangannya ke arah sang istri. Kedua matanya masih terfokus pada layar monitor, pria itu tengah mengerjakan pekerjaan kantornya. Istrinya meletakkan secangkir kopi masih mengepul yang kini disimpan di atas nakas. Dia pula membuat teh hangat teruntuk dirinya, tidak lupa menyuguhkan cemilan ringan beberapa macam di hadapan suaminya. "Aku cuman mau tanya aja sih. Pengin tahu gitu. Boleh?" Alisnya terangkat sebelah mencoba untuk memastikan suaminya. Kali ini Kang Alvin menutup laptopnya, dia mengubah posisinya yang samua mengarah ke depan layar monitor kini menghadap istrinya. "Boleh. Kenapa, Sayang? Tanya apa?" tanya Kang Alvin, dia mengelus lembut kepala sang istri yang tertutupi dengan hijab. Betapa beruntungnya Alvin mendapatkan istri sebaik Rissa, meski kekurangannya tidak bisa memasak dan mempunyai kadar kecemburuan di atas rata-rata. "Pertama kali ketemu sama
"Kalian harus segera mempunyai anak, Rissa." Pandangan Nina tidak terlepas mengarah pada album foto yang kini sudah mulai usang. Gambar yang tercetak jelas di sana kenangan bersama almarhum suaminya yang sudah beberapa tahun ini meninggalkannya. Meski pun begitu, Nina tidak menghilangkan statusnya sebagai ibu dari Rissa. Dia menganggap wanita itu sudah seperti anak kandungnya, karena dari kecil dia menjaganya dengan sepenuh hati. Maka, tidak aneh lagi jika ada seorang ibu tiri yang menyayangi anak dari istri pertama suaminya. "Iya, Mah. Hari ini aku mau coba bicara sama Kang Alvin.""Nah iya. Alvin suka sama anak kecil, kalau kalian punya anak kan jadinya dia enggak terus dekat sama anak orang lain." Nina membalik lembar album yang lain, di sana ada gambar seorang anak perempuan yang tengah merangkak. Terlihat dari wajahnya tampak sumringah, mungkin karena dibuat senang oleh ayahnya yang berada di balik kamera. Sudut bibir Rissa tertarik ke atas membentuk senyuman, dia tahu siapa o
Nissa memuntahkan segala makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya, Nina sangat khawatir saat melihat putrinya bolak-balik ke kamar mandi bahkan dengan wajah yang begitu pucat pasi. "Kamu kenapa sih, Sayang?" tanya Nina mengelus puncak kepala gadis itu dengan lembut. Jawabannya hanya dengan gelengan pelan. Seingat ibunya Nissa memang memiliki penyakit lambung, dia selalu saja kambuh setiap kali telat makan. Mungkin saja kali ini juga seperti itu karena akhir-akhir ini putrinya tidak nafsu makan, dia seringkali mengakhirkannya. "Kamu enggak enak badan ya?" tanya ibunya, sambil mengurut punggung putrinya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu mendudukkan dirinya di sofa sambil memijat pelipisnya yang terasa pening. Bulir bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini luruh begitu saja membasahi permukaannya. "Kamu pusing, Sayang?" tanya Nina, dia cepat membawa minyak kayu putih lalu dibalurkan pada leher putrinya. "Mau muntah lagi?" Nina begitu telaten mempertanyakan k