Share

BAB 04 - BUKET BUNGA

"Aku kerja dulu ya, Sayang." Kang Alvin mengecup kening istrinya dengan lembut. Sesekali Rissa membenarkan letak dasi dan jas hitamnya. Bekerja di perkantoran membuatnya harus terlihat sangat rapi, apalagi di sana suaminya menjabat sebagai direktur utama. 

Ya, Kang Alvin memang keluarga terpandang mempunyai beberapa perusahaan di mana-mana, tidak heran jika dia mengeluarkan banyak uang saat pernikahannya beberapa hari lalu. Akan tetapi, tetap saja Nina mengatakannya tidak cukup masih saja memakai uangnya, padahal tidak sama sekali. 

Ibu tiri Rissa memang baik sangat menyayanginya, meski pun dia bukan anak kandungnya. Hanya saja Nina tipe orang yang pelit, dia tidak mau satu rupiah pun keluar dari dompetnya dan terlalu menghemat. 

"Nanti kamu pulangnya biasanya jam berapa, Kang?" tanya Rissa, dia memang belum tahu mengenai jam kerja suaminya. 

"Biasanya sih malam, tapi kalau kamu kangen siang juga aku bisa langsung pulang." Pria berjas hitam itu mengusap lembut pipi sang istri. Perlakuannya memang selalu manis, tapi Rissa merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. 

Berhubungan selama dua tahun bersama Kang Alvin tidak membuatnya mengetahui segala hal tentangnya. Mungkin karena suaminya tipe orang tertutup, seperti masalah keluarganya dia tidak begitu menjelaskannya. Hanya intinya saja jika kedua orang tuanya sudah tiada sejak dia masih kecil dan meninggalkan banyak warisan yang kini dia kelola dengan baik. 

Rissa terkekeh mendengar ucapan suaminya, Kang Alvin memang bisa pulang cepat karena dia pemilik perusahaannya sendiri. Toh, tidak akan ada yang melarang, lagipula ada banyak karyawan kepercayaannya yang selalu andil menjalankannya. 

"Nanti pas pulang kamu mau dimasakin apa?" tanya Rissa, mengelus dada bidang suaminya. Masih ingat sekali dalam benaknya, dua tahun lalu dia masih malu-malu saat berbincang dengan kakak kelasnya. Ya, dulu saat kuliah Kang Alvin salah satu kakak tingkatnya yang diidamkan oleh kebanyakan orang. Bukan hanya wajahnya yang tergolong pria tampan, idaman, tapi dia merupakan mahasiswa favorit di antara jejeran dosen. 

Beberapa saat Kang Alvin terdiam, lalu kedua matanya tertuju pada Bi Ratih yang tengah menyapu halaman. "Biasanya Bi Ratih kalau masak selalu enak, dia juga tahu apa saja yang aku suka. Kamu bisa tanya dia."

Ucapan suaminya membuat hatinya semrawut, padahal dia sudah mencoba untuk tidak memikirkan banyak hal. Menjauhkan prasangka buruk mengenai suaminya, tapi Kang Alvin sudah memulainya. Membakar kembali bara yang mulai padam, kini berkobar lagi bagai api yang bergejolak. 

Merasa diperhatikan Bi Ratih menoleh ke arah mereka yang masih mematung di teras depan. Janda beranak satu itu menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman manis ke arah Kang Alvin. Tanpa disadari tangan Rissa mengepal kuat karena melihat gerak-gerik mata mereka membuatnya jijik tidak suka. 

"Aku berangkat dulu ya, Sayang." 

Rissa mengecup punggung tangan suaminya lembut. Bagaimana pun kelakuan Kang Alvin, dia tetap imamnya yang harus dihormati. 

"Hati-hati, Kang."

Kang Alvin masuk ke dalam mobilnya berwarna hitam, lalu dia mulai menancapkan pedal gasnya dan berlalu meninggalkan pekarangan rumahnya. Rissa tidam henti melambaikan tangannya meski mobil suaminya mulai menghilang dari pandangan. 

"Nyonya ... nanti mau ikut masak juga?" Pertanyaan itu membuat Rissa tersadar dari lamunannya, dia menoleh dan mendapati Bi Ratih yang berada di belakangnya. 

"Iya. Masa saya enggak masakin suami sendiri," jawab Rissa ketus. Wanita itu juga cepat masuk ke dalam rumahnya meninggalkan asisten rumah tangganya begitu saja. 

***

"Nissa masih sakit, Bu?" tanya Rissa, menanyakan keberadaan adiknya yang masih belum terlihat keluar kamar. 

"Iya. Katanya sih gitu," jawab ibunya. 

"Kayaknya kita harus bawa Nissa ke dokter deh, Bu." Rissa menyarankan, wanita itu memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya lalu mulai mengunyahnya. 

Terlihat Bi Ratih membawa sebuah nampan besar. Di atasnya ada sepiring nasi beserta lauk pauknya, segelas susu, dan buah-buahan sebagai cuci mulutnya. Langkahnya mengarah ke kamar Nissa yang berada di atas. 

"Bi ... mau di bawa ke mana?" tanya Rissa yang cepat memanggil begitu Bi Ratih hendak menanjak anak tangga. 

"Nona Nissa, Nyonya. Kata tuan sebelum berangkat kasih pesan ke saya jangan sampai lupa kasih makan untuk Neng Nissa," ucap Bi Ratih. 

Rissa mendengus kesal. "Kenapa enggak langsung bilang ke aku juga sih. Kan Nissa adik aku." 

Wanita itu terus menggerutu, Nina mengelus lengan Rissa lembut mencoba menenangkan anak tirinya. Lagian baru saja menikah beberapa hari, masa harus ada drama lagi setelah masalah bercak darah di seprai. 

Bi Ratih merasa tidak enak dengan istri majikannya, langkahnya terhenti di tempat. Hingga akhirnya Rissa mengambil alih nampan di tangan pembantunya. 

"Biar saya aja yang anter makanannya buat Nissa." 

Wanita itu akhirnya mengangguk patuh, meski awalnya enggan memberikan nampan itu. Karena sudah menjadi kewajibannya melayani keluarga majikannya. 

Rissa membawa nampan itu ke arah kamar adiknya, setelah berada di depan pintu dia mendengar suara Nissa yang tengah berbincang dengan seseorang. Sepertinya gadis itu berbicara lewat telepon yang tidak diketahui siapa lawan bicaranya. 

"Aku takut." tanya Nissa pada seseorang di sebrang sana, suaranya terdengar parau dan serak. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status