Share

BAB 06 - DARAH SIAPA?

"Nissa kamu sebentar lagi masuk perkuliahan ya?" tanya Kang Alvin, lelaki itu tengah memainkan garpu dan sendok. 

Mereka berada di meja makan, kini Nissa juga ikut bergabung mungkin dia sudah sehat mendadak setelah kemarin dipaksa untuk diperiksa ke dokter. 

"Iya, Kak." Gadis bertubuh kurus itu menjawabnya dengan sangat pelan, kepalanya terus menunduk tidak berani menatap ke arah iparnya. 

"Mulai sekarang Kak Alvin yang tanggung. Jangan sungkan, Niss. Kamu kan adeknya Kak Rissa, berarti adek Kak Alvin juga." Seulas senyum terbingkai di wajahnya, begitu juga Rissa yang ikut bahagia karena memiliki suami sangat menyayangi keluarganya. 

Bukan hanya kepada Nissa yang merupakan adik tiri istrinya, dia juga sangat memperhatikan kebutuhan mertuanya. Selalu menanyakan keinginan Nina dengan mudahnya dia memenuhinya. 

"Makasih ya, Kang." Rissa mengusap lengan suaminya, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya. 

Kang Alvin mengangguk pelan, dia pula menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman yang begitu manis terbingkai di wajahnya. 

"Uang ibu habis," celetuk Nina. 

Rissa memijat pelipisnya pelan, Nina memang suka belanja yang menurutnya tidak terlalu penting seperti baju seharga ratusan ribu serta tas branded. Padahal uang yang diberikan Kang Alvin itu lebih dari cukup. Baru saja seminggu, masa sudah habis. Meski pun suaminya memiliki banyak perusahaan yang selalu mendapatkan omset miliaran, tetap saja istrinya ingin selalu berhemat seperti halnya dulu sebelum dia menikah. Wanita itu memberikan uang secukupnya hanya untuk membeli beras serta lauk pauknya saja. 

"Kalau habis yaudah, Bu. Alhamdulillah." Rissa menjawabnya santai, karena kalau dilayani dengan jawaban yang memanjakan ujungnya pasti dia minta lagi. Wanita itu tidak ingin membuat beban suaminya oleh ibu tirinya. 

"Nanti saya transfer lagi, Bu." Sudut bibir Nina tertarik ke atas begitu mendengar jawaban dari menantunya. 

"Makasih, Nak." 

"Maaf ya, Mas." Rissa kembali mengelus lengan suaminya lembut. Jawaban Kang Alvin hanya dengan anggukan serta senyiman manis seperti biasanya. Lagipula dia tidak merasa terbebani oleh keluarga istrinya, justru pria itu senang bisa membahagiakan mereka. 

Nissa tidak sekalipun ikut berbincang dengan keluarganya, pikirannya melayang entah ke mana. Bahkan sepiring nasi yang ada di depannya pun tidak sekali pun masuk ke dalam mulutnya. Gadis itu melirik arloji di tangannya, dia bangkit dari duduknya begitu mengetahui pukul tujuh pagi. 

"Aku mau berangkat sekolah," ucap Nissa pelan. 

"Bareng aja sama Kak Alvin yuk." Pria itu cepat meneguk segelas air putihnya. 

"Enggak kak," jawab Nissa cepat. 

"Bareng aja, Niss. Lagipula kantor Kang Alvin sama sekolah kamu searah kan? Daripada naik ojek." Rissa juga menyarankan sang adik. 

Nissa terdiam, lalu dia meraih lengan kakaknya. "Kak Rissa juga ikut ya?"

"Masa kamu sekolah mau dianter sama kakak? Kayak anak TK dong." Rissa terkekeh dengan perlakuan adiknya. 

"Nissa pengin diantar aja sama kakak."

Rissa terdiam, dia merasa ada kejanggalan dengan sikap adiknya. Biasanya Nissa selalu berangkat sendiri, tapi kali ini dia ingin diantar? Apa karena berangkat bareng dengan Kang Alvin membuatnya canggung? 

"Yaudah kakak antar," jawab Rissa. "Sekalian mau beli pupuk buat tanaman juga."

Kang Alvin yang lebih dulu masuk ke dalam mobilnya di tempat pengendara. Diikuti dengan Rissa dan Nissa yang segera masuk ke dalamnya. 

Di samping pengendara Rissa yang menempatinya, sedangkan Nissa terduduk di belakang. Dia membuka jendela kaca mobil, agar udara masuk dapat langsung dihirupnya. 

"Sekolah Nissa itu di SMA Darmawangsa kan?" tanya Kang Alvin, sudut matanya melirik ke kaca di depannya sehingga sosok iparnya terlihat jelas di sana. 

"Iya." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Nissa. Padahal saat pertama kali dia berkenalan dengan Kang Alvin, gadis itu sering menyapanya dengan riang. Namun, kenapa dia berubah drastis? 

Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk menempuh sekolah yang dituju. Kang Alvin menepikan mobilnya di samping sekolah. 

Nissa hendak membuka kenop pintu mobil, tapi pergerakannya terhenti begitu Kang Alvin memanggilnya. 

"Nissa."

Gadis itu menoleh ke arahnya, tapi pandangannya kembali menunduk seolah ada ketakutan yang dia sembunyikan. 

"Kak Alvin lupa belum kasih kamu uang jajan," ucapnya. "Nih." Pria itu menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah. 

"Ambil aja, Nissa." Rissa mengingatkannya, akhirnya gadis itu pun menerimanya. 

"Makasih, Kak." Nissa pun cepat keluar dari mobil, dia juga tergesa masuk ke dalam sekolahnya. Mungkin, takut terlambat dan dicap sebagai siswa nakal. 

Alvin melajukan mobilnya lagi, kali ini dia mengantarkan istrinya ke tempat toko khusus tanaman. Selama di perjalanan, tangan kiri suaminya meraih jemari Rissa lalu menggenggamnya dengan erat. 

"Makasih ya, Mas. Sudah menerima keluargaku," ucap Rissa. Meski sebenarnya wanita itu masih terngiang-ngiang dengan bercak noda di seprainya, tapi perlakuan suaminya melupakan sejenak tentang hal itu. 

"Iya istriku, Sayang." 

Tidak berselang lama sebuah toko bernama Florist yang terpampang di depannya menjadi tujuan Rissa. Kang Alvin menepikan mobilnya di sana. 

"Kamu langsung ke kantor aja. Aku biar naik taxi."

"Beneran? Awas jangan bohong ya. Naik taxi, jangan godain tukang ojek." Kang Alvin menatap tajam ke arah istrinya. 

"Aku itu enggak kayak kamu. Emangnya kamu godain terus Bi Ratih." Bibir Rissa mengerucut kesal, karena Kang Alvin mencurigainya takut selingkuh padahal dia sendiri yang seringkali kepergok berduaan dengan pembantunya. 

"Aku bukan godain, Sayang. Bi Ratih kan udah aku anggap sodara sendiri, begitu juga Zidan yang udah kayak anak sendiri."

Pemikiran Rissa kembali mengingat pada seprai bernoda darah. Apa mungkin itu darahnya Bi Ratih? Namun, dia baru saja mengingatnya jika pembantunya sudah mempunyai anak yang bernama Zidan seperti ucapan suaminya barusan. Apa janda berdarah lagi setelah pernah disentuh? Kalau memang bukan darahnya Bi Ratih, lalu di seprai itu darah siapa? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status