"Ternyata kamu istri kedua suami saya." Keyla menatap Rissa sinis. Padahal saat pertama kali bertemu dia bersikap ramah bahkan tidak jarang berbagi cerita yang mengesankan. Kang Alvin memang sengaja mengadakan pertemuan antara kedua istrinya. Putrinya juga ikut serta dalam perkumpulan itu, Lea berada dalam pangkuannya. Dia berusia empat bulan seperti usia pernikahan Kang Alvin dan Rissa. Lea memang sedikit mirip dengan pria yang duduk bersebelahan dengan wanita berbaju gamis biru muda. Sesekali Rissa melirik bayi itu, meski hanya sesaat saja. "Justru kamu yang kedua!" sergah Keyla, jarinya menunjuk ke arah Rissa. "Rissa, kamu memang istriku yang kedua." Kali ini Kang Alvin yang membuka suara. Rissa terperangah tidak mempercayai apa yang terjadi dengan permasalahan rumah tangganya. Padahal dia tahu betul jika Kang Alvin sangat mencintainya. Akan tetapi, mengingat jika suaminya menikahi Keyla karena rasa kasihan ditinggalkan suaminya yang tidak lain adalah kakaknya bernama Kevin, m
Untuk saat ini Rissa tidak lagi mencurigai adiknya sebagai selingkuhan suaminya, malahan dia menjadi sangat menyayangi sang adik meskipun perlakuannya di luar batas nalarnya. Dia berhubungan dengan Delon melebihi sepasang kekasih yang dimabuk cinta, malah seperti suami-istri yang saling memenuhi kewajibannya. Rissa menggenggam tangan sang adik dengan erat, dia juga meminta maaf karena selama ini sudah mencurigainya atas permasalahan noda bercak darah di seprainya pada saat malam pertama. "Nissa ... maafin kakak ya." Rissa berujar, karena dia merasa bersalah sudah menganggap adiknya sebagai selingkuhan suaminya. Dia merasa bukan seorang kakak yang baik teruntuknya. Nissa malah tersenyum samar, dia juga mengerti bagaimana perasaan kakaknya dulu. Dia mencurigainya karena bersamaan saat itu juga Kang Alvin tengah bermain api di belakangnya. "Bagaimana sekarang Delon? Apa dia akan bertanggung jawab?" tanya Rissa, menatap adiknya lekat. "Dia mau saja bertanggung jawab, tapi ....""Tapi
Mulai sekarang Rissa menata hatinya lagi untuk mencoba ikhlas berbagi suami, meski dia sebenarnya tidak bisa menerima kenyataan yang terlalu pahit seperti ini. Dia menyiapkan hidangan makanan teruntuk suaminya, kali ini dia memesannya bukan hasil buatannya. Karena kalau dicicipi lagi rasa masakannya memang terkesan asin. "Aku harus menjadi istri yang baik buat dia. Tidak boleh kalah dong sama Keyla."Nina melihat putrinya yang begitu semangat memberikan kenyamanan teruntuk suaminya membuat sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. "Rajin banget nih istri sholehah." Nina merayu putri tirinya, dia melongok sajian makanan yang dihidangkan Rissa satu persatu. Rissa terkekeh-kekeh mendengar rayuan ibunya, senyumannya kini sudah seperti dulu lagi mengembang bagai bunga mawar. Padahal baru saja beberapa hari lalu wanita itu memasang wajah murung karena kebohongan suaminya terbongkar. "Aku pengin jadi istri yang terbaik teruntuk Kang Alvin, Mah."Wanita paruh baya itu menganggu
"Kalian berdua harus menghargai keputusanku yang sudah menjadi ketetapan untuk selamanya." Kang Alvin memandangi dua wanita yang tengah terduduk berhadapan dengannya. Mereka saling menenggelamkan semua pertanyaan yang terkumpul dalam kepala mengenai kenapa, dan bagaimana? Keyla membatin, "bagaimana caranya aku menyingkirkan Rissa dalam hidup Mas Alvin?"Tidak hanya wanita itu saja, karena Rissa pun menggerutu dalam hati. "Kenapa Kang Alvin memutuskan keputusan yang sangat sulit bagiku?""Mengenai keadilan nafkah batin dan lahir aku berjanji akan memberikannya rata. Jadi, kalian enggak perlu khawatir mengenai hal itu." Kang Alvin mencoba meluruskan semuanya. Nina juga berada di sana, tapi jaraknya berjauhan beberapa langkah dari mereka. Dia hanya ingin memastikan jika putri tirinya mendapatkan keadilan. Dia tidak akan rela jika Rissa dibiarkan begitu saja, apalagi kalau saja keadilan yang disebutkan Alvin tidak seimbang malah terlalu mengarah pada Keyla. "Untuk kamu Keyla, tidurlah
"Kesembuhan teruntuk Bu Rissa kemungkinannya sangat tipis." Wanita berjas putih itu menatapnya dengan sangat lekat. Semua keterangan dokter membuatnya tidak tenang, ucapannya terus terngiang di telinganya. Rissa menunduk menenggelamkan segala resah, apalagi mengenai keturunan yang sangat di nantinya. "Sayang ...," panggil Kang Alvin yang baru saja pulang kerja, membuka knop kamar. "Kang, sudah pulang?" tanya Rissa, dia mengusap air matanya dengan kasar seolah tidak ingin dipertanyakan sang suami mengenai tangisannya. "Sudah, Sayang. Kamu kenapa?" tanya Kang Alvin. Tetap saja kedua matanya terlihat memerah seperti orang yang sudah menangis pada umumnya. "Tadi cuman kelilipan, Kang." Rissa membohongi. Dia belum siap jika harus mengatakan yang sebenarnya pada Kang Alvin. Wanita itu akan menanggung masalah itu seorang diri, hingga tidak ada satu orang pun yang merasa kasihan padanya. "Yakin? Enggak ada masalah kan, Sayang?" tanyanya. Mengusap lembut puncak kepala istrinya. Rissa me
Nina menyiapkan segala persiapan untuk acara pernikahan putrinya dengan Delon. Rissa sudah mengatakan berulang kali jika keputusannya harus kembali dipikirkan, karena pria itu sudah membuat adiknya ketakutan setiap bertemu dengan lawan jenis karena trauma akut yang merenggut kehormatannya. Salah Nissa sendiri terlalu mudah mempercayai Delon hingga dia selalu saja memberikan keinginan kekasihnya tanpa berpikir ulang. Sudah terjadi permasalahan yang amat sulit untuk dipecahkan baru kepalanya terbuka lebar berpikir bahwa perlakuannya tidak pantas untuk dilakukan. "Mah ... Nissa enggak mau menikah sama Delon." Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, dia terisak dalam diam. "Nissa! Kalau kamu enggak mau menikah dengannya, lalu siapa lelaki yang siap menikahimu dan menerima calon bayi juga masa lalumu?" tanya ibunya dengan nada suara yang tinggi, lebih tepatnya membentak. "Aku akan mengurus bayi ini sendirian. Aku tidak membutuhkan siapapun, apalagi Delon! Pria itu bejat, Mah."
Tubuh Rissa yang lunglai direbahkan ke atas kasur berukuran king size oleh suaminya. Tampaknya wanita itu seperti kelelahan setelah banyak drama yang disajikan Kang Alvin dalam hidupnya. Beberapa saat kemudian Rissa mengerjapkan kedua matanya, begitu pandangannya kembali jelas pertama kali yang dilihatnya sang suami berada di hadapannya. Mengecup punggung tangannya beberapa kali seolah ketakutan jika harus kehilangan wanita itu. "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Kang Alvin mengusap lembut puncak kepala sang istri yang tertutupi hijab panjang. Perut Rissa tiba-tiba terasa seperti dikocok hingga kerongkongannya terasa mual seperti ada dorongan suatu hal yang menjadi penyebabnya. Wanita itu tidak kuasa menahan rasa ingin memuntahkan apapun yang telah dimakannya. Dia beranjak dari petidurannya, berlari ke arah kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari tempatnya saat ini. "Rissa, kamu kenapa?" tanya Kang Alvin cemas pada sang istri. Pria itu berlari cepat mengikuti Rissa yang masih b
"Bagaimana hasilnya ya?" Kang Alvin terus mondar-mandir seperti setrikaan ke kiri kanan tiada henti. Sudah lebih dari enam puluh menit dia berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu kemunculan sang istri yang sampai saat ini tidak saja kembali. Setahunya hasil dari tespact tidak terlalu lama sampai berjam-jam menunggu. Hingga pada akhirnya dia memutuskan mengetuk pintu. "Rissa ... kamu sudah dapat hasilnya?" tanya Kang Alvin cemas karena sedari tadi tidak terdengar suara sang istri di dalam kamar mandi tersebut. Masa iya Rissa ketiduran? Dia menggeleng pelan mencoba menjauhkan pemikiran tentang hal itu. "Sayang ... kamu masih di sana?" tanya Kang Alvin, berulang kali dia mengetuk pintu. Pria itu mendekatkan telinganya tepat pada balik pintu mencoba mendengarkan jawaban dari sang istri, tapi tidak ada seseorang yang menimpali perkataannya. Hanya ada suara isak tangis yang membuatnya bertanya-tanya. Rissa kenapa? Apa dia kecewa dengan hasilnya? Seharusnya dia tidak memintanya untuk