“Nissa ke mana saja kamu?” tanya Nina terisak. Dia mendekap putrinya dengan erat saking rindunya pada Nissa yang beberapa minggu ini menghilang tanpa jejak. Akan tetapi, kedatangannya hanya seorang diri tanpa sosok Bi Ratih juga Zidan seperti apa yang diharapkan Kang Alvin. Dia ingin menemui Ratih dan memeluk putranya dengan hangat dan membisikkan tepat pada telinganya jika dia adalah Ayah kandungnya. Zidan memang masih terlalu dini untuk mengetahui semua permasalahan yang terjadi, tapi bagaimana pun juga dia harus tahu mengenai hal itu. Rissa tidak saja kembali karena dia masih ingin sendiri, wanita itu belum bisa menerima kenyataan jika Kang Alvin mempunyai masa lalu yang kelam bahkan dia begitu tega menelantarkan putra kandungnya sendiri. Padahal bukan hanya alasan pria itu mengatakannya jika Zidan seorang anak yatim, karena dia saja tidak tahu mengani hal ini. “Kak Rissa ke mana, Ma?” tanya Nissa, dia mengalihkan obrolan ke arah yang lain. Kedua matanya menyisir sekitar barangk
Rasanya sangat sulit bagi Rissa untuk memberikan kesempatan pada Kang Alvin, karena sudah berkali-kali pria itu menyembunyikan segala hal padanya membuat dia takut untuk kembali memulai bahtera rumah tangganya. Rissa pula tidak ingin terlalu lama mempermasalahkan hal tersebut, hanya saja dia ingin menunggu kedatangan Bi Ratih dan Zidan yang pergi entah ke mana. “Kalau kamu sudah menemukan Bi Ratih dan Zidan mungkin aku akan mempertimbangkan kesempatan itu, Kang.” Perkataan itu dari Rissa yang membuat Kang Alvin mengingatnya. Tangannya terkepal dengan sangat kuat. Dia memang harus segera menari keberadaan mereka tuk meluruskan segala permasalahan yang terjadi. Kang Alvin pula tidak akan mungkin lari dari tanggung jawab, dia sudah memikirkannya sedari dulu jika wanita yang bermalam dengannya pada dua tahun yang lalu mempunyai darah daging dirinya mungkin salah satu jalannya adalah menikahi Ibunya untuk putranya. “Kamu di mana, Ratih?” tanyanya, Kang Alvin mengusap wajahnya dengan kas
Nissa dilarikan ke rumah sakit karena dia merasakan kontraksi yang sangat luar biasa terasa, Nina menggiringnya ke arah ruangan. Betapa sedihnya sang Ibu melihat putrinya berjuang sendiri saat melahirkan tanpa didampingi seorang suami yang berada di sampingnya. Rissa juga ikut serta melihat perjuangan sang adik yang begitu luar biasa, tapi di mengikutinya dari jauh karena langkah Nina terlalu lebar hingga dia telah sampai di depan pintu ruangan. Brankar yang didorong oleh dua suster yang bertugas hari ini menutup pintu ruangan meminta Nina untuk menghentikan langkahnya karena dokter kandungan yang akan membantunya bersalin. Akan tetapi, ibunya tidak akan tega membiarkan putrinya berjuang sendirian dan pada akhirnya dia pun diperbolehkan masuk untuk menggenggam tangan Nissa. “Semoga saja Nissa dan bayinya baik-baik saja.” Hanya doa yang bisa dilangitkan oleh Rissa teruntuk sang adik. Dia selalu mendoakan Nissa agar adiknya selalu diberikan kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan
“Perjanjian apa itu, Sayang?” tanya Kang Alvin memastikan apa yang mengganjal dalam pikirannya.“Jangan pernah menyembunyikan apa pun lagi dariku,” ujar Rissa. Tentu saja Kang Alvin mengangguk pelan, dia menyetujui perjanjian yang diutarakan istrinya. Dia memang sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menyembunyikan rahasia apa pun darinya meski suatu hal yang tidak begitu penting. Dia takut jika Rissa pergi dalam hidupnya hanya karena perlakuan dirinya yang tidak terbuka pada sang istri, maka dari itu dia hanya bisa mengiyakan dengan pasti bahwa Kang Alvin tidak akan mengulangi hal seperti sebelumnya. “Jangan pergi dari hidupku, Rissa.” Kang Alvin mengusap punggung tangan sang istri dengan penuh kasih sayang, dia tidak ingin jika Rissa benar-benar pergi dalam hidupnya. Dia tidak akan membuat hal itu sampai terjadi. Kedua mata Rissa memanas seperti ada sesuatu yang mengganjal begitu sulit baginya jika harus mengatakannya. Wanita itu memilih untuk berdiam saja mengikuti alur
“Aku enggak bisa nikahin Ratih,” ujar Alvin dengan tegas, mungkin dia juga berpikir berulang-ulang mengenai dampak negatif berpoligami. Mempunyai dua istri saja sudah terasa melelahkan baginya, bahkan bisa dikatakan dia belum bisa memberikan keadilan terhadap dua istrinya, bagaimana lagi kalau tambah lagi? Mungkin hidupnya akan dipenuhi dengan omelan dari ketiga istri yang menuntutnya untuk berlaku adil. “Lagipula saya tidak pernah meminta dinikahi Tuan Alvin,” jawab Bi Ratih dengan tegas. Wanita berambut pendek itu tidak seperti kebanyakan perempuan lain yang selalu mengemis perasaan terhadap pria yang padahal sudah merenggut kehormatannya. Justru Ratih malah menginginkan menjauh dari mereka, karena akan lebih tenang baginya hidup berdua dengan Zidan tanpa adanya perdebatan yang melelahkan batinnya. Keyla mengembuskan napasnya pelan, dia memutarkan kedua matanya dengan malas. Rissa hanya menggeleng pelan merespon permasalahan tersebut. Namun, tiba-tiba rasa nyeri begitu terasa di b
“Bu Rissa harus segera melakukan operasi, Pak.” Wanita berjas putih itu kembali memberitahu Kang Alvin. Perkataannya selalu saja membuat pria itu ingin lenyap dari dunia saat itu juga. “Operasi apa itu, Dok?” tanya Kang Alvin memastikan, dia tidak mau adanya kesalaahn jika sudah menyangkut masalah operasi seperti yang dikatakan itu. “Kita terpaksa harus bertindak untuk segera melahirkan bayinya, Pak. Mungkin dengan melewati operasi semuanya akan bisa teratasi.” Kang Alvin mengembuskan napasnya pelam, dia tidak bisa berpikir dengan jernih mengenai operasi yang dikatakan dokter. Kalau saja operasi tersebut berlangsung mungkin dia tidak akan tahu hasil akhirnya, apakah berjalan dengan lanar atau malah seperti yang tidak diharapkannya?“Apakah operasi itu harus tetap dilakukan?”tanya Kang Alvin lirih. “Karena kalau kita membiarkannya, mungkin keduanya tidak bisa bertahan, Pak.” Pria yang mengenakan kemeja hitam itu menatap sang dokter dengan tajam seolah tengah mengintimidasinya sebe
Lampu dalam ruangan operasi pun mulai dihidupkan, lalu saat itulah dokter dan beberapa suster yang bertugas mempersiapkan segera melakukan operasi. Rissa sudah diberikan obat bius agar dia tidak merasakan sakit begitu benda tajam melukai bagian yang perlu dibuka. Dokter Alena yang merupakan spesialis bagian kandungan berjanji pada dirinya sendiri akan mengusahakan yang terbaik kepada semua pasiennya, termasuk Rissa. Akan tetapi, bagaimana pun usahanya membantu orang-orang yang membutuhkan dirinya tetap kembali lagi pada garis semesta yang sudah menysuun segalanya dan membuat alur yang menurutnya terbaik. Maka, Dokter Alena tidak bisa melakukan apa pun lagi selain berkata “Inilah yang dinamakan kehendak-Nya.” Begitu juga seperti sekarang, dia mengusahakan dirinya untuk memberikan yang terbaik, setiap kali pergerakannya dia melafalkan beberapa surat-surat agar operasinya berjalan dengan baik. Dia juga tidak lupa berdoa untuk keselamatan kedua orang yang begitu disayangi Alvin. Begitu
"Rissa tidak meninggal!" sergah Kang Alvin. Saat pria itu mengatakan hal tersebut, dengan tenaganya yang terbilang melemah, jemari tangannya membukanya sehingga kembali menampakkan sosok Rissa yang sudah memejamkan kedua matanya. Pria itu benar-benar tidak bisa berpikir secara keras mengenai kepergian istrinya, dia seolah tak percaya atas kejadian tersebut. "Lihatlah, Sayang. Anak kita akan tumbuh, apakah kamu tidak ingin melihatnya sampai dewasa?" tanya Kang Alvin dengan nada lirih. Dokter Alena ingin sekali menghentikan perlakuan Kang Alvin yang terus berusaha menyadarkan istrinya agar kembali membuka matanya. Nina hanya bisa menatap Kang Alvin dengan tatapan nanar, bahkan dia seolah kekurangan tenaga untuk menggapainya, berusaha menghentikan tangisan pria tersebut. Kang Alvin memberontak saat itu juga, meski dokter kembali mengingatkan padanya jika Rissa sudah tiada. Keberadaan putrinya yang berada di dalam dekapannya menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya terlihat merah se