“Perjanjian apa itu, Sayang?” tanya Kang Alvin memastikan apa yang mengganjal dalam pikirannya.“Jangan pernah menyembunyikan apa pun lagi dariku,” ujar Rissa. Tentu saja Kang Alvin mengangguk pelan, dia menyetujui perjanjian yang diutarakan istrinya. Dia memang sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menyembunyikan rahasia apa pun darinya meski suatu hal yang tidak begitu penting. Dia takut jika Rissa pergi dalam hidupnya hanya karena perlakuan dirinya yang tidak terbuka pada sang istri, maka dari itu dia hanya bisa mengiyakan dengan pasti bahwa Kang Alvin tidak akan mengulangi hal seperti sebelumnya. “Jangan pergi dari hidupku, Rissa.” Kang Alvin mengusap punggung tangan sang istri dengan penuh kasih sayang, dia tidak ingin jika Rissa benar-benar pergi dalam hidupnya. Dia tidak akan membuat hal itu sampai terjadi. Kedua mata Rissa memanas seperti ada sesuatu yang mengganjal begitu sulit baginya jika harus mengatakannya. Wanita itu memilih untuk berdiam saja mengikuti alur
“Aku enggak bisa nikahin Ratih,” ujar Alvin dengan tegas, mungkin dia juga berpikir berulang-ulang mengenai dampak negatif berpoligami. Mempunyai dua istri saja sudah terasa melelahkan baginya, bahkan bisa dikatakan dia belum bisa memberikan keadilan terhadap dua istrinya, bagaimana lagi kalau tambah lagi? Mungkin hidupnya akan dipenuhi dengan omelan dari ketiga istri yang menuntutnya untuk berlaku adil. “Lagipula saya tidak pernah meminta dinikahi Tuan Alvin,” jawab Bi Ratih dengan tegas. Wanita berambut pendek itu tidak seperti kebanyakan perempuan lain yang selalu mengemis perasaan terhadap pria yang padahal sudah merenggut kehormatannya. Justru Ratih malah menginginkan menjauh dari mereka, karena akan lebih tenang baginya hidup berdua dengan Zidan tanpa adanya perdebatan yang melelahkan batinnya. Keyla mengembuskan napasnya pelan, dia memutarkan kedua matanya dengan malas. Rissa hanya menggeleng pelan merespon permasalahan tersebut. Namun, tiba-tiba rasa nyeri begitu terasa di b
“Bu Rissa harus segera melakukan operasi, Pak.” Wanita berjas putih itu kembali memberitahu Kang Alvin. Perkataannya selalu saja membuat pria itu ingin lenyap dari dunia saat itu juga. “Operasi apa itu, Dok?” tanya Kang Alvin memastikan, dia tidak mau adanya kesalaahn jika sudah menyangkut masalah operasi seperti yang dikatakan itu. “Kita terpaksa harus bertindak untuk segera melahirkan bayinya, Pak. Mungkin dengan melewati operasi semuanya akan bisa teratasi.” Kang Alvin mengembuskan napasnya pelam, dia tidak bisa berpikir dengan jernih mengenai operasi yang dikatakan dokter. Kalau saja operasi tersebut berlangsung mungkin dia tidak akan tahu hasil akhirnya, apakah berjalan dengan lanar atau malah seperti yang tidak diharapkannya?“Apakah operasi itu harus tetap dilakukan?”tanya Kang Alvin lirih. “Karena kalau kita membiarkannya, mungkin keduanya tidak bisa bertahan, Pak.” Pria yang mengenakan kemeja hitam itu menatap sang dokter dengan tajam seolah tengah mengintimidasinya sebe
Lampu dalam ruangan operasi pun mulai dihidupkan, lalu saat itulah dokter dan beberapa suster yang bertugas mempersiapkan segera melakukan operasi. Rissa sudah diberikan obat bius agar dia tidak merasakan sakit begitu benda tajam melukai bagian yang perlu dibuka. Dokter Alena yang merupakan spesialis bagian kandungan berjanji pada dirinya sendiri akan mengusahakan yang terbaik kepada semua pasiennya, termasuk Rissa. Akan tetapi, bagaimana pun usahanya membantu orang-orang yang membutuhkan dirinya tetap kembali lagi pada garis semesta yang sudah menysuun segalanya dan membuat alur yang menurutnya terbaik. Maka, Dokter Alena tidak bisa melakukan apa pun lagi selain berkata “Inilah yang dinamakan kehendak-Nya.” Begitu juga seperti sekarang, dia mengusahakan dirinya untuk memberikan yang terbaik, setiap kali pergerakannya dia melafalkan beberapa surat-surat agar operasinya berjalan dengan baik. Dia juga tidak lupa berdoa untuk keselamatan kedua orang yang begitu disayangi Alvin. Begitu
"Rissa tidak meninggal!" sergah Kang Alvin. Saat pria itu mengatakan hal tersebut, dengan tenaganya yang terbilang melemah, jemari tangannya membukanya sehingga kembali menampakkan sosok Rissa yang sudah memejamkan kedua matanya. Pria itu benar-benar tidak bisa berpikir secara keras mengenai kepergian istrinya, dia seolah tak percaya atas kejadian tersebut. "Lihatlah, Sayang. Anak kita akan tumbuh, apakah kamu tidak ingin melihatnya sampai dewasa?" tanya Kang Alvin dengan nada lirih. Dokter Alena ingin sekali menghentikan perlakuan Kang Alvin yang terus berusaha menyadarkan istrinya agar kembali membuka matanya. Nina hanya bisa menatap Kang Alvin dengan tatapan nanar, bahkan dia seolah kekurangan tenaga untuk menggapainya, berusaha menghentikan tangisan pria tersebut. Kang Alvin memberontak saat itu juga, meski dokter kembali mengingatkan padanya jika Rissa sudah tiada. Keberadaan putrinya yang berada di dalam dekapannya menangis sekencang-kencangnya. Wajahnya terlihat merah se
"Cantik ya seperti kamu, Sayang." Kang Alvin memberikan rayuan pada istrinya, hal itu tentu saja membuat wanita di sampingnya tampak tersipu malu. Rissa mengulum senyumnya, tambah cantik saja. Benar kata suaminya jika sang istri selalu menambah pesonanya dengan seulas senyuman. Dari dulu Kang Alvin memang seringkali merayunya, apa pun yang dilihatnya dari sang istri. Dia akan selalu memberikannya ucapan manis yang tidak pernah terlepas dari mulutnya. Hanya saja, kali ini istrinya tidak tersipu malu seperti sebelumnya. Dia lebih banyak diam setelah mengingat apa yang terjadi. Alvin terlalu banyak menyimpan misteri yang membuatnya sulit saat mencari tahu. Meski begitu, Rissa berusaha untuk memaafkan. "Kang." Rissa mencoba untuk mengatakannya pada sang suami. "Iya, Sayang?" tanya Kang Alvin mencoba untuk memastikannya. Kedua matanya memandangi istrinya dengan sangat lekat. Hal itu membuat Rissa ikut tersenyum pula, dia seperti merasa senang sekali saat dipandangi seperti itu oleh s
Alvin membondong istri dan anaknya ke tempat baru, dia hanya ingin membangun rumah tangganya dengan tentram, seperti halnya saat pertama kali mereka bertemu. Pria itu hanya ingin melupakan semua masalah yang pernah ada dalam kehidupannya. Mungkin, dengan cara seperti ini semuanya menjadi lebih menyenangkan dan membahagiakan keluarga kecil tersebut. Bayi mungil perempuan yang pada akhirnya diberi nama Clarissa, diberi janji oleh kedua orang tuanya bahwa mereka akan memberikannya kasih sayang secara penuh, tidak peduli apa yang terjadi di masa mendatang pada keduanya. Nissa sempat merasa bersedih atas kepergian kakaknya ke kota berbeda. Meski begitu, dia juga tahu bahwa semuanya sudah menjadi rencana pasangan suami-istri tersebut, mereka hanya ingin tenang dan menjalankan perannya masing-masing.Suasana di tempat kali ini lebih menyenangkan, dan jauh bersih. Alvin tersenyum begitu menilik istrinya yang tengah menggendong putrinya sembari berdiri memandangi pemandangan asri di hadapan
"Pak Alvin, ini berkasnya." Wanita berambut panjang itu menyodorkan beberapa lembar dalam sebuah map pada pria di hadapannya yang sebelumnya tengah memainkan laptop miliknya. "Terima kasih." Alvin segera menerimanya, tapi wanita itu tidak segera mengindahkan langkahnya. Dia tetap berdiri mematung di tempatnya. Menyadari hal itu, Alvin melirik ke arahnya. Tampaknya dia memandangi beberapa saat, pria itu memahami jika wanita di hadapannya seolah belum paham jika dirinya belum memintanya pergi. "Kamu boleh kembali ke ruangan lagi." Alvin pun berkutat pada laptopnya, karena dia rasa kalimat tersebut sudah bisa mewakili bahwa dirinya tidak lagi membutuhkannya. Namun, wanita itu masih saja berdiri di sana seolah belum mengerti dengan kalimat yang disampaikan direkturnya. "Pak. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari karyawannya membuat Alvin tersenyum samar, lalu dia pun menggeleng dengan pasti. "Tidak ada. Kamu kerjakan saja tugasmu yang l