[Uang gaji sudah ditransfer ke ibumu semua, Mas.]
[Makasih, sayang. Ibu pasti senang banget.]
Aku tersenyum tipis. Kemudian kembali fokus ke komputer. Semua sudah aman, tidak perlu dipikirkan lagi, uang yang mamaku mihta bulan lalu sudah ditransfer.
Istriku memang benar-benar pengertian. Untung saja dia mau menurut apa kataku, harus memberikan seluruh uang pada Mama. Jadi, uang gajiku akan aman, aku juga tidak akan durhaka pada Mama.
"Gue habis belanjain istri, perawatan. Jadi tambah cantik deh." Sebuah suara terdengar dari samping, membuatku mengernyitkan dahi.
Mendengar itu, aku menoleh ke Abdul, teman kerjaku di kantor. Dia tampak sumringah. Padahal habis keluar uang banyak.
"Bahagia banget kayaknya. Mau-maunya dimanfaatin sama istri." Aku tertawa sambil menggeleng pelan. Apa yang ada di pikiran Abdul sampai bilang begitu.
"Hah?!" Wajahnya tampak terkejut, Abdul langsung duduk di sebelahku, menatap serius. "Serius ngomong gitu?"
Beberapa detik setelah aku menganggukkan kepala, dia malah terbahak, membuat keningku terlipat. Ada apa?
"Yaelah. Belanjain istri itu buat kepuasan kita sendiri kali. Lah, emang gaji lo dikemanain?" tanya Abdul membuatku menatapnya aneh, apa sih yang sedanh dia bicarakan?
"Kasih Ibu kandung lah. Lebih bermanfaat. Sisanya baru kasih istri buat belanja bulanan. Lagi pula, tanggung jawab anak laki-laki itu ada di Ibunya, jangan sampe jadi anak durhaka."
"Hah?!" Absul menatapku sambil melongo, kemudian menggelengkan kepalanya. "Buset. Ini pemikiran salah betul."
Aku mengibaskan tangan. Apanya yang salah? Justru pemikiran Abdul itu yang salah.
"Harusnya uang gaji lo yang banyak itu bisa buat nyenengin istri, bukannya buat dia sengsara sama apa yang lo kasih ke dia. Percantik istri sendiri, lo juga kok yang nikmatin."
Gimana-gimana? Dia menyuruhku untuk melawan orang tua begitu? Astaga, apa yang baru saja Abdul katakan?
"Duh, gue malah takut kalo istri lo sakit hati, kasian banget hidup dia. Disuruh ngeejain kerjaan rumah, ngurusin suami, ngurusin anak, tapi uang gaji suaminya malah dikasih ke mertuanya. Haduh, pasti sakit hati banget."
Apaan sih? Abdul terlalu khawatir pada hal yang tidak mungkin terjadi. Mana mungkin Ani sakit hati dengan apa yang aku lakukan. Untuk kebaikan kita bersama juga.
"Gak bayangin jadi istri lo. Gak lama lagi ditinggal. Yakin, deh. Mana ada yang betah sama sikap suami yang kayak gitu. Pelit sama istri."
***
"Lho, itu bukannya Ani?" Keningku terlipat menatap sosok wanita yang mirip sekali dengan istriku. Ah, lebih tepatnya dia memang istriku, bukan mirip lagi.
Buru-buru aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Kemudian berlari cepat ke arah wanita yang membawa bakul kue dan bayi di gendongannya.
"Ani?" Aku berkata pelan.
Dia menoleh. Tampak kaget.
Astaga! Kabar buruk, aku menggeleng kesal, memasang wajah marah. Apa yang dilakukan oleh istriku di sini? Ya ampun, bencana ini.
"Kamu ngapain bawa kayak gini? Aduh, malu-maluin aja. Masa istri manager bawa bakul kue?" tanyaku setengah membentak, mana ini tempat umum lagi, ini benar-benar menyebalkan.
Aku mengedarkan pandangan. Ada banyak yang melihat kami. Buru-buru aku menarik tangannya masuk ke dalam mobil, memasang wajah marah. Dari pada kami malah jadi pusat perhatian, terus ada yang kenal aku kan semuanya bisa kacau.
"Kamu ngapain, sih? Kurang uang, hah?!" tanyaku membentaknya.
"Pengen aja." Ani sama sekali tidak menundukkan kepalanya. Dia menatapku, ada sedikit luka di kepalanya. Aku tidak peduli sama sekali, yang aku peduli sekarang adalah kenapa Ani ada di tempat seperti itu, berjualan lagi. Dasar menyebalkan.
"Sampai bawa bayi kita? Parah banget." Aku menggelengkan kepala. Kembali menyalakan mesin mobil, kemudian mulai meninggalkan area itu.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus mendumal. Masih kesal dengan apa yang dilakukan oleh Ani, bahkan tanpa sepengetahuan dariki. Sementara dia diam saja.
Ponselku berdering. Buru-buru aku mengambilnya, menatap layar. Ah, dari Ibu. Buru-buru aku menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo, Bu?" sapaku terlebih sahulu, Ani masih diam saja, dia tidak bersuara sama sekali sejak tadi.
"Makasih banget, Reyhan. Uang gaji kamu betulan bisa menuhin kebutuhan Ibu." Terdengar nada suara Ibu bersemangat sekali dari seberang sana.
Senyumku mengembang, senang sekali mendengarnya. "Iya, Bu. Udah beli apa aja?"
"Banyak. Ternyata kalian gak bohongin Ibu. Bulan depan gitu lagi, ya."
"Oke, Bu." Pasti, aku akan memberikannya pada Ibu dari pada memberikannya pada Ani, tidak ada gunanya.
Aku mematikan telepon. Mobil kami sudah memasuki area perumahan. Kemudian melirik Ani yang masih diam, tidak berkomentar apa pun.
"Capek ngasih tau kamu, malu-maluin aja." Aku mengempaskan tubuh ke sofa.
Dia tidak menanggapi perkataanku. Langsung melangkah pergi, membuatku kesal sekali padanya. Dasar istri tidak tau diuntung. Harusnya dia sadar posisinya siapa di sini, masih untung aku mau menerimanya sebagai istri, kalau tidak? Sudah hidup di jalanan dia, bukan di area perumahan seperti ini.
Setelah Ani ke dapur, aku melangkah ke kamar. Kemudian membuka lemari. Gerakanku terhenti ketika melihat ada kotak perhiasan dan amplop berisi uang di sana. Buru-buru aku membuka amplop berwarna coklat itu, mataku melebar melihatnya. Banyak sekali lagi uangnya. Untuk apa ini semua? Aku menoleh keluar. Ini pasti uang gajiku.
Dasar Ani pencuri. Selain bikin malu suami, dia juga pintarsekali menyimpan gaji suaminya. Buru-buru aku mengambil uang itu. Ini hakku.
"Aku pergi sebentar," kataku pada Ani yang masih sibuk memasak.
Dia hanya melirikku sekilas. Kemudian memalingkan wajah. Dasar menyebalkan.
Setelah menjual dan mentransfer uang yang aku temukan di lemari tadi ke Ibu untuk membayar biaya kuliah adikku yang masih kurang, aku kembali ke rumah.
"Mas, kamu lihat uang yang aku simpan di lemari? Sama perhiasannya juga."
Dia tampak panik sekali, wajahnya terlihat pucat. Aku menatap bayi kami yang sudah tidur, santai menatap Ani yang terlihat panik sekali.
Aku mengangkat bahu. "Uangnya udah aku pakai buat sekolah Nisa. Lagi pula, kamu ngapain simpan uang gaji aku?"
Ani langsung terduduk mendengarnya, dia tampak lemas sekali. Membuat keningku terlipat, dia kenapa?
"Itu hasil aku jualan kue, Mas! Selama tiga bulan belakang." Ani terlihat gemetar mengatakannya, dia menutup wajahnya dnegan kedua tangan.
Kali ini, aku yang terdiam melihatnya terisak. Lebay sekali dia.
"Capek-capek aku kumpulin, kamu seenaknya pakai uang itu? Kamu pikir kamu kasih aku uang bulanan itu berapa? Besar, hah?!" tanya Ani setengah membentak, membuat kemarahanku juga ikut naik.
"Berani kamu sama suami sendiri?" tanyaku sambil melotot.
Dia kalau terlalu dilembutin ya begini. Durhaka pada suami. Menyebalkan.
Ani tidak menjawab perkataanku. Dia langsung pergi, tidak mau melanjutkan pertengkaran kami. Aku langsung mengobrak-abrik pakaiannya. Pasti masih banyak perhiasan yang dia simpan.
"Apa itu?" tanyaku ketika ada kertas terjatuh dari tumpukan pakaian Ani.
Di sana tertulis pengeluaran untuk obat. Aku terpaku melihatnya.
"Ani sakit?"
***
"Kamu sakit apa, Ani?""Gak sakit apa-apa."Dia kenbali melanjutkan langkah. Aku buru-buru memegang tangannya, menahan dia yang hampir saja keluar dari rumah."Kamu habis nangis? Apa yang kamu tangisin? Uang sama perhiasan itu? Jangan cengeng lah. Aku gak suka." Aku menatapnya kesal, dasar wanita tidak tau diuntung."Ya. Bicara saja sepuasmu. Aku gak bakalan tangisin apa pun." Aku menatapnya tidak mengerti. Kenapa dia tidak menjelaskan apa yang terjadi? Kenapa seperti main kode begini? Kan aku juga jadi bingung."Lepasin tanganku." Dia berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku. Ani tampak sekali tidak mau menatap mataku, sementara aku menatapnya aneh, apa yang dia sembunyikan?"Ini, coba aku mau tanya sama kamu. Ini list buat obat. Tulisannya mahal-mahal banget lagi. Kamu sakit?" tanyaku sekali lagi, berusaha mengorek informasi dari Ani.Dia menggelengkan kepala. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Membuatku menghela napas kesal. Dasar wanita menyebalkan, giliran aku bertan
"Reyhan! Buka pintunya! Aduh, berat banget ini kopernya."Aku menepuk dari mendengar suara keriburab di luar. Haduh, ibu kenapa pakai datang sekarang, sih? Kenapa tidak nanti saja? Batal sudah aku mendengarkan pembicaraan mereka. Buru-buru aku keluar dari persembunyian, tidak mungkin aku terus menguping, membuat mereka curiga padaku. Kemudian membukakan pintu untuk Ibu. "Kamu itu bukain pintu doang lama banget." Ibu terlihat kesal denganku karena lama membukakan pintu. "Maaf. Mana koper Ibu?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan. Aduh, ini benar-benar menyebalkan. Padahal tadi aku hampir saia mendengarkan apa rencana mereka. Entah apa yang sedang mereka rencanakan. Sementara adikku terlihat kesal juga. Dia langsung masuk, tanpa bilang padaku. Aku menghela napas kesal, buru-buru mengambil koper yang mereka bawa. "Eh, ini siapa?" tanya Nisa membuatku menoleh ke Abdul yang diam saja. Juga istri Abdul terlihat biasa saja. "Teman kantornya Reyhan. Yaudah, gue pamit dulu, Han. Makasih
"Berani ya kamu sama suami, hah?!" "Sudah. Aku malas berdebat." Ani tampak kelelahan sekali. Dia sepertinya malas berdebat denganku. Ini semua harus dibicarakan. Kenapa dia tampak berubah sekali sekarang? Padahal dulu bahkan sebelum Ani hamil, dia cantik sekali, dia juga lemah lembut. Tidak mau membantah suami. Lalu sekarang? "Kamu kok berubah banget, sih?" tanyaku kesal. Aku tidak suka dengan sikap Ani yang begini. Menyebalkan. Dia hanya melirikku sekilas. Kemudian melangkah meninggalkanku sendirian. Astaga. Bicara dengannya, seperti bicara dengan patung. Menyebalkan sekali, aku mengusap dahi, kemudian menoleh ke ponsel Ani yang diletakkan di atas meja. Ponsel jadul yang dulu aku belikan. Tidak ada yang menarik, aku hanya membuka bagian pesannya. Nomor tidak dikenal.[Besok kita ada jadwal, Bu.]Keningku terlipat. Apa maksud pesan ini? Jadwal apa?Hmm. Ini harus segera diselidiki. Pasti ada yang disembunyikan oleh Ani. ***"Ini makan apa?" tanya Ibu sambil menatap ke arahku. M
"Kamu ingat perjanjian itu, kan? Atau perlu aku ingatin ulang?"Ani terdiam sejenak. Pakaian yang sedang dia pegang terjatuh. Ani menoleh ke aku sekilas. Kemudian kembali menyusun pakaian ke dalam lemari. Dia sepertinya mengurungkan niat saat mendengar apa kataku. Aku menyipitkan mata menatapnya. Awas saja kalau dia berani kabur dari rumah. Aku tidak akan segan-segan untuk menghukum dia. Dia itu memang harus ditegasin sebagai istri, posisi dia di rumah ini. "Sampai kamu coba-coba kabur dari rumah ini, aku juga gak main-main dengan ancaman di perjanjian itu." Aku mencengkeram tangannya sampai agak kemerahan, baru kemudian melepaskannya. Aku keluar kamar. Itu konsekuensinya jika bermain-main denganku. "Mbak Ani mau pergi, Bang?" tanya Nisa saat aku baru saja menutup kamar. "Awalnya iya, tapi gak jadi. Dia harus sadar dia siapa di sini. Kamu awasi dia selama Abang pergi." Aku memberikan isyarat pada adikku itu. Nisa menganggukkan kepala. "Siap. Yang penting uang jajan aja."Mendeng
"Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki
"Heh, Ani!"Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan. "Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani. "Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi.""Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?Pasti gara-gara si Ani. "Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi. "Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani. "Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa saki
"Kamu?" Aku memiringkan kepala. Ponselku kembali berdering. Aku mendengkus kesal, dari Abdul. Dia ini kenapa, sih? Aku mengangkat telepon kesal, melangkah menjauhi Ani yang masih diam di tempatnya. "Kenapa?""Cepetan ke kantor.""Apa, sih, dari tadi?" tanyaku kesal. "Lo bakalan tau di kantor. Cepetan."Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian melirik Ani. Sebenarnya, ada masalah apa di kantor?"Iya." Buru-buru aku mematikan telepon, kemudian mengambil jas. Sebelum ke kantor. Aku mengecek Ibu dan Nisa dulu di kamar. Ternyata sedang tidur siang. Aku menganggukkan kepala, kembali menutup pintu kamar.Pintu rumah diketuk kencang sekali. Aku mengernyit, siapa yang datang ke rumah ini? "Kami mau menagih utang." Keningku terlipat. Menatap kedua pria bertubuh kekar yang datang ke rumah kemudian bilang mau menagih utang.Memangnya siapa yang meminjam uang? Aku menatap mereka dari atas ke bawah. "Kalau mau nagih utang, tagih sendiri sama orangnya. Jangan ke saya, dong."Mereka bertatapan
"Ke—kenapa saya dipecat, Pak?""Ini."Bosku memberikan catatan alasan yang membuatku dipecat. Aku diam sejenak, membaca semua yang tertulis. Sering terlambat, juga melakukan kesalahan di laporan keuangan. Aku menelan ludah, kemudian mengusap wajah. Kapan aku membuat kesalahan di laporan ini?"Maaf, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan penghitungan di laporan keuangan.""Bukti sudah jelas. Silakan bereskan barang-barangmu. Kamu sudah merugikan kantor, Reyhan.""Pak, saya—""Keluar atau saya panggilkan satpam."Ah, habis sudah aku. Beberapa detik terdiam, mencoba untuk menerima keadaan. Akhirnya aku menganggukkan kepala. "Saya permisi, Pak."Sebelum keluar, aku sempat melirik pria yang tadi aku tabrak. Entah kenapa, ada tatapannya yang aneh. Ah, kacau sekali hari ini. "Gimana? Apa kata Bos?" tanya Abdul ketika aku kembali dari ruangan bos. "Kacau, semuanya kacau." Aku memukul meja, kemudian membereskan semua barang-barang dengan kesal. "Kenapa, Han? Kok beres-beres?"Ada bany