Share

Bantuan?

"Kamu sakit apa, Ani?"

"Gak sakit apa-apa."

Dia kenbali melanjutkan langkah. Aku buru-buru memegang tangannya, menahan dia yang hampir saja keluar dari rumah.

"Kamu habis nangis? Apa yang kamu tangisin? Uang sama perhiasan itu? Jangan cengeng lah. Aku gak suka." Aku menatapnya kesal, dasar wanita tidak tau diuntung.

"Ya. Bicara saja sepuasmu. Aku gak bakalan tangisin apa pun." 

Aku menatapnya tidak mengerti. Kenapa dia tidak menjelaskan apa yang terjadi? Kenapa seperti main kode begini? Kan aku juga jadi bingung.

"Lepasin tanganku." Dia berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku. Ani tampak sekali tidak mau menatap mataku, sementara aku menatapnya aneh, apa yang dia sembunyikan?

"Ini, coba aku mau tanya sama kamu. Ini list buat obat. Tulisannya mahal-mahal banget lagi. Kamu sakit?" tanyaku sekali lagi, berusaha mengorek informasi dari Ani.

Dia menggelengkan kepala. Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Membuatku menghela napas kesal. Dasar wanita menyebalkan, giliran aku bertanya perhatian begini, dia malah tidak peduli. Memangnya aku ini dianggap sebagai suami atau apa?

"Terserah dia saja. Mau sakit kek atau apa terserah." Aku mengangkat bahu tidak peduli, sudah malas memikirkan Ani. 

Aku menikahi Ani atas dasar sesuatu. Wanita itu juga bertahan denganku ada alasannya. Yang pasti aku ketahui, sebelum Ani melahirkan dia sudah tidak nyaman denganku. 

Ponselku berdering. Ah, ternyata dari Mama. Aku tersenyum, kemudian mengangkat telepon. 

"Kenapa, Ma?" tanyaku tanpa menyapa, karena tau Mama pasti ada butuh kalau menelepon jam segini. 

"Mama sama Nisa tinggal di rumah kamu, ya? Soalnya di rumah, gak ada yang mau masakin makanan. Nanti kita boros lagi. Mama juga males bersih-bersih rumah."

Aku terdiam sejenak, mengernyitkan dahi. Mama kenapa malah mau ke rumahku? Padahal sudah ada pembantu yang aku bayarkan untuk Mama. 

"Kan udah aku bayar pembantu buat di rumah. Kurang juga?" tanyaku pelan. Sebenarnya bukan masalah apa, aku sedang beemasalah dengan Ani, Mama malah mau kesini. Aduh, ini masalah sebenarnya. 

"Maunya di rumah kamu. Ini Mama lagi jalan ke sana."

"Yaudah. Nanti biar aku kasih tau Ani buat beresin kamar." Aku menghela napas pelan, Mama tidak akan bisa dihentikan. 

Setelah mematikan telepon, aku masuk ke dalam kamar. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara isak tangis Ani. Kenapa lagi wanita itu menangis? Tidak bisakah dia tenang sejenak? Harus menangis begitu? 

Ani itu tidak punya rumah. Orangtua juga dia tidak tau. Aku menikahinya ketika wanita itu yatim piatu. Jadi, dia akan sulit untuk pergi dari rumah ini. Memang itu yang aku harapkan. 

Lagi pula, aku juga sudah menanyakan keadaan Ani kan tadi? Harusnya dia bilang apa yang terjadi. Bukannya malah diam saja seolah tidak terjadi apa pun. Dasar menyebalkan. Untungnya dia mau menuruti apa kataku, memang harusnya dia sadar diri posisi dia di rumah ini apa, hanya menumpang. 

"Maafin Mama, Nak. Maafin Mama."

Aku menggelengkan kepala. Sejak tadi melihat tingkah laku Ani yang menyebalkan itu. Tidak suka dengan wanita seperti Ani. Terlalu lemah. Dasar wanita tidak berguna. 

"Kamu kenapa lagi nangis? Cengeng banget." Aku membuka pintu kamar, dia menoleh. Tampak terkejut, langsung mengusap pipinya. 

"Ngapain di sini?" tanyanya dengan suara serak. Ani tampal berusaha bersikap biasa saja, sementara aku mendengkus kesal, dasar wanita. 

Aku mengangkat bahu. "Terserah aku, dong. Ini aja rumahku. Pokoknya mulai besok, kamu gak boleh lagi tuh keliling pakai bawa bakul segala. Malu-maluin banget."

Dia tidak menjawab perkataanku. Ani sebenarnya tidak biasa begini, kalau ada seusatu atau apa-apa, pasti dia lapor dulu padaku, tidak tiba-tiba berjualan di pinggir jalan atau apalah itu, menyebalkan sekali. Membuat geram saja. 

"Oh iya." Aku teringat sesuatu. "Mama sama Nisa mau tinggal sementara di sini. Kamu siapin sana." 

Matanya tampak melebar. Ani tampak kaget sekali mendengar perkataanku. Dia kenapa sih? Aneh sekali, apakah dia tidak suka dengan kedatangan Mamaku? 

"Udah sana beres-beres, bukannya santai di sini." Aku melotot. 

Dengan langkah lunglai, dia pergi meninggalkanku. Ani memang begitu, lebih banyak menyebalkannya, dari pada berguna. Pintu rumah diketuk. Aku beranjak. Siapa tau itu dari Mama. Buru-buru aku membukakan pintu. 

Saat pintu terbuka, aku langsung mengernyitkan dahi. Kaget dengan siapa yang datang. Orang yang tidak diduga kedatangannya. 

"Eh, Abdul? Ngapain di sini?" tanyaku sambil menatap dua orang yang tidak aku duga kedatangannya. Kenapa teman kantorku ini ke rumah? Apakah ada sesuatu? 

"Mau main aja. Sama istri. Boleh gak nih?" Abdul tersenyum padaku.

Aku menoleh ke belakangnya. Istri Abdul terlihat mengedarkan pandangannya. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala. 

Buru-buru aku menganggukkan kepala, membuka pintu lebih lebar. "Boleh, dong. Masa enggak. Ayo silakan masuk."

Setelah Abdul dan istrinya masuk, aku memanggil Ani yang sedang membereskan barang-barang di kamar. Dia hanya melirikku sekilas. 

"Buatin kopi sana." Aku menyuruhnya, tidak enak kalau tidak menghidangkan sesuatu. Lagi pula, kenapa juga Abdul tidak bilang-bilang mau ke sini. 

"Gak ada gula." Ani menjawab singkat. 

Aku menatapnya kesal. "Kemana uang yang aku kasih? Kan gajiku kamu juga megang."

"Gaji apa yang kamu maksud? Yang udah ditransfer ke Ibu? Minta aja sana." Ani berkata ketus, ini lebih membuatku kesal. 

"Memangnya kamu gak megang uang sepeserpun?" Aku berkacak pinggang menatapnya. Menyebalkan sekali lama-lama. Melihat Ani itu lebih dari menyebalkan. 

Wanita itu menggelengkan kepala. "Gak."

"Awas aja sampai aku lihat kamu megang uang. Nyebelin."

Aduh, bagaimana ini? Masa aku memberikan kopi dan teh tanpa gula?

Aku mengambilkan air putih. Hanya ini yang paling masuk akal. Dari pada tidak memberikan apa pun, malah dibilang miskin lagi nanti. 

"Maaf, ya. Cuma ada air putih. Belum beli ke warung." Aku meletakkan air putih ke atas meja. 

"Mana istri Pak Reyhan?" tanya istri Abdul. 

"Hah?!" Aku langsung bengong mendengar perkataan istrinya Abdul. Ini kenapa aneh sekali pertanyaannya?

Jadi, mereka kesini mau bertemu denganku atau mau bertemu dengan Ani?

"Ani!" Aku berteriak memanggilnya. Sedikit kesal juga dengan Abdul. Kenapa mereka datang tiba-tiba, sih?

"Kenapa?" tanya Ani datar. Dia baru datang. 

"Ah, ini istrinya Reyhan, ya? Kenalin, saya istrinya Abdul. Teman suami kamu di kantor. Apa kabar, Ani?"

Meskipun tampak keheranan, Ani tetap mendekati kami. Ketika Abdul mau mengatakan sesuatu, ponselku berdering. Aduh, Mama pakai menelepon segala lagi. 

"Aku angkat telepon dulu."

Mama hanya menghubungi tidak jelas. Aku mengusap wajah berkali-kali, kesal dengan Mama. 

Ketika kembali ke ruang tamu. Aku menghentikan langkah di balik tembok. Suara mereka terdengar serius sekali. 

"Kami akan bantu kamu, Ani."

Keningku terlipat mendengar perkataan istri Abdul. Membantu apa?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status