Share

Awas Saja!

"Kamu ingat perjanjian itu, kan? Atau perlu aku ingatin ulang?"

Ani terdiam sejenak. Pakaian yang sedang dia pegang terjatuh. Ani menoleh ke aku sekilas. Kemudian kembali menyusun pakaian ke dalam lemari. Dia sepertinya mengurungkan niat saat mendengar apa kataku. 

Aku menyipitkan mata menatapnya. Awas saja kalau dia berani kabur dari rumah. Aku tidak akan segan-segan untuk menghukum dia. Dia itu memang harus ditegasin sebagai istri, posisi dia di rumah ini. 

"Sampai kamu coba-coba kabur dari rumah ini, aku juga gak main-main dengan ancaman di perjanjian itu." Aku mencengkeram tangannya sampai agak kemerahan, baru kemudian melepaskannya. 

Aku keluar kamar. Itu konsekuensinya jika bermain-main denganku. 

"Mbak Ani mau pergi, Bang?" tanya Nisa saat aku baru saja menutup kamar. 

"Awalnya iya, tapi gak jadi. Dia harus sadar dia siapa di sini. Kamu awasi dia selama Abang pergi." Aku memberikan isyarat pada adikku itu. 

Nisa menganggukkan kepala. "Siap. Yang penting uang jajan aja."

Mendengar itu, aku menggelengkan kepala. Uang saja yang ada di pikiran adik dan ibuku. Seperti tidak ada yang lain saja. Kemudian melangkah pergi ke ruang tamu. 

"Kamu gak boleh pergi, Ani." Aku bergumam sambil meremas kertas. Aku tidak akan pernah rela kalau Ani pergi. 

Sungguh, aku mencintai Ani. Hanya dia yang aku cintai. Maka nya, aku berusaha sekali membuat dia tetap berada di sini. 

***

"Saya pergi kerja dulu."

Ani hanya menganggukkan kepala. Dia baru saja kena marah Ibu lagi, karena menyapu lantai tidak bersih. Memang Ani itu sejak dulu begitu. Tetap menyebalkan. 

Aku menoleh ke Nisa yang menganggukkan kepala. Adikku itu harusnya ingat apa yang aku perintahkan tadi. Sampai di kantor, aku mengambil kertas untuk dikerjakan. Sesekali, aku menghela napas pelan, kemudian mengambil fotokopi kertas perjanjian di laci meja kerjaku. 

Perjanjian ini. Ketika Ani membutuhkanku. Dia awalnya butuh uang untuk operasi adik angkatnya di panti asuhan. Aku akhirnya memberikan biaya dengan syarat dia harus menikahiku dan menerima seluruh yang aku berikan di rumah tangga kami. 

Sebenarnya karena umurku yang sudah cukup matang untuk menikah. Malu juga sama teman-teman yang sudah menikah, bahkan punya anak, tapi aku masih jomblo. Kebetulan juga Ani terlihat mencintaiku, maka aku juga harus bisa memanfaatkan keadaan yang ada. 

Dengan segala kekurangan, dia berusaha bertahan. Aku juga mencintai dia, dia saja yang bandel sekali. Harusnya Ani bersyukur karena bertemu aku. 

"Galau banget kayaknya." Abdul duduk di sebelahku. Dia senyum-senyum. 

"Iya." Aku tersenyum tipis, menyimpan kertas itu ke laci meja. Abdul tidak boleh tau dengan semua yang terjadi di rumah tanggaku. 

"Ada apa, nih?" tanyaku lagi. Dia menggelengkan kepala, sepertinya bingung akan bilang apa. 

"Gue udah tau gimana kehidupan rumah tangga lo."

Uhuk! 

Aku meletakkan minuman ke atas meja. Menatapnya yang terdiam. Apakah dia tidak salah? Berani-beraninya dia mengorek informasi tentang hidup dan keluargaku. 

Ah, sudah aku duga. Pasti Abdul dan istrinya tau tadi malam. Aku menggelengkan kepala. Ini tidak bisa dibiarkan. Menyebalkan sekali. 

"Kenapa? Lo kayaknya kaget banget." Abdul tersenyum tipis, dia menggelengkan kepala. 

"Jelas. Itu kehidupan rumah tangga gue. Gak boleh ada yang tau. Apalagi orang lain yang bukan anggota keluarga gue." Rahangku mengeras, jelas saja aku tidak setuju, siapa yang setuju dengan semua perkataan Abdul itu? Siapa yang mau dikorek informasinya?

"Terus?" tanyaku sambil menatapnya. 

Lama-lama menyebalkan juga. Aku menghela napas kasar. Susah bicara dengan orang sepertinya. 

"Heh, lo bisa buat istri sendiri masuk ke rumah sakit." Abdul menatapku tajam. 

Keningku terlipat mendengarnya. "Ngapain ke rumah sakit?" 

"Rumah sakit jiwa." Abdul mengatakannya pelan. 

Aku terdiam mendengarnya. Kemudian tertawa dan menggelengkan kepala. Menepuk pundaknya dengan amarah di dadaku. Apa pun itu, aku sudah membayar seluruh biaya berobat adiknya Ani dan aku berhak atas apa yang tertera di perjanjian kami. 

"Jangan pernah ikut campur." Aku memperingati Abdul. 

Abdul menggelengkan kepala, seperti sudah kesal sekali dengan perkataanku. "Susah emang ngomong sama orang yang lumayan gak peduli sama hati orang lain."

Dia melangkah pergi. Aku menggelengkan kepala. Ani itu hanya lemah saja. Dia memang menyebalkan. Lagi pula, siapa juga yang menyuruh Abdul untuk ikut campur di rumah tanggaku? Tidak ada. 

Aku tidak salah, kan? Ani saja yang lebay. 

***

Mobilku berhenti di depan rumah. Kening ku terlipat ketika rumah sepi sekali. Kemana semua orang? Ini kenapa sepi sekali? Kemana Ani? Kemana Ibu? Kemana Nisa?

Buru-buru aku mengambil ponsel. Kemudian menghubungi Nisa. Mereka kemana semua, sih? Sampai aku sudah mengetuk-ngetuk pintu rumah. 

"Halo, Bang. Aku sama Ibu lagi ada di supermarket. Tadi Mbak Ani ada di rumah kok. Gak usha khawatir." Nisa mengatakannya membuatku mengernyitkan dahi, ada di rumah bagaimana ceritanya? Kosong begini. 

"Duh, ini masalahnya gak ada Ani di rumah, Nisa. Gak bisa nunggu Abang dulu? Kalau dia kabur gimana?"

"Gampang. Tinggal laporin aja. Kan, Abang simpan perjanjian dia."

Aku menggelengkan kepala. Bukan itu masalahnya. Aduh, ini benar-benar rumit. Ah, mereka tidak tau saja apa yang terjadi. 

"Yaudah. Abang matiin dulu teleponnya. Nanti telepon lagi. Oke?" 

"Oke, Bang."

Setelah mematikan telepon, aku berusaha melihat ke ruang kamar lewat jendela. Rapi, tidak terjadi apa pun sepertinya. 

Ah, kemana si Ani?

"Bu, lihat Ani, gak? Istri saya." Aku menahan salah satu tetangga yang lewat. 

"Oh, Bu Ani. Tadi saya lihat ada di rumah Bu Ainun, Pak. Coba Bapak cari saja ke sana."

Keningku terlipat mendengarnya. Untuk apa Ani ke rumah orang itu? Astaga, mana itu adalah rumah peminjaman uang lagi. Apa yang akan Ani lakukan? Memang wanita itu tidak tau diuntung. 

Dengan langkah cepat, aku ke rumah Bu Ainun. Kukira, Ani berjualan kue lagi. Ngapain sih, dia?

"Iya. Segitu, Bu."

Langkahku terhenti melihat Ani yang mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari tangan Bu Ainun. Aku bersembunyi, mengernyit. 

"Selama satu hari, saya tagih tiga puluh ribu, ya, Bu. Kalau gak dikasih uang sama Pak Reyhan, Ibu jualan aja lagi."

"Iya, Bu. Makasih." 

"Masa manager gak ngasih istrinya uang bulanan. Aduh, tinggalin aja, Bu. Atau butuh bantuan ibu-ibu kampung? Biar kita demo Pak Reyhannya."

"Gak usah, Bu." Ani menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Ish, Ibu ini terlalu baik. Saya kok geregetan sendiri. Kami bisa bantu, Bu. Jangan mau dibuat kayak gitu sama Pak Reyhan. Kaya, tapi pelit."

Mendengar itu, aku melotot. Sebenarnya, sudah berapa banyak orang kampung yang dengar masalah runah tangga kami?

"Makasih buat pinjamannya, Bu."

Aku menghela napas kasar. Jadi, Ani meminjam uang pada Bu Ainun? Awas saja dia!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status