"Heh, Ani!"
Aku berkaca pinggang, menatapnya marah. Sementara Ani dan Bu Ainun menoleh kaget. Mereka saling berpandangan.
"Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan.
"Aku yang tanya, ngapain kamu di sini? Berani banget minjem uang tanpa sepengetahuan aku. Kamu itu istri siapa, hah?!"
Dia terlihat gelisah, menyembunyikan tangannya di belakang. Aku menghela napas kesal. Langsung menarik tangan Ani.
"Mas, jangan diambil." Dia berusaha menarik tangannya lagi."
"Kasian banget, ya, Bu Ani. Suaminya kayak gitu. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Aduh, kalau saya, udah saya tinggalin suami macam Pak Reyhan."
Mendengar itu, aku langsung menoleh. Lagi-lagi warga kampung sini. Sebenarnya. Sudah berapa banyak yang tau masalah rumah tanggaku?
Pasti gara-gara si Ani.
"Eh, Bu Ani." Mereka melirikku takut-takut. Kemudian buru-buru melangkah pergi.
"Menyebalkan," gumamku sambil kembali menatap Ani.
"Haduh, Pak Reyhan kayaknya emang gak punya hati. Saya heran kenapa Bu Ani masih mau bertahan. Awas bisa sakit hati, lho, Bu."
Ani tersenyum, dia hanya menggelengkan kepala. Santai sekali menyikapi semua ini.
"Kamu lihat saja." Aku buru-buru menarik tangannya. Sepanjang perjalanan, Ani mengaduh. Dia berusaha melepaskan tangannya dariku.
Kami juga diliatin sama warga kampung sepanjang perjalanan pulang. Aku mengembuskan napas kesal, ini pasti gara-gara Ani.
Sampai di rumah, aku mengempaskan tangannya kesal.
Ponselku lebih dulu berdering. Keningku mengerut ketika melihat ada pesan dari Abdul. Kenapa dia menelepon sekarang?
"Kenapa?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.
"Dipanggil sama bos."
"Hah?!" Aku kaget sekali mendengar perkataannya. "Kenapa dipanggil?"
"Gak tau. Langsung ke kantor aja."
Aku langsung mematikan telepon. Kemudian berbalik, kemana lagi si Ani menyebalkan itu.
"Ani!" Aku meneriakinya.
"Mana uang yang kamu pinjam, hah?! Berani banget minjam tanpa izin sama aku. Kamu ini anggap aku sebagai suami gak, sih?"
Dia diam saja. Bayi kami menangis. Aku mengusap wajah melihat Ani yang akhirnya melangkah untuk menenangkan bayi kami.
Buru-buru aku membuka lemari. Mengacak-acak pakaian Ani. Siapa tau dia menyimpan di sana.
Tidak ada sama sekali. Aku menatapnya tajam, sementara dia berkali-kali memalingkan wajah. Enggan menatapku.
"Kemana kamu taruh uangnya, hah?! Biar aku yang simpan, kamu juga nanti bayarnya pakai uangku, kan?"
"Selama ini apa yang udah kamu kasih ke aku? Uang bulanan pas-pasan. Kata siapa aku bakalan bayar sama uang yang kamu kasih? Makan aja pakai uang itu gak cukup."
Mendengar itu, aku terdiam. Ani memang menyebalkan sekali.
"Kamu itu harusnya gak usah minjam-minjam. Buat malu aja. Apalagi orang kampung semuanya tau." Aku melipat kedua tangan di depan dada. Sesekali melirik ponsel.
Sebenarnya, aku harusnya sudah ke kantor lagi. Hanya istirahat sebentar soalnya.
"Kemarikan uang yang kamu pinjam!"
Dia menggelengkan kepala.
Aku heran. Untuk apa uang itu? Ah, mungkin aku akan mengikuti Ani kapan-kapan.
"Jangan-jangan kamu kasih tau ke orang kampung sini tentang masalah rumah tangga kita, ya? Kamu sebarin semuanya?" tanyaku dengan nada kesal.
"Kamu teriak saja, sudah terdengar keluar."
Mendengar itu, aku menoleh keluar jendela. Memang banyak tetangga yang menoleh ke kami, penasaran dengan apa yang terjadi.
Ah, akhirnya aku tau semuanya, tapi aku masih ragu dengan Ani.
"Reyhan!"
Buru-buru aku keluar kamar. Ibu kenapa teriak-teriak, sih?
"Tadi Ibu ketemu teman di supermarket. Dia pamerin perhiasan baru. Ibu mau juga."
Astaga. Aku kira apa. Bagaimana ini? Aku saja tidak memegang uang banyak sekarang. Hanya cukup untuk bensin sampai gajian dan beli makanan sedikit.
Ibu boros sekali. Aku mengusap wajah, kemudian menoleh ke Ani.
"Kamu tadi kan minjam uang. Kasih ke Ibu sana."
Sudah kuduga. Dia akan menggelengkan kepala. Ani benar-benar menambah masalahku sekarang.
"Reyhan."
"Bang Reyhan jangan pelit-pelit sama Ibu. Yang buat Mas Reyhan sampai di sini, kan Ibu."
Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepala mendengar perkataan Nisa.
"Nanti aku cariin dulu uangnya, Bu. Nanti malam pasti ada."
"Janji?"
"Iya." Aku menganggukkan kepala pada Ibu. Menyuruh Ibu masuk ke kamar untuk istirahat.
Setelah Ibu dan Nisa masuk ke kamar, buru-buru aku menarik tangan Ani. Dia memang menyebalkan, keras kepala. Tidak ada gunanya perasaan di sini.
"Kenapa lagi?" tanyanya datar.
"Kasih uang pinjaman tadi ke aku."
"Buat perhiasan itu? Kamu itu polos atau apa?" tanyanya pelan.
Plak!
Ani memegangi pipinya yang memerah. Dadaku naik turun kesal dengan perkataannya. Apakah dia tidak memahami kondisiku sekarang?
"Kamu itu harusnya nurut sama aku! Jangan bantah!"
Dia diam saja. Beberapa detik setelahnya, terdengar isak dari mulut Ani. Aku mendengkus.
"Setelah ini apalagi, Mas? Apalagi? Kamu mau apakan aku setelah ini?" tanyanya dengan teriakan dan isakan tangis.
"Kamu itu harusnya nurut sama suami sendiri. Jangan jadi istri yang gak ngikutin aturan suami!"
Dia terduduk di lantai. Aku menatapnya yang menangis sambil menggendong bayi kami. Tangannya terlihat gemetar. Terlihat sekali Ani berusaha untuk menahan amarahnya.
"Selama ini aku berusaha bertahan sama kamu, Mas. Aku selalu simpan semuanya sendirian. Segala sakit hati aku simpan."
Halah. Aku memalingkan wajah, malas dengan seluruh aktingnya.
"Bayi ini, aku urus semuanya sendiri. Baru lahir, aku udah ngerjain pekerjaan rumah. Gak ada yang bantuin, gak ada yang perhatiin." Isak tangisnya semakin kencang. Ani menatapku, dia berdiri dan mengusap pipinya.
Mata Ani memerah. Dia masih terisak. Air matanya bahkan terjatuh ke pipi bayi kami.
"Bukan sakit fisik lagi aku di sini, Mas. Udah tambah jadi sakit batin."
"Lebay banget kamu itu." Aku melotot.
"Sebenarnya, aku ini istri atau pembantu kamu, Mas?!"
***
Jangan lupa like dan komenn. Kalo sampe seratus, nanti malem update bab 7😁
"Kamu?" Aku memiringkan kepala. Ponselku kembali berdering. Aku mendengkus kesal, dari Abdul. Dia ini kenapa, sih? Aku mengangkat telepon kesal, melangkah menjauhi Ani yang masih diam di tempatnya. "Kenapa?""Cepetan ke kantor.""Apa, sih, dari tadi?" tanyaku kesal. "Lo bakalan tau di kantor. Cepetan."Aku mengembuskan napas kasar. Kemudian melirik Ani. Sebenarnya, ada masalah apa di kantor?"Iya." Buru-buru aku mematikan telepon, kemudian mengambil jas. Sebelum ke kantor. Aku mengecek Ibu dan Nisa dulu di kamar. Ternyata sedang tidur siang. Aku menganggukkan kepala, kembali menutup pintu kamar.Pintu rumah diketuk kencang sekali. Aku mengernyit, siapa yang datang ke rumah ini? "Kami mau menagih utang." Keningku terlipat. Menatap kedua pria bertubuh kekar yang datang ke rumah kemudian bilang mau menagih utang.Memangnya siapa yang meminjam uang? Aku menatap mereka dari atas ke bawah. "Kalau mau nagih utang, tagih sendiri sama orangnya. Jangan ke saya, dong."Mereka bertatapan
"Ke—kenapa saya dipecat, Pak?""Ini."Bosku memberikan catatan alasan yang membuatku dipecat. Aku diam sejenak, membaca semua yang tertulis. Sering terlambat, juga melakukan kesalahan di laporan keuangan. Aku menelan ludah, kemudian mengusap wajah. Kapan aku membuat kesalahan di laporan ini?"Maaf, Pak. Saya tidak merasa melakukan kesalahan penghitungan di laporan keuangan.""Bukti sudah jelas. Silakan bereskan barang-barangmu. Kamu sudah merugikan kantor, Reyhan.""Pak, saya—""Keluar atau saya panggilkan satpam."Ah, habis sudah aku. Beberapa detik terdiam, mencoba untuk menerima keadaan. Akhirnya aku menganggukkan kepala. "Saya permisi, Pak."Sebelum keluar, aku sempat melirik pria yang tadi aku tabrak. Entah kenapa, ada tatapannya yang aneh. Ah, kacau sekali hari ini. "Gimana? Apa kata Bos?" tanya Abdul ketika aku kembali dari ruangan bos. "Kacau, semuanya kacau." Aku memukul meja, kemudian membereskan semua barang-barang dengan kesal. "Kenapa, Han? Kok beres-beres?"Ada bany
"Ngapain pegang-pegang?"Aku menoleh, sementara Abdul langsung mengambil ponselnya dari tanganku. "Itu pesan apa?" tanyaku pelan, penasaran sekali. Apa maksud dari pesan yang dikirimkan ke Abdul itu? Mataku langsung melebar, apakah dia ada hubungannya dengan pemecatanku?Wah, aku ditusuk ternyata dari belakang. "Lo yang buat gue dipecat, hah?!" Aku berteriak, menarik kerah bajunya. "Eh? Mana ada!"Abdul juga terlihat ngotot. Dia sepertinya tidak mau mengakui kesalahannya. Jelas, kalau mengaku semua, tidak ada kejahatan di dunia ini. "Halah, lo pasti ngincar posisi gue? Atau disuruh sama istri lo? Teman gak tau diuntung!" Aku berteriak-teriak sampai beberapa orang kantor yang sedang makan menoleh ke kami. "Heh, ini Agung. Yang biasanya nanyain kabar lo. Yang pas itu ketemu di ruangan. Masa gak ingat."Dia menunjukkan ponselnya padaku. Terlihat pesan di sana. Betul juga, itu bukan seperti yang ada di dugaanku. Ah, aku malah menuduh yang tidak-tidak. "Nih, bisa liat dia nanyain k
"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!"Hampir saja aku menamparnya. Kalau ponselku tidak berdering. Entah dari siapa lagi ini. Aku melirik Ani sekilas, kemudian mengangkat telepon. Siapa tau ada yang mau menawarkanku pekerjaan. "Dengan Pak Reyhan, Abangnya Nisa, ya?""Iya. Saya Abangnya Nisa. Ini siapa, ya?" tanyaku pada orang di seberang sana. "Ah iya, ini gurunya Nisa, Pak. Nisanya habis kecelakaan, Pak di dekat sekolahan. Bapak bisa ke sini sekarang?"Mataku langsung melebar mendengarnya. Nisa kecelakaan? Astaga, kabar buruk."Baik. Saya langsung kesana sekarang, Pak."Setelah mematikan telepon, aku langsung menyambar jas di kursi, kemudian melangkah meninggalkan Ani sendirian. Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti. Ini akan bilang ke Ibu atau tidak usah dulu?Astaga, kalau Ibu malah marah-marah bagaimana? Aku menghelan napas pelan, tapi tidak mungkin juga. "Bu."Ibu yang sedang sibuk dengan ponselnya menoleh. "Reyhan. Kamu mau bilang ke Ibu kalau kamu mau ngizinin Ibu ke lua
"Gak kedengeran lagi."Aku buru-buru keluar mobil. Ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. Dengan langkah cepat, aku menuju ke tempat Ani. "Ani!"Mereka langsung menoleh. Tidak ada raut keterkejutan di wajah Ani. Begitu juga dengan pria itu. Mereka sama-sama terlihat santai. Kenapa mereka tidak terkejut? Ah, jangan-jangan benar perasaan tidak enakku. Apa hubungan Ani dengan pria itu? Wah, ini tidak bisa dibiarkan sama sekali. "Kamu ngapain di sini, hah?!" Ini tidak jauh dari rumah. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Melihat Ani dan pria itu bergantian. "Kamu juga!" Aku menoleh ke pria tadi. "Jangan-jangan betul apa pikiran saya.""Saya gak ngerti sama yang kamu omongin." Pria itu mengeluarkan amplop berwarna coklat lumayan tebal. Aku menyipitkan mata. Apalagi yang akan aku lihat sekarang?"Ini DP-nya. Saya tunggu di hari yang udah ditentukan, kuenya jadi."Aku langsung terdiam mendengarnya. Jadi, pria ini memesan kue pada Ani? Astaga, apakah aku yang salah duga? Atau bagaima
"Maaf, Ibu mengenal saya?" Aku akhirnya bertanya pada Ibu yang tadi aku tabrak. Sedikit, hanya lecet di bagian kaki. Tidak terlalu parah juga. "Enggak, enggak." Ibu itu menggelengkan kepalanya cepat. Membuatku mengernyit heran. Apa maksud perkataan Ibu ini?Dia seperti mengenaliku tadi, kenapa sekarang seolah tidak kenal? Ah, ini aneh sekali. Beberapa hari terakhir, aku mengalami keanehan ini. Bertemu dengan pria yang lumayan mencurigakan, juga seorang ibu yang enha. Sikap Ani juga berubah sekali. "Kamu antarkan saya ke rumah sakit?""Eh?" Aku melongo. "Ibu gak papa. Jangan mengada-ada. Saya gak mau tanggung jawab."Ibu itu melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara aku masih tetap tidak mau mengantarkannya ke rumah sakit. "Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi. Mau mengantarkan saya ke rumah sakit atau repot urusan dengan polisi?"Mataku langsung membulat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengiyakan permintaan Ibu itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya
"Oke bagus. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja jadi di sopir."Aku menelan ludah, bagaimana caranya bilang ke pria ini?Pesanan kami datang. Aku sesekali meliriknya yang terlihat sibuk dengan ponsel. Ah, bagaimana aku harus bilang kalau aku mau minta sebagian gaji dulu agar Ibu tidak marah-marah?"Makan aja. saya yang bayarin.""Iya." Aku menganggukkan kepala, akhirnya memilih untuk menyantap makanan. Setelah beberapa menit, aku meletakkan sendok ke piring. Makanan sudah habis. "Mau nambah?" tanyanya sambil mengambil tisu. Buru-buru aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya masih ingin menambah makanan. "Emm, saya mau bicara sedikit.""Iya. Bicara aja." Dia mengubah raut menjadi serius. "Kalau saya minta sebagian gaji dari sopir dulu gimana?""Hah?!" Dia terdiam mendengar pertanyaanku tadi. "Gimana-gimana? Kerja belum udah minta gaji.""Saya butuh banget. Ayo, tolong." Aku menatapnya memohon. Tentu saja pria itu menggelengkan kepala, membuatku menghela napas pelan. "Saya j
"Ani!" Buru-buru aku memanggilnya. Istriku itu menoleh. Dia tidak tampak terkejut. Aku melangkah mendekatinya, batal sudah rencanaku mau ke kamar mandi. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berkaca pinggang, juga tersenyum ke Mamanya Ariel. Bisa-bisanya Ani datang kesini. Aku diam sejenak. Melihat tangan Ani yang masih membantu Mamanya Ariel. Entah kenapa, aku berpikiran sesuatu soal Ani. Ah, apakah ini tidak salah?Jangan-jangan Ani itu ....Aku menatap Ani sambil menyipitkan mata. Dia belum juga menjawab pertanyaanku. Lagi pula, kalau dia di sini, di mana bayi kami? Kenapa pakai dia tinggal, sih?"Mana Adek, Ma?"Kami langsung menoleh ke belakang. Aku menatap Ariel yang mengambil posisi berdiri di sebelah Mamanya. "Belum datang kayaknya."Ah, lega rasanya. Kukira Ani itu—"Loh, Ani ngapain di sini? Pesanan kue udah jadi?""Udah. Ada di rumah. Tadi saya telepon Ibu. Katanya sekalian aja jemput ke rumah sakit. Mau lihat kuenya sekalian ambil di rumah. Saya kan gak ada kendaraan