"Oke bagus. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja jadi di sopir."Aku menelan ludah, bagaimana caranya bilang ke pria ini?Pesanan kami datang. Aku sesekali meliriknya yang terlihat sibuk dengan ponsel. Ah, bagaimana aku harus bilang kalau aku mau minta sebagian gaji dulu agar Ibu tidak marah-marah?"Makan aja. saya yang bayarin.""Iya." Aku menganggukkan kepala, akhirnya memilih untuk menyantap makanan. Setelah beberapa menit, aku meletakkan sendok ke piring. Makanan sudah habis. "Mau nambah?" tanyanya sambil mengambil tisu. Buru-buru aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya masih ingin menambah makanan. "Emm, saya mau bicara sedikit.""Iya. Bicara aja." Dia mengubah raut menjadi serius. "Kalau saya minta sebagian gaji dari sopir dulu gimana?""Hah?!" Dia terdiam mendengar pertanyaanku tadi. "Gimana-gimana? Kerja belum udah minta gaji.""Saya butuh banget. Ayo, tolong." Aku menatapnya memohon. Tentu saja pria itu menggelengkan kepala, membuatku menghela napas pelan. "Saya j
"Ani!" Buru-buru aku memanggilnya. Istriku itu menoleh. Dia tidak tampak terkejut. Aku melangkah mendekatinya, batal sudah rencanaku mau ke kamar mandi. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berkaca pinggang, juga tersenyum ke Mamanya Ariel. Bisa-bisanya Ani datang kesini. Aku diam sejenak. Melihat tangan Ani yang masih membantu Mamanya Ariel. Entah kenapa, aku berpikiran sesuatu soal Ani. Ah, apakah ini tidak salah?Jangan-jangan Ani itu ....Aku menatap Ani sambil menyipitkan mata. Dia belum juga menjawab pertanyaanku. Lagi pula, kalau dia di sini, di mana bayi kami? Kenapa pakai dia tinggal, sih?"Mana Adek, Ma?"Kami langsung menoleh ke belakang. Aku menatap Ariel yang mengambil posisi berdiri di sebelah Mamanya. "Belum datang kayaknya."Ah, lega rasanya. Kukira Ani itu—"Loh, Ani ngapain di sini? Pesanan kue udah jadi?""Udah. Ada di rumah. Tadi saya telepon Ibu. Katanya sekalian aja jemput ke rumah sakit. Mau lihat kuenya sekalian ambil di rumah. Saya kan gak ada kendaraan
"Apa? Jangan buat penasaran, dong."Nisa tertawa pelan. Dia kemudian menggelengkan kepala. Aku tau, Nisa pasti tau sesuatu. Entah apa."Kamu gak lagi main-main atau bercanda, kan?" tanyaku kesal. Sudah penuh dengan masalah hidupku. Ditambah pula pikiran mengenai apa yang diketahui oleh Nisa. "Abang dekat sini, deh."Aku akhirnya mendekati Nisa. Dia tampak ingin memberitahukan sesuatu. Dari tatapannya saja sudah bisa terbaca. "Abang dipecat, kan?"Astaga!Mendengar itu, aku langsung mundur satu langkah. Menelan ludah, mengarahkan pandangan ke Nisa yang tersenyum. K—kenapa dia bisa tau itu semua?"E—enggak. Kamu tau info dari siapa, sih? Aneh banget." Aku tertawa di akhir kalimat. Berusaha agar membuat Nisa percaya dengan perkataanku. "Oh, ya? Abang dipecat gara-gara kesalahan di laporan keuangan, kan? Padahal bukan itu sebenarnya alasannya."Dia tersenyum misterius. Aku mengusap wajah, Nisa memang berubah sekali semenjak dia kecelakaan, tapi aku tidak menyangka itu. Kenapa dia seol
"Kamu ngapain di situ?"Eh? Aku langsung mendongak. Menatap Ani yang sudah berbalik ke arahku. "Bicara sama siapa?""Bukan urusanmu.""Semua yang kamu telepon, itu berhubungan sama aku."Dia menggelengkan kepala. Kemudian mendekatiku. Ani terlihat berbeda sekali sekarang. Aku menelan ludah, menatapnya yang terlihat aneh. Ah, apakah ini hanya perasaanku saja?"Kamu gak berhak atas semuanya."Aku menghela napas kasar. Susah sekali bicara dengan Ani. Dia terlihat keras kepala. Menyebalkan. "Kamu anggap aku selalu ini apa?" tanyanya pelan. "Istri? Atau hanya pembantu?""Ngomong apaan, sih?" Aku menatapnya kesal, mulai tidak nyaman. "Kamu harus tau, aku gak bakalan lupa sama semua yang kamu kasih ke aku."Dia benar-benar berbeda. Ani mendekatiku, kemudian berhenti melangkah di depanku. Dia terlihat sekali menahan emosi atau marah. "Kamu lihat apa yang akan terjadi nanti."***Ah, aku tidak bisa tidur. Ini sudah hampir Subuh. Aku berbalik, menatap Ani yang masih terlelap. Juga bayi kam
"Hah?! Ani?"Aku diam sejenak, berusaha mendengarkan suara wanita di seberang sana. "Abang?" Kalau didengar-dengar, suaranya mirip sekali dengan suara Ani, tapi sepertinya bukan. Aku mengembuskan napas pelan, bisa-bisanya salah orang. "Halo. Abang? Suaranya kayaknya bukan Abang, deh. Eh, ini aku gak salah nelepon, kan?" Dia terdengar bergumam sendiri di seberang sana. Aku menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arah rumah. Untung saja Ariel belum kembali. Ah, bagaimana kalau ketauan. Aku diam sejenak. Bagaimana cara menjawabnya?"Bang? Kenapa, sih? Aneh banget.""Eh, iya. Saya Reyhan. Sopir baru Mamanya Ariel. Ini adeknya Ariel, ya?""Oh. Sopir baru. Gak sopan banget angkat telepon Abang saya." Suaranya. Mirip sekali dengan suara Ani. Aku menggelengkan kepala, tapi sepertinya bukan. "Iya, maaf, Mbak. Saya kira tadi penting. Maaf, Mbak.""Hmm, nama kamu siapa? Biar nanti saya tanyain ke Abang.""Aduh, Mbak. Saya minta maaf banget. Jangan laporin saya, ya, Mbak. Saya baru perta
"D—dari mana kamu dapat semua foto ini, Nisa?" tanyaku dengan nada gemetar. Bisa-bisanya Nisa mengantongi banyak rahasiaku. Di seberang sana, adikku itu tertawa. "Rahasia.""Kenapa kamu bisa tau semua rahasia Abang?""Bahkan, aku juga tau rahasia Mbak Ani.""Apa?" tanyaku penasaran. "Itu rahasia juga. Semangat kerjanya, jangan dihamburin cuma buat Mama doang. Besok jemput aku."Telepon sudah dimatikan. Aku menghela napas pelan. Ini bahaya sekali. Sebenarnya, Ani tau semuanya dari siapa? Kenapa dia bisa enak sekali mendapatkan informasi?"Heh, Reyhan! Kamu itu mau kerja atau bengong aja? Saya laporin ke Mas Ariel nanti!"Eh? Aku buru-buru melangkah ke tempat tadi. Melanjutkan pekerjaan tadi. Pokoknya, aku harus segera mencari tau dari mana Nisa tau semuanya. ***"Kamu pulang dulu aja. Nanti malam baru jemput saya.""Ah iya. Makasih, Mas." Aku menganggukkan kepala, meletakkan kunci mobil ke atas meja. "Kok Mas, sih? Ngikutin yang lain? Khusus kamu, panggil saya Ariel aja. Jangan p
"Siapa yang meletakkan seluruh foto ini di mobil?" gumamku sambil menghela napas pelan. Nisa perasaan belum masuk ke dalam mobilku. "Mana mungkin Ibu." Aku menggelengkan kepala. Ponselku kembali berdering. Nisa sudah tidak sabaran lagi. Dia ini menyebalkan sekali. Aku meletakkan amplop itu ke kursi penumpang kembali. Dengan langkah cepat, aku melewati lorong-lorong rumah sakit. Di pikiran sibuk sekali memikirkan foto itu. Kalau bukan Nisa, berarti ada orang lain lagi yang tau soal rahasiaku. Ah, ini bahaya sekali. "Aduh!" Aku menatap ponsel yang teronggok tak berdaya di atas lantai. Ini menyebalkan sekali, siapa sih yang menabrakku barusan?"Kalau jalan pakai mata dong!""Heh, harusnya kamu yang salah!"Pandanganku teralih ke orang yang tadi menabrak. Seorang wanita. Dia berkacak pinggang, terlihat marah sekali padaku. Namun, aku seperti pernah melihatnya. Ah, perasaanku saja. Aku mendengkus, mengambil ponsel yang ada di lantai. Mencoba menyalakannya. "Ah, mati lagi.""Aduh,
"Kamu bicara dengan siapa, Ani?"Aku langsung mengambil ponsel yang ada di tangannya. Ani tampak terkejut sekali dengan kehadiranku. "Kamu ngapain?" tanyanya sambil berusaha mengambil ponsel miliknya. "Kamu yang ngapain. Ngomongin apa kamu, hah?!"Ah, teleponnya langsung dimatikan. Pasti lawan bicara Ani mendengar pertengkaran kami barusan. Aku menepuk dahi, bisa-bisanya aku ceroboh begini. Buru-buru aku membuka riwayat telepon di ponsel Ani. Dari kontak dengan nama huruf asing. Aku menoleh ke Ani yang terlihat tidak peduli. "Ini siapa, Ani?""Gak tau."Astaga. Menyebalkan sekali dia. Aku mengurut kening, tidak paham lagi dengan yang dikatakan oleh Ani. "Terus tadi kamu bahas apa sama orang ini?"Aku menelepon kontak itu balik, terdengar nada sambung. Ani tampak biasa saja, dia tidak melarangku sama sekali. Ah, pantas Ani biasa saja. Ternyata, telepon ini tidak diangkat. Aku mengembuskan napas kasar. "Kamu kan yang letakin ini di mobilku? Ngaku kamu."Ani langsung mengambil amp