"Hah?! Ani?"Aku diam sejenak, berusaha mendengarkan suara wanita di seberang sana. "Abang?" Kalau didengar-dengar, suaranya mirip sekali dengan suara Ani, tapi sepertinya bukan. Aku mengembuskan napas pelan, bisa-bisanya salah orang. "Halo. Abang? Suaranya kayaknya bukan Abang, deh. Eh, ini aku gak salah nelepon, kan?" Dia terdengar bergumam sendiri di seberang sana. Aku menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arah rumah. Untung saja Ariel belum kembali. Ah, bagaimana kalau ketauan. Aku diam sejenak. Bagaimana cara menjawabnya?"Bang? Kenapa, sih? Aneh banget.""Eh, iya. Saya Reyhan. Sopir baru Mamanya Ariel. Ini adeknya Ariel, ya?""Oh. Sopir baru. Gak sopan banget angkat telepon Abang saya." Suaranya. Mirip sekali dengan suara Ani. Aku menggelengkan kepala, tapi sepertinya bukan. "Iya, maaf, Mbak. Saya kira tadi penting. Maaf, Mbak.""Hmm, nama kamu siapa? Biar nanti saya tanyain ke Abang.""Aduh, Mbak. Saya minta maaf banget. Jangan laporin saya, ya, Mbak. Saya baru perta
"D—dari mana kamu dapat semua foto ini, Nisa?" tanyaku dengan nada gemetar. Bisa-bisanya Nisa mengantongi banyak rahasiaku. Di seberang sana, adikku itu tertawa. "Rahasia.""Kenapa kamu bisa tau semua rahasia Abang?""Bahkan, aku juga tau rahasia Mbak Ani.""Apa?" tanyaku penasaran. "Itu rahasia juga. Semangat kerjanya, jangan dihamburin cuma buat Mama doang. Besok jemput aku."Telepon sudah dimatikan. Aku menghela napas pelan. Ini bahaya sekali. Sebenarnya, Ani tau semuanya dari siapa? Kenapa dia bisa enak sekali mendapatkan informasi?"Heh, Reyhan! Kamu itu mau kerja atau bengong aja? Saya laporin ke Mas Ariel nanti!"Eh? Aku buru-buru melangkah ke tempat tadi. Melanjutkan pekerjaan tadi. Pokoknya, aku harus segera mencari tau dari mana Nisa tau semuanya. ***"Kamu pulang dulu aja. Nanti malam baru jemput saya.""Ah iya. Makasih, Mas." Aku menganggukkan kepala, meletakkan kunci mobil ke atas meja. "Kok Mas, sih? Ngikutin yang lain? Khusus kamu, panggil saya Ariel aja. Jangan p
"Siapa yang meletakkan seluruh foto ini di mobil?" gumamku sambil menghela napas pelan. Nisa perasaan belum masuk ke dalam mobilku. "Mana mungkin Ibu." Aku menggelengkan kepala. Ponselku kembali berdering. Nisa sudah tidak sabaran lagi. Dia ini menyebalkan sekali. Aku meletakkan amplop itu ke kursi penumpang kembali. Dengan langkah cepat, aku melewati lorong-lorong rumah sakit. Di pikiran sibuk sekali memikirkan foto itu. Kalau bukan Nisa, berarti ada orang lain lagi yang tau soal rahasiaku. Ah, ini bahaya sekali. "Aduh!" Aku menatap ponsel yang teronggok tak berdaya di atas lantai. Ini menyebalkan sekali, siapa sih yang menabrakku barusan?"Kalau jalan pakai mata dong!""Heh, harusnya kamu yang salah!"Pandanganku teralih ke orang yang tadi menabrak. Seorang wanita. Dia berkacak pinggang, terlihat marah sekali padaku. Namun, aku seperti pernah melihatnya. Ah, perasaanku saja. Aku mendengkus, mengambil ponsel yang ada di lantai. Mencoba menyalakannya. "Ah, mati lagi.""Aduh,
"Kamu bicara dengan siapa, Ani?"Aku langsung mengambil ponsel yang ada di tangannya. Ani tampak terkejut sekali dengan kehadiranku. "Kamu ngapain?" tanyanya sambil berusaha mengambil ponsel miliknya. "Kamu yang ngapain. Ngomongin apa kamu, hah?!"Ah, teleponnya langsung dimatikan. Pasti lawan bicara Ani mendengar pertengkaran kami barusan. Aku menepuk dahi, bisa-bisanya aku ceroboh begini. Buru-buru aku membuka riwayat telepon di ponsel Ani. Dari kontak dengan nama huruf asing. Aku menoleh ke Ani yang terlihat tidak peduli. "Ini siapa, Ani?""Gak tau."Astaga. Menyebalkan sekali dia. Aku mengurut kening, tidak paham lagi dengan yang dikatakan oleh Ani. "Terus tadi kamu bahas apa sama orang ini?"Aku menelepon kontak itu balik, terdengar nada sambung. Ani tampak biasa saja, dia tidak melarangku sama sekali. Ah, pantas Ani biasa saja. Ternyata, telepon ini tidak diangkat. Aku mengembuskan napas kasar. "Kamu kan yang letakin ini di mobilku? Ngaku kamu."Ani langsung mengambil amp
"Kamu mau kemana, Ani?" Langkahku terhenti mendengar pertanyaan dari Ibunya Mas Reyhan. Aku menatap wanita yang selama ini selalu bergantung dengan keluarga kami. Juga yang membuatku berubah. "Ada urusan.""Urusan apa, hah?! Lebih baik kamu jagain bayi kamu aja. Ngapain malah keluyuran gak jelas."Lihat. Betapa menyebalkan Ibunya Mas Reyhan. Aku menggelengkan kepala. Padahal sudah siap."Si bayi sama aku aja, Ma. Aman. Mbak Ani mau beli makanan sebentar."Kami menoleh ke Nisa yang baru datang. Dia membisikkan sesuatu ke Ibunya itu. Sementara aku hanya memperhatikan. "Oke. Jangan lupa makanannya. Awas kamu pulang malam-malam." Ibunya Mas Reyhan melotot ke aku. "Gak janji," jawabku ketus. Buru-buru aku keluar dari rumah. Sebelum Mamanya Mas Reyhan berubah pikiran. Aku melirik jam tangan. Masih agak lama sebenarnya. Aku memesan ojek online. Menunggu di depan rumah. "Mbak!"Mendengar itu, aku menoleh. Nisa menutup pintu rumah, kemudian melangkah mendekatiku. "Jadi, Mbak habis ini
"Apaan sih daritadi Ana, Ani? Siapa itu?""Eh?"Aku menatap Ariel yang juga menghentikan langkah di sebelahku. Kami belum masuk ke dalam gedung. Perhatian Ariel juga terhenti ke poster. Pria yang kumaksud adalah Ariel sendiri. Sementara wanita yang berfoto di sebelahnya sangat mirip dengan Ani. "Haduh, ngelama-lamain aja. Saya gak main-main kali ini. Bisa aja saya pecat kamu. Jangan ngerasa kamu bisa bebas kerja sama saya."Mampus. Ariel melangkah masuk ke dalam gedung duluan. Wajahnya tampak memerah. Aku mengusap kening, ini bahaya sekali. Buru-buru aku mengikuti langkah Ariel. Dia tampak marah sekali padaku. "Maaf, Riel. Tadi saya cuma nebak aja."Langkah Ariel terhenti. Dia mengembuskan napas kasar, kemudian menoleh padaku dan menggelengkan kepala."Saya kira kamu bekerja itu bisa profesional. Ternyata salah, bukan profesional. Kamu tidak lebih dari orang-orang di luar sana yang tidak berpendidikan."Wow. Aku mundur satu langkah mendengarnya. Berani sekali Ariel bilang begitu p
"Selamat malam semuanya. Apa kabar?"Aku tersenyum cerah, mengedarkan pandangan. Mencari Mas Reyhan. Ah! Ketemu juga. Dia tampak menganga. Sepertinya tidak percaya dengan keberadaanku di sini. Memang aku tampak berbeda sekarang dengan make up dan pakaian seperti ini, tetapi pasti dia mampu mengenaliku. Apalagi dengan nama asli dan kepanjanganku. Semua pengunjung menjawab sapaanku. "Tunggu sebentar!"Ketika aku hendak berbicara lagi, Bang Ariel menahan perkataanku. Dia melambaikan tangan, kemudian naik ke atas panggung. "Adek." Bang Ariel memelukku, membuat suasana beberapa saat ramai. Aku melirik Mas Reyhan. Kemudian tersenyum miring dan membalas pelukan Bang Ariel. Kami memang sudah lama sekali merencanakan ini semua. "Gimana? Siap?" tanya Bang Ariel sambil berbisik padaku. "Harus siap, dong." Aku tersenyum, membuat Bang Ariel melepaskan pelukan. Kami kembali mempersiapkan diri. Aku menoleh sebentar ke Bang Ariel yang menganggukkan kepala dan tersenyum. "Baik. Perkenalkan
"Dasar tidak punya hati!"Hampir saja aku meninju abangnya Ani itu. Napasku tersengal. Merasa dipermainkan. Pandanganku berpindah antara si Ariel dan Ani. Mereka sama-sama menyebalkan. Sudah mempermalukanku di depan banyak orang, sekarang faktanya membuatku tercengang. "Tidak punya hati?" Ariel tertawa mendengar perkataanku barusan. Dia terlihat puas sekali mentertawakanku. "Iya! Apalagi, hah?! Dasar menyebalkan." Aku mengepalkan tangan. "Mari kita bicarakan sifat aslimu. Mau dibongkar di sini?"Aku memperhatikan sekitar. Ada beberapa rekan kerja dulu. Mereka saling berbisik. Mampus, hancur sudah semua karierku. Namun, mereka jauh sekali, tentu saja tidak akan terdengar karena ini ruangan khususMereka enak sekali mempermalukan begini. Aku mengembuskan napas kasar. Ini sama sekali tidak lucu. "Aku tunggu kamu di rumah, Ani.""Oh. Tidak ada tanggung jawabnya?" Ariel melipat kedua tangannya. Biarkan sajalah. Aku mengabaikan pria itu. Memilih untuk keluar ruangan khusus. "Jujur s