"Divya," panggil Bulek Ratmi lembut, saat aku sedang berada di kamarku. Begitu Bapak pulang, aku langsung masuk ke kamarku.
Kuusap air mata yang mengalir di pipiku. Sebelum Bulek Ratmi sempat menatap wajahku.
"Iya Bulek," sahutku. Aku pura-pura memperbaiki kain selimut yang menyelimuti anakku.
"Cerita sama Bulek. Kamu sedang ada masalah apa sama Bima?" tanya Bulek Ratmi pelan, takut mengganggu tidur anakku yang nyenyak.
Aku menghela nafas, sejak aku kecil, tak ada hal yang bisa aku sembunyikan dari Bulek Ratmi. Dia selalu saja tau, kalau aku sedang dalam masalah.
Masa kecilku memang lebih banyak diasuh oleh Bulek Ratmi. Ibuku yang menikah di usia muda, tak bisa mengurusku dengan baik. Apalagi, jarak usiaku dan Satria adikku tak sampai dua tahun. Jadilah masa kecilku dihabiskan di rumah Nenek. Setelah aku sekolah Aliyah, baru aku ikut Bapak dan Ibu.
Ah, aku rindu dengan adikku itu. Dia sekarang sedang berada di Kalimantan. Mengurus kebun sawit Bapak, warisan dari Kakek yang ada di sana. Banyak sih, orang-orang yang mengurus kebun. Kebun sawit Bapak lumayan luas disana. Tugas Satria hanya mengawasi juga memberi laporan hasil kebun sama Bapak. Sekalian dia praktek langsung materi kuliahnya di fakultas pertanian di sana.
Sudah tiga bulan ini dia tak pulang. Juga jarang memberi kabar. Terakhir pergi, dia sedang marah. Aku tak tau, dia marah dengan siapa, yang aku lihat, wajahnya terus cemberut saat akan berangkat lagi ke Kalimantan.
"Divya, Bulek perhatikan, dari tadi kamu melamun saja," kata Bulek Ratmi membuyarkan lamunanku.
Lagi, aku hanya menghela nafas. Aku mau bilang apa sama Bulek Ratmi?
Meski Bulek Ratmi bertugas membantu Nenek di rumah ini. Tapi beliau sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Sejak kecil, aku selalu menceritakan semua hal yang ku alami sama Bulek Ratmi. Dia layaknya ibuku sendiri. Bahkan bisa di bilang, aku lebih dekat sama Bulek Ratmi dibanding dengan Ibu.
"Ya sudah, kalau kamu belum mau cerita. Kamu tau kan, cari Bulek dimana?" Bulek Ratmi pergi meningggalkanku di kamar bersama anakku.
Heehhh, belum saatnya Bulek Ratmi tau. Sabar Divya, tahan ceritamu.
Ya, aku harus bersabar, sampai acara aqiqah anakku selesai. Tak sampai satu bulan lagi, aku akan mengakhiri semuanya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Hari demi hari terus berganti, tak terasa hari dimana nama anakku ditabalkan tiba juga. ARSENIO AKBAR. Nama yang kini tersemat di diri putraku. Yang bermakna laki-laki besar yang gagah berani.
Para tamu undangan sudah bubar semua. Sanak keluarga juga sudah pulang ke rumahnya masing masing, sedari sore tadi. Keluarga yang tinggalnya jauh, sengaja tak diundang. Karena acara yang diadakan hanya acara syukuran kecil-kecilan.
Kutinggalkan Arsen di kamarnya, setelah kupastikan tidurnya nyenyak dan perutnya kenyang. Cukup lama dia menyusu tadi. Apalagi tidur siangnya sangat kurang hari ini. Aku harap tidurnya malam ini nyenyak sampai pagi.
Kebetulan, Bapak, Ibu, Mas Bima sedang berkumpul di ruang keluarga. Tampak santai melepas penat. Muaknya aku, melihat Ibu yang sok mesra, memijat lembut betis Bapak yang tidur tengkurap. Sementara Mas Bima, duduk di karpet yang masih dibentang di ruang keluarga, dengan bersandar di sofa. Matanya sok fokus pada acara tivi di depannya, padahal aku bisa melihat, dia dan Ibu sesekali saling melirik.
"Pak," panggilku. Masih lagi aku berjalan dari kamar. Sengaja kulakukan, agar Mas Bima dan Ibu sadar, kalau aku melihat mereka.
"Hmm," sahut Bapak dengan mata terpejam. Aku tau, Bapak tak tidur. Tapi sedang menikmati pijatan Ibu.
Sebelum aku tau kebusukan Ibu dan Mas Bima. Setiap melihat Ibu memijat Bapak, aku selalu merasa, Ibu itu istri yang sempurna. Sudah cantik, juga pandai mengurus suami. Tapi sekarang, aku merasa dia hanya sedang berlakon saja.
Aku duduk tak jauh dari Bapak dipijat, bersebrangan dengan Mas Bima. Aku sekarang merasa jijik dekat dengannya. Dia seperti najis bagiku kini.
"Ada yang mau Divya bilang," ucapku.
Ibu menghentikan aksinya. Tangannya tak lagi memijat Bapak. Matanya melihat ke arahku, seolah memohon, agar aku tetap bungkam.
Mas Bima, dia langsung bangkit dari sandarannya. Tatapannya juga tampak menghiba padaku.
Mereka sepertinya takut, kalau aku akan menyampaikan hubungan terlarang mereka pada Bapak. Terutama Mas Bima. Dia pasti takut kehilangan pekerjaan. Dia hanya orang yang dipercayakan Bapak mengurus kebun. Sejak dulu, dia memang karyawan Bapak. Namun, karena seringnya dia ke rumah, membuat benih cinta di antara kami tumbuh. Bapak pun, tak menghalangi hubungan kami.
Mas Bima, selain wajahnya rupawan, tubuhnya atletis, juga seorang pekerjaan yang ulet. Orangnya juga baik dan sopan. Sebab itu Bapak senang-senang saja, saat kami menjalin hubungan dan memutuskan menikah.
Siapa yang bisa menyangka, alau orang seperti Mas Bima, yang tampak patuh pada Bapak. Bisa menjalin skandal dengan ibu mertuanya sendiri.
Bapak bangkit, merapikan sarungnya seraya duduk bersandar di sofa seperti Mas Bima tadi.
"Dari kemaren, juga ada yang mau Bapak bilang sama kamu," kata Bapak.
Aku diam, menundukkan wajahku. Kenapa sekarang, lidahku jadi merasa kaku mau bicara?
"Bapak lihat, sikap kamu sekarang berubah jauh. Kamu lebih pendiam. Bapak lihat, kamu sepertinya sangat menghindari berkomunikasi dengan ibumu, termasuk dengan Bima. Ada apa sebenarnya?" tanya Bapak.
Memang sejak aku pulang dari rumah sakit, tak sekalipun aku mau bicara dengan Ibu. Selama di rumah Nenek, aku hanya mau bicara, kalau Bapak yang menghubungi melalui sambungan jarak jauh. Bahkan sejak tiga hari yang lalu, aku kembali ke rumah ini. Belum sepatah katapun aku bicara sama Ibu dan Mas Bima.
Mataku mengembun. Bening kristal itu kembali mengambang di kelopak mataku. Lalu jatuh berderai tanpa sanggup kutahan. Aku terisak, hingga bahuku berguncang.
"Loh, kamu kok malah nangis Divya? Ada apa sebenarnya?"
"Bu, Bima. Kalian pasti tau, penyebab Divya seperti ini?" Bapak menanyai Ibu dan Mas Bima, karena aku masih belum buka mulut. Tapi mereka juga diam.
"Kalau ada masalah. Jangan dipendam. Kamu harus ceritakan, biar kita tau mencari solusinya," kata Bapak berusaha bijak.
Aku tarik nafasku dalam. Ayo Divya, bilang apa keinginanmu sekarang. Kucoba menguasai diriku agar tak terisak lagi.
"Pak … Divya mau pisah dari Mas Bima." Akhirnya, kata-kata itu keluar juga dari mulutku.
"Apa?!" Aku tak tau, Bapak bertanya karena tak dengar, atau ingin memastikan, apakah pendengarannya tak salah.
"Divya mau pisah dari Mas Bima." Kuulangi lagi kata-kata itu. Kali ini lebih tegar dari yang tadi.
"Bima! Apa maksud Divya? Kenapa dia minta pisah sama kamu? Apa yang sudah kamu lakukan?" cecar Bapak pada Mas Bima.
Mas Bima diam. Tentu. Dia tak akan berani mengatakan alasanku ingin berpisah dari dia.
"Bu! Apa Ibu tau, apa alasan Divya?" Kali ini, Ibu yang ditanya Bapak.
Kudengar Bapak menghela nafasnya. Untuk sesaat suasana jadi hening.
"Kamu tau kan Divya, bapakmu ini menjabat sebagai Kades teladan hingga beberapa periode?" tanya Bapak. Aku hanya mengangguk, belum berani menatap Bapak.
"Kamu tau, Bapak jadi Kades karena warga yang memilih?" Kembali aku mengangguk.
"Warga melihat, bapak bisa menjadi panutan yang baik buat mereka. Keluarga Bapak harmonis. Kedua anak Bapak tumbuh menjadi orang-orang yang berguna. Tak sekalipun, kalian mencoreng nama Bapak dengan kenakalan. Dan Bapak sangat bangga dengan kalian," ungkap Bapak. Bapak berusaha tenang. Hatiku sangat sedih mendengar kata-kata Bapak.
"Terus, sekarang kamu mau mencoreng nama Bapak, justru di akhir tugas Bapak." Kali ini Bapak seperti berusaha menahan emosinya.
"Masalah apa yang menbuat kamu sampai memutuskan ingin berpisah? Semua bisa dibicarakan baik-baik," kata Bapak.
Aku tergugu, kembali aku mengisak. Hingga hidungku terasa mampet.
"Ma–af Pak. Div–ya tak bi–sa," kataku dengan tersengal.
"Kenapa tak bisa!" bentak Bapak. Baru kali ini Bapak membentakku.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Bapak jatuh tergeletak di lantai, cepat aku berlari ke arah Bapak. Membiarkan koperku terletak begitu saja."Pak, Bapak!" Aku histeris. Bapak mencoba mengangkat tangannya, lalu dilambaikan padaku. Seolah mengatakan jangan bantu. Bapak bangkit. Bapak kesusahan untuk bangkit, tubuhnya seperti kaku. "Ya Allah, Pak!" Ibu datang. Dia langsung histeris melihat keadaan Bapak. Ibu juga berusaha membantu Bapak bangkit, tapi Bapak juga melambaikan tangan, melarang Ibu menolongnya. Tapi Ibu abai, dia tetap membantu Bapak untuk duduk. Aku juga tak tinggal diam, Kubantu Ibu untuk mendudukkan Bapak. Sementara aku lupa akan hal yang baru terjadi pada kami.Aku sangat cemas dengan keadaan Bapak. Bapak mendadak kehilangan suaranya. Bapak berusaha bicara, tapi suaranya seakan tertahan di lehernya."Kenapa Bapak?" Mas Bima baru datang, entah darimana, aku tak peduli tentang itu. "Bim, tolong panggil Dokter Toto," titah Ibu. Mas Bima langsung cepat pergi menuruti titah Ibu. Aku dan Ibu berusaha meng
Bapak benar, kalau aku pergi meninggalkan Bapak, tanpa menyelesaikan masalahku dengan Mas Bima terlebih dahulu. Mas Bima pasti tetap akan bertahan di rumah ini. Tentunya dia akan semakin bebas berbuat apa saja di rumah ini dengan Ibu. Apalagi kondisi Bapak sedang kurang sehat. "Bapak usir saja Mas Bima," saranku."Tak semudah itu Divya. Bisa jadi, akan tersebar berita fitnah di luar sana. Bukan hanya nama baik Bapak yang akan tercoreng. Tapi juga nama kamu. Kamu pikir ulang lagi keputusanmu." Huft, lagi dan lagi Bapak memintaku memikirkan ulang keputusanku. Persetan tentang nama baik. Daripada batinku terus tersiksa. Tapi tampaknya, prinsipku berbeda dengan Bapak."Kalau kamu merasa tak nyaman tinggal di rumah ini. Kamu dan Bima, bisa menempati rumah yang ada di kebun," kata Bapak. "Divya, Bapak tak pernah minta apa-apa sama kamu kan? Sekali ini Bapak memohon sama kamu, nurut sama Bapak. Bukan Bapak tak memikirkan tentang perasaan kamu. Tapi kamu juga tak bisa secepat itu mengambil
"Cup cup Sayang. Panas ya Nak? Kita keluar ya," ucapku.Kugendong Arsen keluar rumah. Mungkin dengan menghirup udara segar di luar, Arsen bisa tenang. Terus kutimang tubuh mungilnya, namun tak kunjung Arsen mau diam. Aku mulai kewalahan, apalagi wajah Arsen hingga memerah. Aku khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan. Rasa cemas mulai menjalari hatiku. Suaranya tangisannya sangat melengking. Sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Nak, apa kamu bisa merasakan kepedihan hati Bunda? Atau kamu bisa merasakan, kalau Bunda ingin membawamu pergi jauh dari ayahmu?"Sini Sayang," kata Mas Bima yang ternyata ikut keluar menyusulku.Dia mencoba mengambil Arsen dari gendonganku. Kali ini, terpaksa aku menyerahkan Arsen padanya. Aku harus menepiskan egoku demi Arsen. Aku khawatir, tangis Arsen akan berkelanjutan."Hei, jagoan. Kenapa Sayang?" katanya pada Arsen, sambil menatap wajah Arsen. Ah Mas. Melihat caramu membujuk Arsen, membuat hatiku luluh. Kenapa Mas, kamu mengkhianati a
"Pak, kunci rumah yang di kebun mana?" Bapak tercengang melihatku. Bukannya langsung memberi kunci yang kuminta."Mana Pak?" tanyaku lagi. Mungkin, kalau ada yang melihat sikapku sama Bapak dan Ibu saat ini. Pasti akan menganggap aku orang yang tak tau bersopan santun pada orangtua. Biarlah, aku juga tak pandai pura-pura kalau aku baik-baik saja sekarang. Hatiku sakit, dan aku belum menemukan cara untuk mengobatinya.Bapak bangkit, tanpa bicara apa pun. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Kuambil gawaiku, segera aku memesan taksi online. Ibu terus saja memperhatikanku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah. Malas melihat Ibu yang sepertinya ingin mengajakku bicara. Tak ada yang perlu dibicarakan sama Ibu.Paling mau minta maaf, dengan alasan khilaf. Khilaf kok menikmati?!Mas Bima keluar dengan membawa tas besar yang aku yakin berisi baju-bajunya. Diambil alihnya koper yang aku letakkan di pinggir teras."Ini kuncinya." Bapak keluar rumah,
"Divya, lantainya sudah kering. Istirahatlah di dalam." Mas Bima memanggilku dengan lembut.Tak berubah sama sekali. Begitulah Mas Bima, bicaranya selalu saja lemah lembut padaku, hingga membuatku terbuai dan tidak mewaspadainya sama sekali. Siapa yang sangka, suami penyayang dan perhatian seperti Mas Bima, bisa juga menyakiti hati istrinya. Bahkan jauh lebih sakit dari dipukul rasanya. Aku bangkit, langsung berjalan melewatinya. Tanpa meliriknya sedikitpun, meski dengan ekor mataku. Kamar tujuanku, aku ingin tidur saja. Mataku memang sangat mengantuk, karena satu malaman aku tak tidur. Beruntung Arsen kalau tidur bisa lama. Kalaupun bangun, paling sebentar saja, lalu bisa tidur lagi. Kulihat kamar sudah rapi dan bersih. Kuturunkan Arsen perlahan, dan menidurkan tubuh mungil anakku ke atas tilam yang sudah ditutup sprei warna hijau bermotif bunga. Kurebahkan juga tubuhku di sebelah Arsen. Kuelus lembut pipinya yang tembem. Walau mengantuk, mataku masih sangat sulit terpejam. Waktu
Aku masuk lagi ke kamarku. Ingin rasanya kubanting dengan kuat pintu ini, tapi aku takut Arsen akan terkejut. Apalagi kulihat dia mulai menggeliat. Sudah waktunya dia bangun tidur. Mindaku terus berputar. Memikirkan cara agar Ibu bisa bertaubat. Di satu sisi, dia ibuku. Tapi di sisi lain, dia pelakor suamiku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bapak, kenapa Bapak begitu mudah luluh hatinya? Tidakkah beliau merasa, bahwa harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Ibu? Paling tidak, berilah hukuman yang pantas supaya Ibu kapok. Kejadian tadi, sudah cukup membuka mataku. Untuk mengetahui, bahwa jarak yang jauh tak berpengaruh pada hubungan terlarang Mas Bima dan Ibu. Baru lagi sehari kami di sini, mereka sudah kangen-kangenan. Pake acara saling lihat video tak senonoh lagi! Mata Arsen mulai terbuka. Aku tersenyum melihatnya. Setiap melihat Arsen, sejenak aku bisa melupakan amarahku pada Mas Bima. Lebih baik sekarang, aku fokus pada Arsen dulu. Sepertinya, aku juga harus mengundurkan d