Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Bapak jatuh tergeletak di lantai, cepat aku berlari ke arah Bapak. Membiarkan koperku terletak begitu saja."Pak, Bapak!" Aku histeris. Bapak mencoba mengangkat tangannya, lalu dilambaikan padaku. Seolah mengatakan jangan bantu. Bapak bangkit. Bapak kesusahan untuk bangkit, tubuhnya seperti kaku. "Ya Allah, Pak!" Ibu datang. Dia langsung histeris melihat keadaan Bapak. Ibu juga berusaha membantu Bapak bangkit, tapi Bapak juga melambaikan tangan, melarang Ibu menolongnya. Tapi Ibu abai, dia tetap membantu Bapak untuk duduk. Aku juga tak tinggal diam, Kubantu Ibu untuk mendudukkan Bapak. Sementara aku lupa akan hal yang baru terjadi pada kami.Aku sangat cemas dengan keadaan Bapak. Bapak mendadak kehilangan suaranya. Bapak berusaha bicara, tapi suaranya seakan tertahan di lehernya."Kenapa Bapak?" Mas Bima baru datang, entah darimana, aku tak peduli tentang itu. "Bim, tolong panggil Dokter Toto," titah Ibu. Mas Bima langsung cepat pergi menuruti titah Ibu. Aku dan Ibu berusaha meng
Bapak benar, kalau aku pergi meninggalkan Bapak, tanpa menyelesaikan masalahku dengan Mas Bima terlebih dahulu. Mas Bima pasti tetap akan bertahan di rumah ini. Tentunya dia akan semakin bebas berbuat apa saja di rumah ini dengan Ibu. Apalagi kondisi Bapak sedang kurang sehat. "Bapak usir saja Mas Bima," saranku."Tak semudah itu Divya. Bisa jadi, akan tersebar berita fitnah di luar sana. Bukan hanya nama baik Bapak yang akan tercoreng. Tapi juga nama kamu. Kamu pikir ulang lagi keputusanmu." Huft, lagi dan lagi Bapak memintaku memikirkan ulang keputusanku. Persetan tentang nama baik. Daripada batinku terus tersiksa. Tapi tampaknya, prinsipku berbeda dengan Bapak."Kalau kamu merasa tak nyaman tinggal di rumah ini. Kamu dan Bima, bisa menempati rumah yang ada di kebun," kata Bapak. "Divya, Bapak tak pernah minta apa-apa sama kamu kan? Sekali ini Bapak memohon sama kamu, nurut sama Bapak. Bukan Bapak tak memikirkan tentang perasaan kamu. Tapi kamu juga tak bisa secepat itu mengambil
"Cup cup Sayang. Panas ya Nak? Kita keluar ya," ucapku.Kugendong Arsen keluar rumah. Mungkin dengan menghirup udara segar di luar, Arsen bisa tenang. Terus kutimang tubuh mungilnya, namun tak kunjung Arsen mau diam. Aku mulai kewalahan, apalagi wajah Arsen hingga memerah. Aku khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan. Rasa cemas mulai menjalari hatiku. Suaranya tangisannya sangat melengking. Sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Nak, apa kamu bisa merasakan kepedihan hati Bunda? Atau kamu bisa merasakan, kalau Bunda ingin membawamu pergi jauh dari ayahmu?"Sini Sayang," kata Mas Bima yang ternyata ikut keluar menyusulku.Dia mencoba mengambil Arsen dari gendonganku. Kali ini, terpaksa aku menyerahkan Arsen padanya. Aku harus menepiskan egoku demi Arsen. Aku khawatir, tangis Arsen akan berkelanjutan."Hei, jagoan. Kenapa Sayang?" katanya pada Arsen, sambil menatap wajah Arsen. Ah Mas. Melihat caramu membujuk Arsen, membuat hatiku luluh. Kenapa Mas, kamu mengkhianati a
"Pak, kunci rumah yang di kebun mana?" Bapak tercengang melihatku. Bukannya langsung memberi kunci yang kuminta."Mana Pak?" tanyaku lagi. Mungkin, kalau ada yang melihat sikapku sama Bapak dan Ibu saat ini. Pasti akan menganggap aku orang yang tak tau bersopan santun pada orangtua. Biarlah, aku juga tak pandai pura-pura kalau aku baik-baik saja sekarang. Hatiku sakit, dan aku belum menemukan cara untuk mengobatinya.Bapak bangkit, tanpa bicara apa pun. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Kuambil gawaiku, segera aku memesan taksi online. Ibu terus saja memperhatikanku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah. Malas melihat Ibu yang sepertinya ingin mengajakku bicara. Tak ada yang perlu dibicarakan sama Ibu.Paling mau minta maaf, dengan alasan khilaf. Khilaf kok menikmati?!Mas Bima keluar dengan membawa tas besar yang aku yakin berisi baju-bajunya. Diambil alihnya koper yang aku letakkan di pinggir teras."Ini kuncinya." Bapak keluar rumah,
"Divya, lantainya sudah kering. Istirahatlah di dalam." Mas Bima memanggilku dengan lembut.Tak berubah sama sekali. Begitulah Mas Bima, bicaranya selalu saja lemah lembut padaku, hingga membuatku terbuai dan tidak mewaspadainya sama sekali. Siapa yang sangka, suami penyayang dan perhatian seperti Mas Bima, bisa juga menyakiti hati istrinya. Bahkan jauh lebih sakit dari dipukul rasanya. Aku bangkit, langsung berjalan melewatinya. Tanpa meliriknya sedikitpun, meski dengan ekor mataku. Kamar tujuanku, aku ingin tidur saja. Mataku memang sangat mengantuk, karena satu malaman aku tak tidur. Beruntung Arsen kalau tidur bisa lama. Kalaupun bangun, paling sebentar saja, lalu bisa tidur lagi. Kulihat kamar sudah rapi dan bersih. Kuturunkan Arsen perlahan, dan menidurkan tubuh mungil anakku ke atas tilam yang sudah ditutup sprei warna hijau bermotif bunga. Kurebahkan juga tubuhku di sebelah Arsen. Kuelus lembut pipinya yang tembem. Walau mengantuk, mataku masih sangat sulit terpejam. Waktu
Aku masuk lagi ke kamarku. Ingin rasanya kubanting dengan kuat pintu ini, tapi aku takut Arsen akan terkejut. Apalagi kulihat dia mulai menggeliat. Sudah waktunya dia bangun tidur. Mindaku terus berputar. Memikirkan cara agar Ibu bisa bertaubat. Di satu sisi, dia ibuku. Tapi di sisi lain, dia pelakor suamiku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bapak, kenapa Bapak begitu mudah luluh hatinya? Tidakkah beliau merasa, bahwa harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Ibu? Paling tidak, berilah hukuman yang pantas supaya Ibu kapok. Kejadian tadi, sudah cukup membuka mataku. Untuk mengetahui, bahwa jarak yang jauh tak berpengaruh pada hubungan terlarang Mas Bima dan Ibu. Baru lagi sehari kami di sini, mereka sudah kangen-kangenan. Pake acara saling lihat video tak senonoh lagi! Mata Arsen mulai terbuka. Aku tersenyum melihatnya. Setiap melihat Arsen, sejenak aku bisa melupakan amarahku pada Mas Bima. Lebih baik sekarang, aku fokus pada Arsen dulu. Sepertinya, aku juga harus mengundurkan d
"Bik, coba Bibik tenang dulu. Cerita yang bener apa yang terjadi?" tanyaku. Soalnya Bik Sum bercerita dengan keadaan panik, jadi aku masih belum mengerti maksudnya. Satria yang sudah di atas motor maticku, memandangku dengan wajah heran. Aku masih berdiri di depan pintu rumahku saat ini."Gini loh Mbak. Tadi Buk Niken datang, langsung marah-marah sama Ibu. Katanya Ibu pelakor. Tapi Ibu melawan Mbak. Buk Niken bawa anaknya sama adeknya," jelas Bik Sum. Ibu dibilang pelakor sama Buk Niken? Nggak salah? Apa selain dengan Mas Bima, Ibu juga menjalin hubungan gelap sama Pak Danu? Suami Buk Niken. Salivaku mendadak kering. Gila aja, kalau benar Ibu seperti itu.Panggilan Bik Sum berubah jadi panggilan video. Segera kuterima. Bik Sum memvideokan, adegan dimana Ibu dicaci maki sama Buk Niken dan keluarganya. Tapi Ibu kelihatan nggak kalah sengit. Tak begitu jelas apa yang dibicarakan, karena sepertinya Bik Sum memvideokan dari dapur, sementara adegan itu sepertinya ada di ruang tamu.Bik S