"Kamu yakin, kamu tak salah lihat." Astaga nih orang. Masih nggak percaya juga. Disodorkannya padaku satu gelas air mineral. Kuterima, kumasukkan sedotannya dan langsung menyedotnya sampai habis. Pengen marah sama nih orang, tapi kok alasannya nggak jelas.Huuuhhhh haaaahhh. Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Baiklah, tak ada malu-malu lagi. Biar Bang Dion tau dan jelas dengan ceritaku. "Saya nggak salah lihat Bang. Saya melihat dengan mata saya sendiri. Saya juga dalam keadaan sadar, tidak sedang bermimpi atau baru bangun dari tidur. Apa perlu saya peragakan caranya biar Abang percaya?" tantangku. Berusaha menutupi rasa kesalku."Boleh, saya bersedia jadi pemeran suami kamu. Dimana? Disini? Ayo." Mataku melotot mendengarnya. Tak menyangka dia malah menantangku balik. Kuambil sendiri air mineral yang ada di tengah meja, kali ini nggak pake sedotan, tapi langsung kukoyak segelnya dan langsung kutenggak sampai habis. Haduh, hilang kalemku di hadapannya. Kok ngeselin ya
"Percuma kesana, Rafika tak di sana lagi. Sudah sangat lama dia pergi," kata Bapak.Aku melihat ke jalanan. Menerawang jauh, menghayal seandainya aku bisa bertemu dengan ibu kandungku. Ibu yang sudah melahirkanku di tengah kedukaannya saat Ayah kandungku meninggal. Membayangkannya membuat mataku panas. "Ssruut srruut." Aku menyedot ingus yang ikut timbang rasa dengan air mata yang perlahan tapi pasti mengalir dari kelopak mataku."Kamu nangis?" tanya Bapak. Pengen rasanya aku jawab, nggak Pak, Divya ketawa. Tapi urung kulakukan, diam saja lebih baik. Hatiku sedang melow sekarang. Toh Bapak bisa lihat kalau aku menangis. Kuambil tisu yang ada di atas dashboard. Kuusap air mata dulu baru hidungku yang berair. "Divya ingin sekali bertemu Ibu kandung Divya, Pak," kataku. Bapak menghembuskan nafasnya yang berat. "Nanti Bapak coba cari nomor sahabat Bapak itu. Sudah belasan tahun kami tak saling berhubungan. Nomornya hilang entah kemana. Dulu bukan seperti sekarang, pake hape. Dulu hany
"Gimana Pak? Udah Bapak cari tau sama teman-teman Bapak?" tanyaku pagi ini dengan semangat pada Bapak. Kuabaikan Ibu yang sedang joging.Pagi ini, Bapak duduk santai sambil menikmati segelas kopi juga pisang goreng yang pastinya buatan Bik Sum. Sementara Ibu Joging ringan di halaman belakang tanpa alas kaki. Kalau orang lain yang melihat kami, pasti iri. Betapa hangatnya situasi keluarga di rumah ini. Mereka tak tau aja, ada larva panas yang sedang menggelegak di dalamnya. Satu malaman aku hampir tak bisa tidur dengan nyenyak. Menunggu pagi datang, rasanya lama sekali. Aku ingin segera menagih janji Bapak semalam, yang ingin mencari nomor kontak sahabat lamanya yang ada di Jakarta. Sahabat baik Bapak, yang dulu Bapak percayakan untuk menjaga ibu kandungku.Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Aku ingin segera mendengar kabar baik dari Bapak. Jadi begitu pagi datang. Kulihat Bapak juga sudah duduk santai menikmati masa pensiunnya, langsung aku datangi. Heran juga, kenapa Bapak masih
Sekarang benar-benar sepi, tak ada suara apapun lagi. Mungkin Ibu tertidur atau masih meratapi nasib di kamarnya. Aku berharap, setelah ini, Ibu tidak akan berbuat hal yang sangat merugikan dirinya sendiri. Terutama hal yang membuat harga dirinya sebagai perempuan, tak ada nilainya sama sekali.Kalian mungkin akan bilang, aku ini lemah, mudah melow dan kasihan sama Ibu. Padahal Ibu sudah sangat menyakiti aku. Ditambah fakta baru, kalau ternyata dia bukan Ibu kandungku.Tapi tetap saja, hatiku tak bisa bohong. Aku akui, aku marah sama dia. Sangat marah. Bahkan kalau bisa, aku ingin menghajar Ibu habis-habisan. Tapi bagaimanapun, dia tetap ibuku. Itu yang kuketahui tentang dirinya sedari aku kecil. Walaupun sekarang aku tau, kasih sayangnya padaku tak tulus. Tak ada kenangan buruk tentangnya di ingatanku. Walau kuakui, sangat sedikit juga kenangan manis bersamanya. Seperti pernah kuceritakan, aku lebih dekat sama Bapak dan lebih merasa nyaman bicara sama Bapak. Arsen sudah siap menyus
"Ada apa dengan Satria, Bik?" "Anu Mbak. Kalau Bibik cerita, Mbak jangan kasih tau ya, kalau Mbak Divya tau dari Bibik." Aku semakin mengernyitkan dahiku, kenapa Bik Sum takut? Kalau informasi yang dia sampaikan valid. Buat apa dia harus takut? "Sekarang cerita apa dulu, Bik?" "Um, anu Mbak." Dia malah kebingungan."Dari tadi kok anu terus sih Bik? Bibik diancam sama Ibu ya," selidikku. Dia tersenyum kecut. "Bibik nggak usah takut. Yang gaji Bibik di sini Bapak, bukan Ibu. Jadi seharusnya, Bibik lebih menghargai Bapak. Pokoknya Divya nggak mau kejadian kayak kemaren terulang lagi. Bibik ikut juga nanggung dosa Ibu loh. Bibik mau?" Dia menggeleng. "Ya udah, sekarang Bibik cerita sama Divya. Kenapa rupanya sama Satria?" "Mbak, sebenarnya Mas Satria itu, bukan anak Bapak," katanya. Ternyata berita basi yang ingin disampaikan Bik Sum."Divya Udah tau Bik," kataku datar."Tapi juga bukan anak Pak Danu," katanya lagi. Tentu saja aku terperanjat mendengarnya. Sejak kejadian keluarga Bu
"Pertanyaan kamu tuh kok ya aneh. Disana kan ada kebun Bapak, juga ada anak Bapak," kata Bapak membuatku nyengir. Ternyata Bapak tetap menganggap Satria anaknya. Padahal Bapak tau, kalau Satria bukan anak kandungnya. Bapak yang memang tulus, atau … ada sesuatu di sebaliknya. "Bapak nggak marah sama Satria?" Kucoba bertanya, ingin tau seperti apa jawaban Bapak. "Marah buat apa?" "Dia kan–" Mau meneruskan bilang kalau Satria kan bukan anak Bapak, kok rasanya nggak enak ya. Kok kayak sentimen sama Satria. Bagaimanapun dia adekku, terlepas kami ada hubungan darah atau tidak. Kami sudah terikat sejak kecil, tak ada yang bisa mengubah itu. Meski aku akui, aku sendiri masih syok mengetahui kebenaran tentang diri kami. Ditambah pengakuan Satria yang bilang menyukaiku bukan sebagai kakaknya."Bukan anak Bapak," kata Bapak santai saja, sambil tetap menikmati makanannya. "Kamu saja, bukan anak kandung Bapak." Aku jadi serba salah mendengar Bapak bilang gitu.Kalau aku kan beda sama Satria.
"Sudah kamu suruh pulang ibumu?" tanya Kakek pada cucu Om Barri yang kembali masuk ke kamar."Sudah Kek," kata anak itu. Dia mendekati Om Barri lalu membuka kancing baju bagian depan Om Barri.Nafas Om Barri semakin tersengal, kami tak tau harus berbuat apa. Terutama aku, yang hanya bisa berdiri melihat kondisi Om Barri yang ngedrop.Cucu Om Barri mengambil kayu putih yang ada di atas nakas di samping tempat tidur berdampingan dengan banyaknya obat-obatan Om Barri. Diolesnya minyak kayu putih di sepanjang dada Om Barri. Om Barri berusaha keras untuk bisa memompa oksigen di paru-parunya."Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," kata Bapak. Om Barri menggeleng lemah."Bar, nggak mungkin cuma didiamkan begini. Kamu perlu ditangani oleh dokter," kata Bapak, tapi Om Barri tetap menggeleng seperti tak mau kalau dibawa ke rumah sakit. "Saya sudah menghubungi Dokter Budi, Kek. Dia dokter yang menangani Kakek. Mungkin sebentar lagi sampai. Tempat prakteknya nggak jauh dari sini," kata cucu Om Ba
Kak Mala tampak tak bisa menegakkan kepalanya di hadapan Bapak. Seperti menanggung beban malu yang teramat besar. Apa ya, yang sudah diperbuat Om Barri di masa lalu? "Semua sudah terjadi. Barri juga sudah meninggal. Om maafkan dia," kata Bapak. Namun aku merasa tersirat kesedihan yang mendalam di kalimat Bapak. "Terima kasih Om, Mala sebenarnya malu. Ibu juga sakit karena hal ini. Sejak tau hal itu, Ibu jadi bersikap dingin sama Bapak. Mungkin karena terlalu sedih, Ibu jadi sering sakit-sakitan. Dulu, Mala juga nggak tau, kenapa Ibu jadi bersikap lain sama Bapak. Mala baru mengerti semua, setelah Bapak meminta Mala menulis surat ini." Kak Mala berbicara dengan sangat hati-hati sekali. Bapak menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan kuat. Kulihat tangannya meremas kuat surat itu. Bapak seakan menahan emosi yang tak bisa diluapkan. Pak, jangan disobek suratnya, Divya belum baca. "Om, mengenai Tante Rafika. Sebelum dia meninggalkan rumah ini. Tante Rafika pernah bilang, dia sangat