Sekarang benar-benar sepi, tak ada suara apapun lagi. Mungkin Ibu tertidur atau masih meratapi nasib di kamarnya. Aku berharap, setelah ini, Ibu tidak akan berbuat hal yang sangat merugikan dirinya sendiri. Terutama hal yang membuat harga dirinya sebagai perempuan, tak ada nilainya sama sekali.Kalian mungkin akan bilang, aku ini lemah, mudah melow dan kasihan sama Ibu. Padahal Ibu sudah sangat menyakiti aku. Ditambah fakta baru, kalau ternyata dia bukan Ibu kandungku.Tapi tetap saja, hatiku tak bisa bohong. Aku akui, aku marah sama dia. Sangat marah. Bahkan kalau bisa, aku ingin menghajar Ibu habis-habisan. Tapi bagaimanapun, dia tetap ibuku. Itu yang kuketahui tentang dirinya sedari aku kecil. Walaupun sekarang aku tau, kasih sayangnya padaku tak tulus. Tak ada kenangan buruk tentangnya di ingatanku. Walau kuakui, sangat sedikit juga kenangan manis bersamanya. Seperti pernah kuceritakan, aku lebih dekat sama Bapak dan lebih merasa nyaman bicara sama Bapak. Arsen sudah siap menyus
"Ada apa dengan Satria, Bik?" "Anu Mbak. Kalau Bibik cerita, Mbak jangan kasih tau ya, kalau Mbak Divya tau dari Bibik." Aku semakin mengernyitkan dahiku, kenapa Bik Sum takut? Kalau informasi yang dia sampaikan valid. Buat apa dia harus takut? "Sekarang cerita apa dulu, Bik?" "Um, anu Mbak." Dia malah kebingungan."Dari tadi kok anu terus sih Bik? Bibik diancam sama Ibu ya," selidikku. Dia tersenyum kecut. "Bibik nggak usah takut. Yang gaji Bibik di sini Bapak, bukan Ibu. Jadi seharusnya, Bibik lebih menghargai Bapak. Pokoknya Divya nggak mau kejadian kayak kemaren terulang lagi. Bibik ikut juga nanggung dosa Ibu loh. Bibik mau?" Dia menggeleng. "Ya udah, sekarang Bibik cerita sama Divya. Kenapa rupanya sama Satria?" "Mbak, sebenarnya Mas Satria itu, bukan anak Bapak," katanya. Ternyata berita basi yang ingin disampaikan Bik Sum."Divya Udah tau Bik," kataku datar."Tapi juga bukan anak Pak Danu," katanya lagi. Tentu saja aku terperanjat mendengarnya. Sejak kejadian keluarga Bu
"Pertanyaan kamu tuh kok ya aneh. Disana kan ada kebun Bapak, juga ada anak Bapak," kata Bapak membuatku nyengir. Ternyata Bapak tetap menganggap Satria anaknya. Padahal Bapak tau, kalau Satria bukan anak kandungnya. Bapak yang memang tulus, atau … ada sesuatu di sebaliknya. "Bapak nggak marah sama Satria?" Kucoba bertanya, ingin tau seperti apa jawaban Bapak. "Marah buat apa?" "Dia kan–" Mau meneruskan bilang kalau Satria kan bukan anak Bapak, kok rasanya nggak enak ya. Kok kayak sentimen sama Satria. Bagaimanapun dia adekku, terlepas kami ada hubungan darah atau tidak. Kami sudah terikat sejak kecil, tak ada yang bisa mengubah itu. Meski aku akui, aku sendiri masih syok mengetahui kebenaran tentang diri kami. Ditambah pengakuan Satria yang bilang menyukaiku bukan sebagai kakaknya."Bukan anak Bapak," kata Bapak santai saja, sambil tetap menikmati makanannya. "Kamu saja, bukan anak kandung Bapak." Aku jadi serba salah mendengar Bapak bilang gitu.Kalau aku kan beda sama Satria.
"Sudah kamu suruh pulang ibumu?" tanya Kakek pada cucu Om Barri yang kembali masuk ke kamar."Sudah Kek," kata anak itu. Dia mendekati Om Barri lalu membuka kancing baju bagian depan Om Barri.Nafas Om Barri semakin tersengal, kami tak tau harus berbuat apa. Terutama aku, yang hanya bisa berdiri melihat kondisi Om Barri yang ngedrop.Cucu Om Barri mengambil kayu putih yang ada di atas nakas di samping tempat tidur berdampingan dengan banyaknya obat-obatan Om Barri. Diolesnya minyak kayu putih di sepanjang dada Om Barri. Om Barri berusaha keras untuk bisa memompa oksigen di paru-parunya."Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," kata Bapak. Om Barri menggeleng lemah."Bar, nggak mungkin cuma didiamkan begini. Kamu perlu ditangani oleh dokter," kata Bapak, tapi Om Barri tetap menggeleng seperti tak mau kalau dibawa ke rumah sakit. "Saya sudah menghubungi Dokter Budi, Kek. Dia dokter yang menangani Kakek. Mungkin sebentar lagi sampai. Tempat prakteknya nggak jauh dari sini," kata cucu Om Ba
Kak Mala tampak tak bisa menegakkan kepalanya di hadapan Bapak. Seperti menanggung beban malu yang teramat besar. Apa ya, yang sudah diperbuat Om Barri di masa lalu? "Semua sudah terjadi. Barri juga sudah meninggal. Om maafkan dia," kata Bapak. Namun aku merasa tersirat kesedihan yang mendalam di kalimat Bapak. "Terima kasih Om, Mala sebenarnya malu. Ibu juga sakit karena hal ini. Sejak tau hal itu, Ibu jadi bersikap dingin sama Bapak. Mungkin karena terlalu sedih, Ibu jadi sering sakit-sakitan. Dulu, Mala juga nggak tau, kenapa Ibu jadi bersikap lain sama Bapak. Mala baru mengerti semua, setelah Bapak meminta Mala menulis surat ini." Kak Mala berbicara dengan sangat hati-hati sekali. Bapak menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan kuat. Kulihat tangannya meremas kuat surat itu. Bapak seakan menahan emosi yang tak bisa diluapkan. Pak, jangan disobek suratnya, Divya belum baca. "Om, mengenai Tante Rafika. Sebelum dia meninggalkan rumah ini. Tante Rafika pernah bilang, dia sangat
Sampai di kamar, aku duduk bersandar di kepala tempat tidur. Kubuka perlahan, lembaran buku harian ibuku dengan jantung yang berdebar-debar.Lembaran pertama dia menulis kata. RINDU INI SUNGGUH MENYIKSA. Dadaku sesak membacanya. Aku sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Aku bisa merasakan, betapa sakit hati seorang Ibu saat harus dipisahkan dengan anak kandungnya. Lembaran kedua, kubuka dengan lebih hati-hati. Buku ini sudah lumayan lama ditinggalkan pemiliknya. Bahkan ada beberapa lembarannya yang lengket. Kalau tak hati-hati membuka lembaran nya, pasti akan sobek. Menurut cerita Bapak dan Kak Mala. Ibu hanya tinggal satu tahun lebih di sini. Lalu pergi entah kemana. Mungkin dia terburu-buru hingga buku ini tertinggal. Isi lembaran kedua, dan seterusnya menggambarkan betapa rindunya dia padaku. Mataku terus berkaca-kaca membaca setiap tulisan tangan ibu yang ditulis dengan rapi.Lembaran berikutnya lebih menyesakkan dadaku. SELAMAT ULANG TAHUN SAYANG. MAAF BUNDA NGGAK BISA MENEMANI
Wajahnya merasa heran melihatku. "Boleh. Tapi nggak bisa lama-lama ya," katanya. Ini lah sosok Buk Niken yang kukenal dulu. Orangnya memang ramah, makanya agak aneh melihat dia yang mengamuk waktu itu."Nggak papa ya, kita ngobrolnya berdiri saja. Agak ke pinggir situ aja yuk," ajaknya. Caranya bicara padaku, seolah tak pernah ada masalah di antara keluarga kami."Apa yang kamu tanya?" tanyanya langsung padaku, setelah kami agak menepi agar tak mengganggu orang yang lewat."Ini mengenai pertengkaran Ibuk sama Ibu saya waktu itu," kataku. Sebenarnya terdengar tak sopan ya, mengulik hal yang sudah ditutup lama. "Hm, iya. Ada apa rupanya?" "Buk, saya penasaran dengan kata-kata Pak Danu waktu itu? Apa yang dimaksud anak Pak Danu itu, Satria?" tanyaku, hati-hati sekali. Aku takut, Buk Niken akan tersinggung."Bukan." "Lalu siapa?" tanyaku, dahiku mengkerut. Padahal aku sudah yakin benar, kalau Satria adalah anak Pak Danu. Kalau bukan, lalu siapa? Ah, kepalaku jadi pusing memikirkannya.
Sudah malam, tapi mataku masih tak mau dipejamkan. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik, yang saling sahut bersahutan. Kulihat jam di dinding kamarku, sudah jam sembilan malam.Aku bangkit, mungkin diluar akan membuatku sedikit rileks. Ya aku sangat gelisah. Tak bisa tidur memikirkan semua yang terjadi. Belum ada kepastian, siapa sebenarnya anak Pak Danu. Kalau bukan Satria, kenapa Bapak diam saja, saat aku menduga kalau Satria lah anak Pak Danu?Kubenahi selimut Arsen sebelum aku keluar dari kamar. Kuambil gawaiku dari atas nakas. Aku belum cek ulang lagi statusku yang share foto-foto tulisan tangan Bunda di diarynya. Tadi saat baru pulang, aku sudah cek tapi belum ada komentar yang bisa jadi petunjuk. Sebagian besar komentarasuk adalah mendoakan semoga aku cepat bertemu Bunda. Dan aku aminkan, bukan hanya lewat ketikan ibu jariku. Tapi juga hatiku. Sambil keluar dari kamar, aku melihat gawaiku. Langkah kakiku menuju ke teras rumah. "Aduh!" Karena tak melihat j