"Um … Abang sedang repot hari ini," ucapnya, terkesan enggan memenuhi janjinya padaku untuk menemui R Wulandari. "Ya udah. Hari Minggu ya. Deal," kataku langsung, tepat saat makanan yang kami pesan datang. Aku tak mau lagi menunda-nunda. Aku ingin memastikan, apakah R Wulandari adalah bundaku?Laki-laki berkacamata di hadapanku kelihatan sekali bingung. Raut wajahnya tak bisa bohong. Kenapa sih, dia harus keberatan kasih tau rumah Bunda? "Ok, kita makan dulu. Nanti lagi ngobrolnya," kata Bapak. Makanan yang kami pesan sudah datang, diantar oleh dua orang waiters. "Iya nih, aku udah laper," kataku. Kuabaikan ekspresi Bang Dion yang mendadak jadi diam. Maaf Bang, tapi aku harus secepatnya ketemu R Wulandari. Kami makan dengan khidmat. Bang Dion yang biasa selalu menghidupkan suasana, kini diam saja. Bahkan tampak tak berselera, tapi terpaksa juga dia menghabiskan makanannya. Aku dan Bapak berulang kali saling melirik. Mungkin Bapak juga menyadari perubahan Bang Dion. Ada apa seben
Bertemu SintaUsai menyusui dan menidurkan Arsen, aku dan Kak Sam berjalan kaki saja ke warung. Kak Sam juga sudah selesai memasak daun katuknya, saat menungguku tadi. Kak Sam ternyata orangnya cukup cekatan. Aku baru beberapa kali saja ketemu Kak Sam. Karena memang nggak terlalu sering ke sini. Bapak belum mau kemana-mana. Mau menunggu Satria di rumah. Makanya Arsen bisa kutinggal. "Nggak banyak yang berubah, ya Kak," kataku sambil melihat-lihat wilayah perkebunan. "Namanya di kebun Mbak, jarang ada pembaruan. Kalau di kota, baru banyak perubahan." "Iya juga ya. Tapi makin ramai kayaknya Kak?" Aku melihat setiap rumah semua ada penghuninya. Gak ada yang kosong."Iya Mbak. Apalagi kalau sore, rame anak-anak main. Kalau jam segini, pada sekolah," kata Kak Sam. "Wah, pasti seru. Dekat rumah Bapak di Medan, malah udah nggak banyak anak-anak main. Pada main hape aja di dalam rumah." "Iya Mbak. Kalau malam, orang tuanya juga suka ngumpul, habis Isya. Biasa nya setelah anak-anak pulan
"Kak, saya akan bicara sama Mas Bagus. Siapa tau bisa membantu memperbaiki kondisi rumah tangga Kakak." "Terima kasih sekali Mbak, tapi nggak usah. Saya takut Mas Bagus marah sama saya," katanya dengan menundukkan wajah. "Lebih bagus kan, daripada diam saja. Jadi nggak tau maunya apa. Kakak udah minta maaf kan?" Dia mengangguk."Nggak pernah ngulangi lagi kan?" selidikku."Nggak Mbak. Demi Allah. Saya hanya sama Mas Bima, itupun terpaksa." Aku percaya kata-katanya. Terlihat dari matanya yang tulus. "Kalau begitu, Kakak nggak usah takut. Insha Allah, kalau saya bicara sama Mas Bagus. Hatinya akan terbuka untuk maafiin Kak Sinta. Hubungan suami istri, nggak bisa terus diem-dieman kalau ada masalah. Nggak sehat. Kasihan anak-anak juga." Hah, pinter bener ya aku nasehatin orang. Prakteknya sulit, aku tau sekali itu. "Terserah Mbak Divya. Saya harap, Mas Bagus benar-benar bisa memaafkan saya. Saya nggak tau, berapa lama lagi bisa bertahan di rumah tangga yang kayak gini. Keberadaan sa
POV Satria – Berdamai dengan diri sendiriAku terperangah melihat Kak Divya yang marah besar sama aku. Sampai melepar kunci ke badanku. Tak sakit di raga, tapi di hati. Apa aku memang sudah sangat keterlaluan sama Bapak? Bapak menghela nafas melihatku, aku tertunduk. Ya, kenapa aku harus marah sama Bapak? Sebagai laki-laki, seharusnya aku lebih memahami perasaan Bapak. Bagaimana kalau aku yang ada di posisi Bapak? Mungkin sejak awal aku tau pasanganku berselingkuh, sudah kucincang dia dan selingkuhannya.Kini, aku jadi semakin bingung mau bagaimana? Hubunganku yang sekarang yang berasa kaku sama Kak Divya, gara-gara perasaanku yang konyol. Kini malah semakin berjarak. "Kamu sudah dewasa untuk mengerti semuanya, bukan anak kecil yang tiap hari harus selalu dinasehati. Semua terserah sama kamu." Setelah berkata demikian, Bapak menyusul Kak Divya masuk ke rumah. Aku masih berdiri terpaku di dekat motorku. Mau balik gengsi. Mau pergi, masalah akan panjang buntutnya. Aku memang anak tak
Satria benar-benar nekat kayaknya. Aku nggak boleh diam saja dan seolah memberi harapan padanya. Di adekku, sampai kapan pun. Setelah meletak susuku di atas nakas yang ada di kamar, aku segera keluar lagi. Aku harus lebih tegas pada Satria. Aku ke dapur, benar saja, dia masih berdiri terpaku seperti tadi."Dek!" Aku menyadarkannya yang terlihat syok. Dia melihatku tanpa menyahut panggilanku. "Sini, Kakak mau bicara." Aku lebih dulu melangkah ke teras rumah. Aku jadi risih kalau kami berdua-duaan saja begini di dalam.Aku duduk di bangku yang ada di teras. Sukurlah dia mengikutiku juga. "Duduk," titahku, dia juga nurut. Aku menarik nafas sebelum mulai bicara padanya. "Kakak udah baca surat kamu," kataku jujur setelah tadi saat di dapur aku mengelak darinya. "Dek, perasaan kamu itu salah. Mungkin karena kamu terlalu sayang sama Kakak, makanya kamu mengira, kamu mencintai Kakak." "Aku benar cinta sama Kakak. Aku bukan anak kecil yang tak bisa membedakan rasa.""Iya, cinta seorang Ad
#Satria beneran minggat"Satria! Udah jam sembilan, kamu nggak ke kampus. Semalam kamu bilang, hari ini ada jadwal kuliah jam sepuluh?" Bapak tetap sabar memanggil Satria dari depan pintu kamarnya.Tak ada jawaban juga."Coba buka aja Pak, pintunya," ucapku yang berdiri di belakang Bapak sambil menggendong Arsen.Pelan-pelan Bapak membuka handle pintu kamar Satria, ternyata tak dikunci. "Loh, mana dia?" tanya Bapak. Aku melongok ke dalam, tak ada Satria. Kamarnya juga masih rapi. "Pak, apa itu?" kataku menunjuk ke arah bantal Satria.Bapak lantas menuju ke bantal yang kumaksud. Bapak ambil kertas yang ada di atas bantal."Heh, anak ini," gumam Bapak seraya menggelengkan kepala. "Kenapa Pak?" tanyaku."Nih, baca sendiri." Kuterima kertas yang diulurkan Bapak. Pak, Kak Divya, aku pergi. Maaf kalau aku nggak pamit. Hmm, Satria. Bener-bener nih bocah. Kok jadi kekanakan gini sih nih anak. Padahal selama ini, dewasa banget cara berpikir nya."Biarin aja lah Pak. Biar dia introspeksi di
Aku bingung, harus bagaimana caraku menceritakan semua pada Bang Dion. Malu sekali rasanya kalau bilang Mas Bima berselingkuh dengan ibuku sendiri."Kenapa diam? Malu?" tanyanya seolah tau apa yang ada di benakku saat ini. Aku berusaha memaksakan seulas senyum di bibirku. "Um, sebelum saya cerita sama Abang. Saya mau tau dulu, berapa kira-kira biaya yang harus saya keluarkan untuk gugatan cerai ini?" Tak ada salahnya aku bertanya perihal biaya dulu, sebelum akhirnya benar-benar berkonsultasi sama Bang Dion.DrrttHape Bang Dion, yang terletak di atas meja bergetar."Sebentar ya," katanya padaku, aku membalas dengan senyuman tipis. Menunggu dia melihat pesan yang masuk ke hapenya. Mataku memindai ruangan tempatku sekarang berada. Ada beberapa orang yang sepertinya sama denganku. Nasib pernikahannya sedang berada di ujung tanduk perceraian. Beberapa wajah tampak tegang dan marah, sementara yang lainnya ada yang menangis tersedu. Gedung ini, gedung yang kelihatan bagus dari luar. Nam
#Bapak dikelilingi pengkhianatSemakin dekat, aku melihat justru wajah ibu-ibu itu terlihat sumringah. Aku melihat Kak Sinta berdiri di depan rumahnya, sambil mengobrol dengan ibu-ibu yang lain. "Mbak Divya," tegur Kak Sinta. Aku tersenyum melihatnya. Binar mata dan pancaran kebahagiaan terlihat dari wajahnya,tak seperti semalam, yang terlihat putus asa. "Ini, anak Pak Candra yang paling besar." Kak Sinta memperkenalkan diriku pada ibu-ibu yang lain. Mereka semua menyalamiku. "Iya ingat, dulu terakhir kemari, masih sekolah ya. Sekarang udah nikahkan?" tanya seorang Ibu. "Iya Bu," jawabku. Cukup mereka tau aku sudah menikah, tak perlu tau kalau aku telah menggugat cerai suamiku. "Nggak terasa ya. Udah punya anak, Mbak?" tanya Ibu yang lain. "Udah Buk, satu." "Kok nggak dibawa?" "Lagi tidur dia." "Oh gitu. Ya udah ah, saya mau pulang duluan ya Mbak, bu ibu. Belum masak, ntar lagi suami sama anak pada pulang." Ibu yang tadi bertanya tentang Arsen lebih dulu pamit."Iya, yuk Mba