#Belajar tentang kebun"Kalau soal itu, sudah berulangkali kami coba. Nggak ada yang cocok. Ada aja alasannya. Dijodohkan sama pariban, katanya nggak enak, nggak nambah saudara. Akhirnya orang tua kami sekarang pasrah, terserah dia maunya kayakmana, yang penting seiman. Janda pun nggak masalah, asal dilihat dulu, apa yang menyebabkannya menjadi janda," beber Bu Mega.Aku menelan saliva, ini perasaanku saja atau bukan ya. Kok kayaknya dia sedang mempromosikan adiknya padaku. Aih, kok jadi baper aku. Bukannya sok kecentilan. Buat apa Bu Mega cerita tentang Bripda Farhan tanpa ada maksud. Apalagi kami baru kenal."Kak!" panggil Bripda Farhan."Iya!" sahut Bu Mega."Ok Mbak Divya, saya balik dulu. Sebelum sopir saya itu pergi duluan karena ngambek kelamaan nunggu," kelakarnya. Bu Mega orangnya mudah akrab ternyata. Sepertinya akan menyenangkan, kerja bareng dia. "Saya akan menghubungi Mbak Divya, kalau ada hal yang diperlukan lagi," katanya lagi. "Panggil Divya saja Bu," kataku. "Ok Di
#Bang Dion tak menepati janji"Saya sangat membutuhkan Paklek, untuk mengawasi orang-orang yang bekerja di sini. Saya nggak setiap saat bisa datang. Jadi saya minta tolong, Paklek yang mengawasi, juga menjadi perpanjangan mulut karyawan. Artinya, apapun keluhan semua pekerja, bisa disampaikan sama Paklek. Nanti Paklek sampaikan sama saya. Apapun itu, kalau ada masalah, bantu saya untuk menyelesaikannya. Saya juga membutuhkan Paklek, untuk memberi nasehat, supaya hasil kebun semakin bagus dan melimpah. Pekerja juga sejahtera." Lek Noto sangat senang mendengar keinginanku."Terima kasih Mbak. Saya kira, karena usia saya sudah tua, Mbak Divya sudah nggak butuh tenaga saya," kata Lek Noto senang. "Saya cuma nggak mau, Lek Noto kerja terlalu berat lagi. Kalau soal kemampuan, saya sangat percaya sama Lek Noto. Pokok nya Paklek jaga kesehatan ya, biar bisa terus menemani Divya." "Insha Allah. Paklek akan tetap bekerja dengan baik. Orang tua seperti Paklek. Kalau disuruh nganggur malah saki
#Akhirnya Bang Dion luluh"Divya, sabar. Jangan emosi begitu," bujuk Bang Dion. Enak sekali dia ngomong begitu. Apa dia nggak nyadar, aku emosi gara-gara dia?! Dia nggak tau, betapa besar keinginanku untuk bertemu R Wulandari. Aku hanya ingin kepastian, itu saja. Kalau dia bukan ibu kandungku, ya sudah, aku tak akan lagi mengganggunya. Aku turun dari atas motorku, berusaha menyalakan mesin dengan mengengkolnya. Tapi sampai kakiku sakit, tak juga mesin mau menyala. "Sini biar Abang coba," kata Bang Dion."Nggak usah!" ketusku. Bang Dion menghela nafas melihatku. Entah kenapa, aku tak bisa mengendalikan diriku untuk tak marah dengannya. Harapanku sudah pupus kini. Kalau benar dia tak mau mengantarku menemui Bunda, entah kapan ada lagi kesempatan buatku untuk bertemu. "Ok," katanya pasrah.. Aku berhenti mengengkol dan melihat wajahnya yang tertunduk. Kenapa sih dia sangat keras kepala? Bikin aku semakin curiga, kalau dia tau sesuatu. "Abang akan membawa kamu menemui Mbak Wulan," k
#R Wulandari sakitAku terus mengikuti langkah kaki Bang Dion. Sore ini begitu cerah, banyak suara burung yang terbang dari dahan satu ke dahan lainnya. Di sekitaran rumah sakit ini sangat banyak pohon-pohon besar yang berdiri gagah, menambah kesan angker di rumah sakit ini. Hatiku terus bertanya tanpa mau menanyakan langsung pada Bang Dion. Siapa gerangan yang sakit? Aku hanya terus mengekor di belakangnya. Bang Dion sepertinya sangat hafal dengan seluk beluk rumah sakit ini. Seakan dia sudah sering ke sini. Kalau aku, disuruh kesini sendirian, mungkin akan nyasar, karena besarnya rumah sakit ini. Sampai kami di sebuah ruangan yang cukup besar. Ada empat tempat tidur di sini. Tapi hanya satu yang berisi. Aku melihat seorang wanita terbaring lemah di tempat tidur paling pojok dengan selang infus di tangannya. Dia tidur dengan memunggungi kami. Bang Dion mendekati wanita itu, akupun ikut di belakangnya."Mbak." Bang Dion menyapa pelan wanita itu sambil memegang bahunya. Wanita it
#Ternyata benar"Bulek!" Aku sangat terkejut melihat Bulek Ratmi ada di sini juga. Dia juga kelihatan salah tingkah, mungkin tak menyangka kalau aku ada di sini. Dengan adanya Bulek Ratmi di sini, aku semakin yakin, kalau yang saat ini sedang berbaring lemah di ranjang rumah sakit adalah ibu kandungku. "Divya," kata Bulek Ratmi. Sama seperti aku, dia juga kehabisan kata-kata. Tak mungkin dia bisa mengelak lagi. Apalagi yang mau dijadikan alasan. Tak mungkin hanya kebetulan dia mengenal Bunda. Aku berbalik, melihat sosok yang masih memunggungiku itu. Airmataku mengalir deras tanpa dikomando. Akhirnya aku bertemu dengan Ibu kandungku. Tanpa mempedulikan Bulek Ratmi aku kembali mendekati Bunda. Dengan langkah gontai karena kakiku yang tiba-tiba lemas aku duduk di tempat tidurnya dan memeluknya dari belakang. Aku tak peduli, kalau dia akan terbangun dan marah padaku. Memeluknya adalah salah satu impian terbesarku saat ini.Dia menggeliat, lalu berbalik melihatku. "Kamu!" katanya terke
#Penyakit mematikan"Bundamu menderita leukimia. Sekarang sudah stadium empat. Dia saat ini membutuhkan donor sumsum tulang belakang. Dokter sudah berusaha mencari pendonor, tapi belum ada yang cocok. Dokter bilang, sebaiknya pendonor adalah keluarga sendiri. Rambutnya rontok karena efek kemoterapi. Dia juga harus rutin cuci darah," jelas Bulek.Rasanya aku seperti dihempaskan, sesak sekali. Aku pernah punya teman yang menderita penyakit ini saat aku sekolah menengah atas dulu. Hanya sebentar, sejak diketahui dia menderita penyakit ini dia bisa bertahan. Tubuhnya yang gemuk mengalami penurunan bobot yang drastis. Kalau aku tak salah ingat, tak sampai sebulan, setelah di diagnosa menderita penyakit ini, dia pergi untuk selamanya. Bunda, sesingkat inikah pertemuan kita? Tak ada kesan yang berarti. Haruskah aku mengenangmu yang hanya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit? Bahkan kamu belum mendengar semua ceritaku. "Bulek. Divya mau mendonorkan sumsum Divya. Pasti cocok sama Bund
POV Malikah – Marah dalam diamSuntuknya aku terkurung di sini. Gara-gara si Bima, aku jadi ikut-ikutan menjarah hasil kebun Mas Chandra. Sial! Padahal sudah beruntung aku mendapat bagian rumah yang cukup besar. Kalau sudah begini, takutnya malah zonk! Menyesal? Entah. Terus terang aku masih marah sama Mas Chandra. Gara-gara dia, aku kehilangan masa mudaku. Baru lagi tamat sekolah, almarhum Bapak sudah memaksaku menikah dengannya, dengan alasan untuk membalas budi atas kebaikan Bapak mertuaku. Bapak Rajasa, si Tuan Tanah yang juga sahabat Bapak sejak kecil. Padahal usiaku dengan Maa Chandra, terpaut sangat jauh.Kata Bapak, kehidupan keluarga kakekku sangat miskin dulu. Bapak Rajasa yang banyak membantu kehidupan mereka, sampai biaya sekolah Bapak, juga dibiayai sama keluarga Rajasa. Bahkan Bapak dulu juga bekerja di kebun milik keluarga Rajasa. Saat Bapak menjodohkanku dengannya. Aku mau saja. Walaupun aku harus mau menganggap keponakannya menjadi anakku sendiri. Karena adiknya sud
POV Malikah – Gara-gara nafsuSemakin lama aku jenuh juga. Apalagi sejak dia diangkat menjadi kepala desa terpilih. Aku dan dia harus terus memakai topeng kemesraan di hadapan warga. Mulai dari pagi hingga malam hari. Pokoknya kalau kami berdua di satu tempat, aku dan dia harus menjadi pasangan serasi yang diteladani semua warga. Aku bingung, menyalurkan hasratku. Kecanduanku pada film panas juga semakin menjadi, sehingga membuatku sering kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Sering aku merayu Mas Chandra, tapi tak berhasil. Sampai akhirnya, aku berhasil membujuknya untuk periksa ke dokter spesialis. Barangkali dia ada gangguan dengan kejantanannya, hingga dia tak bisa melakukan kewajiban. Yah, sebagai seorang perempuan dan seorang istri, aku masih berharap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kami. Aku dan dia hanya tak pernah melakukan ritual yang satu itu saja. Aku yakin, kalau dia bisa, maka rumah tangga kami akan bisa benar-benar harmonis tanpa harus berpura-pura. Dia pasti