Share

3. Vania Kartikasari

Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya.

"Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.

Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya.

"Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.

Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu.

"Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepat kepada kasir itu.

"Dua puluh delapan ribu, Bang." Segera kuserahkan selembar uang lima puluh ribu. Gadis itu diam menatapku dengan mulutnya yang sedikit menganga, seakan tak percaya.

"Ini, sudah dibayar." Kuserahkan kantung berwarna putih kepadanya. Sedikit ragu ia mengambil kantung itu dari tanganku.

"Ah, te—terima kasih, Bang!" ujarnya tergagap. Aku mengangguk, lalu kembali ke antrian. Orang-orang menatap kami dengan pandangan yang sulit kuartikan.

*

Saat keluar, kulihat gadis tadi sedang duduk meminum jus di bangku luar mini market. Saat melihatku, buru-buru ia bangkit lalu menghampiri.

"Bang, tunggu!" panggilnya saat aku baru hendak mengenakan helm.

"Ada apa?" tanyaku sedikit penasaran. Tiba-tiba tangannya terulur.

"Eh ... perkenalkan, namaku Vania! Nama Abang siapa?" Wajahnya sedikit memerah, entah karena cuaca yang panas atau karena tersipu.

Kusambut uluran tangan kecil itu. Terasa sangat halus dan lembut.

"Nama Abang, Dani," jawabku sambil tersenyum.

"Terima kasih ya Bang, sudah membayar untukku di dalam tadi. Sepertinya dompetku ketinggalan!" katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.

"Sama-sama, tak usah sungkan.  Oh ya, mau pulang ke mana? Atau sudah ada yang ditunggu?" selidikku, sesekali menatap wajahnya yang imut dan putih mulus. Rambut hitam panjangnya tergerai, sesekali ditiup angin lalu.

Vania terlihat sedikit bingung.

"Aku pulangnya ke arah Tanah Patah, Bang. Rencananya mau pesan ojek online saja!" Sesekali ia mengecek ponsel dalam genggaman.

"Kebetulan Abang ke arah Lingkar Barat, ayo kalau mau bareng!" ajakku tanpa pikir panjang. Ia tampak bimbang.

"Apa gak merepotkan, Bang?" tanyanya.

"Sudah, gak usah banyak berpikir. Ayo naik!" Kuserahkan helm cadangan padanya.

*

Sepanjang perjalanan, kami hanya diam tanpa kata. Entah karena merasa canggung atau bagaimana. Tak ada di antara kami yang memulai percakapan. Sampai akhirnya, di jalan yang sedikit berlubang aku tiba-tiba mengerem. Lengan Vania yang tadi entah ia posisikan di mana, sekarang melingkar erat di pinggangku. Namun, tak lama kemudian segera dilepaskan lagi.

Jantungku berdegup kencang seakan mau keluar dari tempatnya. Rasanya grogi sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk oleh seorang gadis meskipun tak sengaja.

Tak lama kemudian, motorku berhenti di depan sebuah rumah kecil berwarna biru muda. Di sanalah Vania tinggal.

"Abang, tidak mampir dulu?" tawarnya sedikit malu-malu.

"Ehm, mungkin lain kali saja, ya! Soalnya Abang sudah janji main futsal dengan teman-teman sore ini," jawabku jujur.

Vania mengangguk mengerti.

"Ya sudah, kalau gitu! Vania boleh minta nomor ponsel Abang?" Matanya berbinar-binar penuh harap. Kujawab dengan anggukan. Dia tersenyum, cantik sekali.

Bukan main senangnya perasaanku!

*

Seiring waktu, hubungan kami semakin dekat. Kuakui sangat menyukai, bahkan jatuh cinta pada sosok Vania. Tampaknya, gayungku bersambut. Vania sangat manja dan menempel padaku. Gadis berusia dua puluh tahun itu terkadang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Perbedaan umur kami yang sedikit jauh, tidak menyurutkan perasaan masing-masing sedikit pun.

Menunjukkan keseriusan, kubawa ia berkunjung ke rumah kak Fitri, kakak kandungku. Kak Fitri menyambut kami dengan sangat baik. Namun, entah mengapa Vania tampaknya kurang menyukai keponakanku yang masih berusia empat tahun. Berkali-kali Adelia mencoba mendekat, tapi Vania tak menggubrisnya. Padahal, keponakanku itu adalah anak yang sangat manis dan menggemaskan.

 Hal itu tentunya menjadi penilaian negatif dari kak Fitri. Mengapa seorang perempuan dewasa seperti Vania, bahkan tak ingin berinteraksi dengan anak kecil sedikit pun? Namun, aku tepis segala prasangka buruk tentangnya. Biarlah, mungkin umurnya yang terbilang masih muda membuat Vania tidak terbiasa dengan anak-anak.

Saat menemui kedua orangtua Vania, papanya adalah orang yang sangat baik dan terbuka. Sedangkan mamanya, menatapku sinis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Syarat yang sedikit berat diberikan oleh Mama jika aku ingin menikahi Vania. Salah satunya adalah, harus memberinya uang bulanan. Kak Fitri sempat menentang rencana pernikahan kami yang sedikit tergesa-gesa. Menyuruhku untuk berpikir matang-matang sebelum melanjutkan. Apa lagi mendengar tentang sikap Mama, kak Fitri benar-benar khawatir. Tapi entahlah, sepertinya aku telah dibutakan oleh cinta.

Biaya fantastis bahkan tak segan aku kucurkan untuk melaksanakan pesta pernikahan yang mewah. Tabunganku selama bertahun-tahun, lenyap dalam waktu singkat. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli rumah atau mobil, kami habiskan dalam sehari saja. Tak masalah, asalkan aku dan Vania bisa bersama.

Awal-awal pernikahan, adalah masa paling manis dan menyenangkan. Aku merasa bagaikan hidup di surga. Vania menjelma  menjadi seorang bidadari siang dan malam. Kupercayakan ia untuk mengurus rumah, sedangkan aku bekerja. Hanya tamatan SMA, ia tak memiliki keahlian khusus. Aku tak pernah mempermasalahkan itu, cukuplah aku yang bekerja banting tulang untuk kami berdua.

Sifat boros Vania dan Mama menjadikan kami hidup tanpa tabungan. Uang selalu habis bahkan sebelum akhir bulan tiba. Tutur katanya yang manis dan manja selalu membuatku luluh. Bagiku, asalkan istri bahagia, semuanya akan kuberikan. Saat ia mengeluh soal pekerjaan rumah tangga, aku pun selalu sigap untuk membantu. Ah Vania, betapa aku mencintaimu!

*

Setelah kabar PHK aku sampaikan, Vania sedikit terguncang. Aku tahu, ia pasti belum  siap jika harus hidup  dengan mengencangkan ikat pinggang. Aku mulai mencari pekerjaan pengganti ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Sementara Vania, berubah menjadi istri pendiam yang malas berbicara denganku. Bahkan, hak sebagai suami yang dulu selalu kudapatkan, kini malas-malasan ia berikan.

Vaniaku, berubah menjadi orang asing. Perlahan-lahan menjauh, tak bisa lagi kuraih dalam dekapan. Makanan hangat dan lezat, entah kapan terakhir kalinya terhidang di meja makan kami. Meski aku tak pernah lupa memberinya sedikit uang sebelum bekerja, Vania tetap berubah. Apakah benar uang telah mengubah segalanya? Kupikir cinta itu tulus, tak memandang keadaan.

Di sisi lain, Mama selalu merongrong tanpa berusaha mengerti keadaan. Sekuat tenaga, aku berusaha memenuhi tuntutannya setiap bulan. Uang pesangon yang seharusnya bisa menjadi cadangan darurat untukku dan Vania, harus kurelakan untuk memenuhi gengsi Mama.

Tapi, kali ini aku tak bisa lagi memaksakan. Seumur pernikahanku dengan Vania, baru kali ini aku menolak permintaan Mama. Sifat asli istri dan mertuaku sedikit demi sedikit terkuak. Aku yang dulu, benar-benar telah dibutakan oleh tipu muslihatnya.

"Suami tak berguna!" Kalimat itu meluncur dari mulut orang yang paling aku sayangi. Vania, kenapa kau tega? Pikiranku seketika berkabut. Tak sadar, tanganku sudah menyentuh wajahnya dengan keras.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status