Share

4. Tamparan Keras

Plak!

Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi.

"A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya.

"Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam.

"Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat.

"Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu.

"Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.

Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih. Vaniaku yang tak pernah menangis sebelumnya, kini harus terluka. Penyesalan menyeruak, memenuhi rongga dada. Namun, malam ini aku takkan berusaha untuk menenangkan hatinya.

Kubaringkan tubuh yang terasa remuk di atas sofa. Rasa letih setelah bekerja berat seharian, dan ditambah kejadian barusan, membuatku seolah tak bertenaga. Mataku terpejam seketika. Tak lama, aku sudah terhanyut ke alam mimpi.

*

Suara azan subuh yang mendayu memaksaku bangun. Rasa dingin seketika menyergap. Hujan rintik di luar sana. Aku tertidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Teringat kembali dengan kejadian semalam, seketika membuat kepalaku berdenyut-denyut. Kulangkahkan kaki untuk menunaikan kewajiban seorang muslim. Meskipun bukan seseorang yang taat, aku masih berusaha menjalankan perintah-Nya. Lama aku terpekur dalam do'a. Meminta kepada-Nya agar keadaan kembali seperti sedia kala.

Kubuka pintu kamar perlahan. Vania tampak tertidur pulas. Kupandangi wajahnya yang terlihat damai. Pipinya yang masih sedikit merah bekas tamparan, membuatku menyesal. Sebelumnya, tak pernah sekali pun aku berbuat kasar padanya. Jangankan menamparnya keras, membentaknya saja tak pernah kulakukan. Rasa cinta yang terlalu besar, membuatku lemah.

Kukecup keningnya lembut sembari membisikkan kata maaf. Istriku yang cantik tiba-tiba menggeliat. Kelopak matanya yang ditumbuhi bulu-bulu lentik perlahan terbuka. Melihatku yang duduk di sampingnya, seketika ia mendekap bantal dan menjauh.

"A—abang mau apa?" tanyanya gugup dan cemas. Aku mendesah.

"Abang ... minta maaf, sudah menyakitimu. Abang khilaf, Van," jawabku, menatap kedua manik berwarna cokelat miliknya lekat-lekat. Wanita bertubuh mungil itu memalingkan wajahnya, tanpa berkata-kata.

"Van ... dengerin Abang, Sayang!" Kuelus rambutnya yang tergerai. Seketika tangannya menepis tanganku.

"Bicaralah, Van .... Tolong jangan diamkan Abang begini," pintaku lagi. Ia bergeming.

"Vani—"

"Diamlah, Bang! Aku masih mengantuk! Jangan harap aku memaafkan kejadian semalam begitu saja!" Dengan cepat ia memotong ucapanku. Aku tertunduk, lantas bangkit untuk ke luar kamar.

*

Kusiapkan semua kebutuhan sebelum berangkat kerja. Mulai dari mengisi botol air minum, menyiapkan pakaian, dan menyusun alat tukang. Dulu, biasanya Vania sudah meletakkan baju kerjaku di atas ranjang bersama dengan tas kerja. Makanan lezat sudah terhidang di meja. Sekarang semuanya menghilang. Hari ini aku harus berangkat kerja tanpa sarapan lagi. Kuputuskan untuk membeli nasi uduk di simpang pasar. Sedangkan untuk Vania, kutinggalkan selembar uang berwarna biru.

Masuk ke kamar untuk berpamitan, kudengar Vania sedang bercakap di telepon.

"Ma, nanti Mama ke sini ya!" katanya disertai sedikit isakan.

"Pokoknya Mama ke sini!" ucapnya lagi.

"Bukan, uangnya belum ada! Bang Dani gak ada uang. Pokoknya nanti Mama ke sini!" rengek Vania. Entah apa yang Mama katakan. Namun sepertinya, aku akan mendapat masalah lagi.

Tak lama, sambungan telepon ia tutup. Melihatku yang berdiri mematung di depan pintu, ia keringkan matanya yang tadi sedikit basah.

"Van ... Abang pamit berangkat kerja. Uang sudah Abang tinggalkan di atas meja. Doakan Abang bisa dapat uang untuk Mama ya! Soal semalam, Abang benar-benar minta maaf. Abang sungguh khilaf!" kataku panjang lebar. Tak ada jawaban darinya. Matanya sibuk menatap layar ponsel pintar itu. Aku mengembuskan napas berat.

"Abang minta tolong ... kalau tidak keberatan, masakkan nasi untuk nanti sore. Lauknya terserah, apa pun yang kamu masak, pasti Abang makan," pintaku. Ia terus bergeming. Kali ini kembali meringkuk di dalam selimut. Entah sampai kapan ia akan seperti itu.

Aku berlalu meninggalkan kamar sedikit tergesa. Tak ada lagi ceritanya Vania yang mencium tangan dan pipi, sebelum aku berangkat kerja. Sudah pukul setengah delapan. Dengan perasaan tak menentu, kulajukan motor ke tempat kerja.

*

"Mas Dani, kok melamun!" Aku tersentak. Pak Wira, bos proyek, sudah duduk di sampingku. Sekarang jam ishoma. Setelah salat zuhur, aku duduk di auning yang sengaja di bangun untuk tempat istirahat para pekerja.

"Waduh, saya gak sadar, Pak!" jawabku sambil tertawa. Pak Wira menyodorkan rokok, kubalas dengan gelengan.

"Sampean mikirin opo, to?" tanyanya dengan logat khas Jawa yang kental.

"Entahlah, Pak. Memikirkan nasib yang semakin tak jelas," ujarku mengalir begitu saja. Asap rokok Pak Wira mengebul.

"Masih muda jangan terlalu banyak pikiran, Mas! Nikmati hidup!" titah Pak Wira.

Tak lama kemudian, mengalirlah cerita-cerita tentang hidupnya yang dulu sulit dan penuh rintangan. Beliau dulu bekerja serabutan. Apa pun dilakukan untuk memberi makan anak dan istri. Istrinya yang belakangan kuketahui bernama bu Mirna, juga seseorang yang rajin dan ulet. Berjualan pecel, nasi uduk, dan lontong di depan kontrakan sepetak mereka. Sekarang, warung itu masih tetap bertahan, malah menjadi lebih maju dan sudah berbentuk ruko. Rumah kontrakan yang dulu ditempati pun, sudah mereka beli. Sesekali, kami mendapatkan makan siang gratis dari bu Mirna.

Dua orang anak Pak Wira semuanya berhasil menamatkan pendidikan sarjana. Anak sulung bernama Raditya, sekarang bekerja sebagai arsitek. Sedangkan anak kedua bernama Tyas, bekerja sebagai guru.

Aku salut dengan perjuangan pasangan suami istri itu. Namun tak pelak, juga merasakan iri. Pak Wira memiliki pasangan hidup yang sama tangguhnya dalam berjuang bersama.

"Bapak beruntung sekali, mempunyai pasangan seperti bu Mirna," ucapku tulus. Lelaki di sampingku tertawa, menampilkan keriput halus di sudut matanya.

"Rumput tetangga memang terkadang kelihatan lebih hijau, Mas! Tidak ada rumah tangga yang sempurna." Ia mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Saya tidak tau seperti apa rumah tangga Mas Dani, tapi seorang istri itu bersikap sebagaimana didikan dari imamnya. Kalau kita bisa menuntun mereka dengan baik, pasti tak akan ada banyak masalah."

Aku tertegun. Benar juga. Ingatanku melayang pada Vania. Selama ini ia terlalu kumanjakan. Semua yang ia inginkan, didapatkan dengan mudah. Vania tak pernah merasakan sulitnya perjuangan dalam mencari rejeki. Kadang kubiarkan ia bersikap seenaknya. Jika ia senang, maka aku pun senang. Sekarang, saat kondisi terpuruk, ia berubah sangat jauh. Jangankan memberi semangat, ia malah menjauhiku.

"Saya do'akan apa pun masalah yang Mas Dani hadapi sekarang, akan ada jalan keluarnya. Sudah, sekarang ayo kita kerja lagi!" Pak Wira menepuk pundakku sedikit keras. Aku bangkit mengekor di belakangnya.

*

Kembali kutemui rumah dalam keadaan kosong. Bedanya, kali ini rumah tidak terkunci.

"Assalamu'alaikum. Van, Abang pulang!" Kucari ia di seluruh ruangan. Tak kutemukan sosoknya di mana pun.

Tiba-tiba pintu depan terbuka. Vania dan Mama datang tanpa mengucap salam. Di tangan mereka kulihat beberapa kantung belanja. Mama langsung menatapku tajam. Bergegas ia mendekatiku yang terdiam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status