Kadang, bagian terberat dari perpisahan bukanlah melepaskan ... tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta dari setiap detik yang dilalui bersama.Berapa banyak orang yang gagal untuk melupa? Berapa banyak yang tetap mencintai dalam diam, meski raga sudah tak lagi bersama? Jawabannya, banyak, ada banyak. Mereka, tetap setia dengan ingatan-ingatan indah tentang orang-orang yang dikasihi.Aku, sepertinya akan menjadi salah satu yang gagal dan menolak untuk lupa. Meskipun kata perpisahan itu keluar dari mulutku, tapi rasa cinta yang besar tak berkurang barang setitik pun. Vania, mungkin aku terlalu mencintainya. Salahkah? Kalian anggap aku lemah? Tidak apa-apa. Masalah perasaan, bukanlah hal sepele. Bahkan, seorang Napoleon pun bisa patah hati.Mataku terpejam sesaat, tanpa menyadari bahwa aku sedang berada di atas motor menyusuri jalanan yang padat. Sepertinya, aku terlalu lelah. Tubuhku terasa seperti melayang. Ringan, seperti kapas. Ah, nyaman sekali. Biarlah kupejamkan saja mata.K
Wajah Vania pucat pasi. Sedangkan Mama salah tingkah dan tampak gelisah. Aku dan Kak Fitri menghalangi pintu kamar. Jangan sampai mereka coba-coba kabur. Beberapa detik kemudian, Mama menyembunyikan tangan di belakang badannya yang tambun."Apa yang kalian ambil?" tanyaku sambil memandang kedua orang itu tajam."A–apa? Vania cuma ambil baju, kok!" jawab Vania berkilah. Dia pikir aku bodoh. Kak Fitri tergelak."Baju? lantas apa yang disembunyikan Mama di tangannya?" Aku mendekat. Mama dengan cepat mundur, merapatkan badannya ke dinding."Ti–tidak ada apa-apa! Jangan mendekat kamu, Dani!" usir Mama. Aku tak menggubris."Kalau tidak mau diapa-apakan, cepat serahkan apa yang sudah Mama ambil!" titahku. Vania melirik Mama, lalu mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan sesuatu."Tidak, tidak akan kuserahkan!" tolaknya."Oh, begitu? Mau kupaksa, Ma?" kataku sambil terus mendekat."Jangan kurang ajar kamu, Dani! Awas kalau berani menyentuhku, akan kulaporkan ke polisi!" ancam Mama.Aku seketika te
Setelah mengobrol, ternyata kami tahu bahwa Kak Fitri adalah kakak tingkat sekaligus teman satu kosan dengan Tyas, saat mereka kuliah di Padang. Keduanya sangat dekat dan aktif terlibat dalam organisasi yang sama.Setelah kehilangan kontak selama bertahun-tahun, ternyata takdir masih mempertemukan mereka. Siapa sangka dunia begitu sempit? Seperti kata Pak Wira dulu. Kalau Tuhan sudah berkehendak, ikan yang berada di lautan akan bertemu dengan kera yang berada di gunung. Kira-kira begitulah.Aku dan Pak Wira akhirnya meneruskan obrolan di kursi teras, sementara para wanita kasak kusuk di belakang. Entah apa yang mereka bicarakan, sekali-kali terdengar tawa renyah mereka. Heboh sekali."Mas Dani, istrinya kok gak kelihatan?" tanya Pak Wira tiba-tiba. Mungkin ia heran karena sedari tadi tak ada wanita yang kuperkenalkan sebagai istri.Aku terdiam sejenak, lantas tersenyum miris. Teringat Vania, rasanya dadaku kembali nyeri dan tersayat."Istri saya ... saya kembalikan kepada orang tuanya
(PoV Mama)Semua orang tua di dunia ini, pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak ada satu pun orang tua yang mau melihat anaknya hidup susah. Termasuk aku, ingin melihat anak-anakku bahagia dan sukses. Aku akan senang dan bangga jika hidup anakku bergengsi dan bergelimang harta. Hidup itu keras, kamu harus memilih agar mendapatkan kehidupan yang layak dan mudah. Sudah tidak jaman hidup susah dan kerja keras. Jika bisa hidup senang dengan mengandalkan orang lain, kenapa tidak?Aku pun, sejak muda sudah pilih-pilih suami. Begitulah tuntutan menjadi perempuan. Karena dibesarkan dari keluarga miskin, akhirnya aku muak dan bertekad untuk tidak lagi hidup susah di masa depan. Dulu, aku adalah kembang desa. Banyak pemuda yang berusaha merebut hatiku. Beberapa di antaranya merupakan juragan atau pun pengusaha.Namun entah mengapa, hatiku tercantol pada seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan. Yah paling tidak, aku bisa hidup sederhana meskipun tidak mewah. Kadang terbersit rasa
Dengan sedikit malas, kubuka pesan WA dari nomor baru tersebut. [Dan, ini aku, Bella. Maaf, cuma mau tanya. Kamu benar-benar sudah cerai sama Vania?]Aku mengernyitkan dahi. Drama apa lagi, ini? Tadi Mama, sekarang Bella. Aku tak yakin harus menjawab apa? Bella hanyalah orang asing, walaupun ia berteman dengan Vania. Bagiku, tak terlalu penting untuk memberitahunya masalah rumah tangga kami.[Kenapa memangnya, Bell?]Kubalas juga pesan itu, walau hanya sekadar saja. Masih belum tahu maksud pembicaraan Bella ini ke mana. Beberapa detik kemudian, tak ada jawaban.[Ya ... soalnya Vania bilang sudah cerai sama kamu. Sekarang sering wira-wiri sama Nathan. Aku gak mau ada masalah lagi. Aku udah sering mengingatkan dia loh, Dan. Kalau ada apa-apa, kamu jangan cari aku!] Pesan balasan darinya masuk.Dadaku berdebar membaca balasan Bella. Jadi, tingkah istriku semakin menjadi? Haruskah aku benar-benar menjatuhkan talak tiga? Padahal aku hanya mengikuti saran Papa untuk sama-sama mendinginkan
Tak terasa sudah dua minggu berlalu, sejak aku terakhir kali bercakap dengan Vania melalui WA. Yang artinya, sudah sebulan lebih status kami menggantung. Aku bukannya tak ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja, sikap Vania benar-benar sudah jauh berubah.Tak jarang, kudapati ia mengunggah foto-foto bersama Nathan di story WA. Harga diriku sebagai laki-laki, benar-benar sudah tercabik. Entah apa lagi yang harus aku perbuat.Sudah satu minggu ini pula, aku mulai bekerja lagi. Dengan proyek baru bersama Pak Wira, aku menjadi semakin bersemangat. Selama itu pula, aku masih menumpang di rumah Kak Fitri.Dengan pekerjaan yang baru ini, otomatis pikiranku cukup teralihkan. Saat siang sibuk bekerja, saat malam cepat tertidur karena kelelahan. Tak ada waktu untuk memikirkan hal yang tidak penting.Aku baru saja menuntaskan menyantap makan siang, saat Pak Wira mendekat. Sosoknya terlihat gagah, untuk seorang yang sudah berumur.“Gimana Mas, seneng gak dengan kerjaan proyek kali ini?” tanyanya d
[Persiapkan diri kamu, akhir pekan ini Abang akan datang bersama Kak Fitri dan Bang Tamrin. Bukan untuk menjemputmu, tapi untuk memberi kado ulang tahun. Abang akan berikan apa yang sudah lama ini kamu inginkan. Perceraian.]Kukirimkan sebuah pesan kepada Vania, wanita yang segera akan menjadi mantan istriku. Aku yakin saat ini perasaannya berbunga-bunga. Dia akan bebas pergi dengan siapa pun yang ia mau tanpa beban. Sedangkan aku, tak terlalu merasakan apa pun lagi. Tak sedih atau pun senang, hanya ada rasa yang entahlah, sulit untuk kujelaskan. Dua hari lagi, statusku sebagai seorang suami akan berubah kembali menjadi lajang.Kubuka folder di ponsel yang berisi kenangan-kenangan bersama Vania. Foto-foto dan video yang menangkap momen bahagia. Dengan mengucap bismillah, perlahan kuhapus semua itu satu persatu. Cincin yang tadi tersemat di jari manis, kulepaskan dan letakkan di atas meja. Selamat tinggal, kenangan. Pernikahan seumur jagungku, sungguh harus direlakan.Tak ada balasan d
Ruang tamu yang kami tempati, tiba-tiba terdengar riuh. Masing-masing kami saling bergumam dan berbicara. Entah suara siapa yang harus didengarkan. Semua tampak kebingungan.“A-apa katamu, Van? Kamu sudah gila? Kamu gak mau cerai dari Dani?!” Suara Mama melengking. Kami semua seketika bungkam. Kak Fitri mendekap Adelia yang tampak sedikit ketakutan. Sementara Vania, hanya terdiam sambil terus menatapku.“Van, apa kamu serius dengan ucapanmu?” tanya Papa. Wajahnya tampak pias, dalam ketidak percayaan.“Vania … gak mau bercerai, dari Bang Dani,” ucap wanita di depanku lirih. Aku meyakinkan diri kalau barusan, tidak salah mendengar ucapannya.“Vania, sadar, Sayang! Kamu apa-apaan, sih? Bukannya ini adalah sesuatu yang sudah lama kita idam-idamkan!” Mama mengguncang tubuh Vania, seolah-olah ingin membangunkannya dari mimpi.“Ma, biarkan Vania berpikir dan berbicara sendiri. Jangan terus mendiktenya!” sergah Papa. Ia terlihat kesal. Mama mendelik tak suka.Vania menunduk. Tangannya mengusa