Aku bersembunyi di balik gorden, tak ingin Vania melihat bayanganku dari balik jendela kaca. Dia berjalan dengan tenang memasuki halaman rumah. Sejenak langkahnya terhenti, saat melihat motorku terparkir di dekat teras. Ah, si*l! Sekarang dia tau kalau aku ada di rumah. Kenapa tadi aku tidak langsung masukkan saja kuda besi itu?Jantungku berdetak lebih kencang, debarannya bertalu-talu seperti genderang yang ditabuh. Entah kenapa, aku menjadi takut untuk bertemu Vania. Seperti ada yang tidak beres dengannya. Sekarang dia sudah berdiri tepat di depan pintu. Aku menahan napas, jangan sampai suaraku terdengar sedikit pun olehnya. Beberapa detik kemudian, suara ketukan mulai terdengar.“Bang, Bang Dani! Buka pintu Bang! Ini Vania!” teriaknya tanpa mengucap salam. Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Suara ketukan di pintu terdengar berulang-ulang tanpa jeda.“Abang, ini Vania, Bang! Vania mau bicara sama Abang!” Suaranya semakin ditinggikan.Kuintip sekilas, Vania mulai merogoh tasnya
“Gak sopan kamu! Kalau Dani ingin bertemu, dia pasti sudah mencarimu. Pulanglah! Jangan bertingkah seperti wanita murahan yang mengejar laki-laki!” tegas Kak Fitri, tangannya sibuk membelai kepala Adelia. Keponakanku itu terlihat gelisah. Mungkin tidak nyaman dengan suasana di sekitarnya.“Akan aku tunggu sampai ketemu Bang Dani!” Vania menghentakkan kaki, kemudian kembali duduk di kursi teras. Astaga, benar-benar urat malunya sudah putus.“Kalau kamu masih bersikeras, akan saya panggilkan Pak RT dan tetangga sekitar untuk mengusir! Kamu sudah mulai meresahkan!” ancam Kak Fitri dengan nada serius.“A-apa? Berani-beraninya!” Vania seketika berdiri. Matanya menatap garang ke arah Kak Fitri, dengan tangan mengepal erat.“Silakan pilih. Pulang sendiri, atau diusir dengan tidak hormat?” Kak Fitri balas menatapnya tajam, intonasi suaranya mematikan.Tampaknya pilihan itu membuat nyali Vania menciut. Ia segera mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja, kemudian segera berlalu.“Ingat bai
(PoV Vania)“Sudah, kamu gak usah sedih gitu. Kalau ditalak Dani, ya sukur. Lagi pula dia sekarang sudah jadi orang kere, kok. Mama malah yang jadi sedih kalau lihat kamu menderita. Masa sehari cuma dikasih uang lima puluh ribu. Kan kelewatan, dia!” ucap Mama yang terus menghiburku setelah Bang Dani mengucapkan talak satu.“Ta-tapi, Ma. Vania masih muda. Masa sudah menjadi janda!” rengekku sambil menahan isakan.“Ya justru itu! Mumpung masih muda, kamu bisa cari ganti yang lebih pantas. Cari yang berduit dan bisa memanjakan kamu! Sayang wajahmu yang cantik itu, kalau tidak digunakan.” Mama menyemangati.Meski demikian, dalam hatiku terbit sedikit rasa sedih. Ya, walaupun Bang Dani sekarang tidak seperti dulu lagi, aku masih punya sedikit rasa cinta untuknya. Kemarahan Bang Dani terjadi karena aku telah khilaf dan tergoda oleh pesona Nathan.Hari itu, aku pergi ke gym setelah ditelepon oleh lelaki berambut pirang dan berwajah tampan itu. Hati rasanya melayang-layang karena ucapannya y
(PoV Vania)Suara musik kencang seketika memenuhi rongga telinga. Bau asap rokok pun terasa menyesakkan. Kalau begini, tidak mungkin Nathan sakit, kan? Kupercepat langkah menuju ruang utama tempat tidurnya.Terdengar suara-suara aneh di sana. Erangan-erangan dari suara parau yang mengundang tanda tanya. Apa yang sedang Nathan lakukan, kenapa suaranya ramai sekali?Aku terpaku, menyaksikan pemandangan di depan mata. Di atas ranjang king size yang sering kali kutiduri, terbaring seorang wanita belia tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Wanita itu diam, tak bergerak sedikit pun dengan mata terpejam.Sepertinya ia tak sadarkan diri. Sementara itu, di sekelilingnya tiga orang pria tanpa busana menjamah tubuh kecil itu tanpa ragu. Kepalaku berputar-putar, perut seketika mual dan pandangan mulai mengabur.Nathan, ada di antara ketiga lelaki bejat yang dengan buas merobek-robek mangsa di atas benda empuk yang luas itu. Salah satunya bahkan memegang kamera sambil tertawa-tawa.Apakah mu
“Lepas, Van. Kita sudah bukan mahram lagi! Melakukan hal seperti ini hanya akan menambah dosa.” Aku berusaha mengurai lengannya yang erat memeluk kedua kakiku. Tangisannya terdengar semakin kencang saja. Bang Tamrin melengos, melihat tingkah mantan istriku itu.“Lepaskan dia, Vania. Dia bukan suamimu lagi!” perintah Papa yang sudah menyusul putrinya. Ah, masih bolehkan ia kusebut Papa?Vania akhirnya mengalah. Direnggangkannya pelukan, kepalanya mendongak melihatku.“Abang benar-benar tak sayang lagi denganku? Abang membuangku?” isaknya. Membuang? Itu bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan apa yang sudah terjadi. Aku menceraikannya dengan baik-baik.“Abang tidak pernah membuangmu, Van. Justru Abang mengembalikanmu kepada Papa dengan baik-baik,” jawabku dengan tenang sembari menjauh sedikit darinya.“Gak! Itu sama saja dengan membuang Vania! Abang jahat!” jeritnya sekuat tenaga. Beberapa orang yang lalu, menoleh penasaran. Aku memperhatikan keadaan sekeliling. Kalau begini terus, b
Sedetik rasanya seperti setahun. Jarum jam terasa berputar amat lambat. Beberapa tenaga medis tampak masih menangani kondisi Vania.“Keluarga Ibu Vania!” panggil seseorang berseragam putih-putih yang keluar dari ruang UGD. Kami semua sontak berdiri.“Saya Papanya!” sahut Papa cepat.“Bapak, kami membutuhkan 3 kantong darah bergolongan AB+ untuk berjaga-jaga. Stok darah kita untuk golongan AB+ sedang kosong untuk saat ini. Ibu Vania terus mengalami pendarahan dari kepala bagian kiri. Kita akan lakukan CT scan dan USG segera untuk mengetahui kondisi bagian dalam.“Ba-baik, Dok! Akan kami sediakan!” jawab Papa terbata-bata dalam kekalutan.Aku dan Bang Tamrin hanya diam tak bisa berkata apa-apa. Golongan darah yang sama dengan Vania hanyalah milik Mama. Mereka segera berlalu mengikuti perawat yang ditunjuk untuk membawa mereka ke ruang PMI. Saat melewati kami, Mama menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku membuang muka, salah tingkah. “Gimana, Dan? Masih mau di sini atau pulang?”
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s
“Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj