(PoV Vania)“Sudah, kamu gak usah sedih gitu. Kalau ditalak Dani, ya sukur. Lagi pula dia sekarang sudah jadi orang kere, kok. Mama malah yang jadi sedih kalau lihat kamu menderita. Masa sehari cuma dikasih uang lima puluh ribu. Kan kelewatan, dia!” ucap Mama yang terus menghiburku setelah Bang Dani mengucapkan talak satu.“Ta-tapi, Ma. Vania masih muda. Masa sudah menjadi janda!” rengekku sambil menahan isakan.“Ya justru itu! Mumpung masih muda, kamu bisa cari ganti yang lebih pantas. Cari yang berduit dan bisa memanjakan kamu! Sayang wajahmu yang cantik itu, kalau tidak digunakan.” Mama menyemangati.Meski demikian, dalam hatiku terbit sedikit rasa sedih. Ya, walaupun Bang Dani sekarang tidak seperti dulu lagi, aku masih punya sedikit rasa cinta untuknya. Kemarahan Bang Dani terjadi karena aku telah khilaf dan tergoda oleh pesona Nathan.Hari itu, aku pergi ke gym setelah ditelepon oleh lelaki berambut pirang dan berwajah tampan itu. Hati rasanya melayang-layang karena ucapannya y
(PoV Vania)Suara musik kencang seketika memenuhi rongga telinga. Bau asap rokok pun terasa menyesakkan. Kalau begini, tidak mungkin Nathan sakit, kan? Kupercepat langkah menuju ruang utama tempat tidurnya.Terdengar suara-suara aneh di sana. Erangan-erangan dari suara parau yang mengundang tanda tanya. Apa yang sedang Nathan lakukan, kenapa suaranya ramai sekali?Aku terpaku, menyaksikan pemandangan di depan mata. Di atas ranjang king size yang sering kali kutiduri, terbaring seorang wanita belia tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Wanita itu diam, tak bergerak sedikit pun dengan mata terpejam.Sepertinya ia tak sadarkan diri. Sementara itu, di sekelilingnya tiga orang pria tanpa busana menjamah tubuh kecil itu tanpa ragu. Kepalaku berputar-putar, perut seketika mual dan pandangan mulai mengabur.Nathan, ada di antara ketiga lelaki bejat yang dengan buas merobek-robek mangsa di atas benda empuk yang luas itu. Salah satunya bahkan memegang kamera sambil tertawa-tawa.Apakah mu
“Lepas, Van. Kita sudah bukan mahram lagi! Melakukan hal seperti ini hanya akan menambah dosa.” Aku berusaha mengurai lengannya yang erat memeluk kedua kakiku. Tangisannya terdengar semakin kencang saja. Bang Tamrin melengos, melihat tingkah mantan istriku itu.“Lepaskan dia, Vania. Dia bukan suamimu lagi!” perintah Papa yang sudah menyusul putrinya. Ah, masih bolehkan ia kusebut Papa?Vania akhirnya mengalah. Direnggangkannya pelukan, kepalanya mendongak melihatku.“Abang benar-benar tak sayang lagi denganku? Abang membuangku?” isaknya. Membuang? Itu bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan apa yang sudah terjadi. Aku menceraikannya dengan baik-baik.“Abang tidak pernah membuangmu, Van. Justru Abang mengembalikanmu kepada Papa dengan baik-baik,” jawabku dengan tenang sembari menjauh sedikit darinya.“Gak! Itu sama saja dengan membuang Vania! Abang jahat!” jeritnya sekuat tenaga. Beberapa orang yang lalu, menoleh penasaran. Aku memperhatikan keadaan sekeliling. Kalau begini terus, b
Sedetik rasanya seperti setahun. Jarum jam terasa berputar amat lambat. Beberapa tenaga medis tampak masih menangani kondisi Vania.“Keluarga Ibu Vania!” panggil seseorang berseragam putih-putih yang keluar dari ruang UGD. Kami semua sontak berdiri.“Saya Papanya!” sahut Papa cepat.“Bapak, kami membutuhkan 3 kantong darah bergolongan AB+ untuk berjaga-jaga. Stok darah kita untuk golongan AB+ sedang kosong untuk saat ini. Ibu Vania terus mengalami pendarahan dari kepala bagian kiri. Kita akan lakukan CT scan dan USG segera untuk mengetahui kondisi bagian dalam.“Ba-baik, Dok! Akan kami sediakan!” jawab Papa terbata-bata dalam kekalutan.Aku dan Bang Tamrin hanya diam tak bisa berkata apa-apa. Golongan darah yang sama dengan Vania hanyalah milik Mama. Mereka segera berlalu mengikuti perawat yang ditunjuk untuk membawa mereka ke ruang PMI. Saat melewati kami, Mama menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Aku membuang muka, salah tingkah. “Gimana, Dan? Masih mau di sini atau pulang?”
Aku bangkit lalu mengusap bibirku yang terasa sedikit basah oleh darah.“Hei, apa-apaan kamu!” hardik Bang Tamrin kepada Bang Roby.“Kamu gak usah ikut campur!” desis Bang Roby sambil menunjuk muka Bang Tamrin. Sungguh tak ada akhlaknya mantan Kakak iparku itu. Kemana saja dia selama ini? Kenapa baru datang sekarang seperti pahlawan kesiangan? Sungguh memuakkan.Tanpa ba bi bu, aku mendekat ke arahnya dan memberikan balasan telak. BUK! BUK! Dua bogem juga mendarat mulus di wajahnya yang pongah itu. Bang Roby tampak kehilangan keseimbangan. Beberapa pasien yang sedang berada di ruangan, menjerit melihat yang baru saja terjadi.“Dan, cukup, Dan! Jangan kamu ladeni! Jangan bikin keributan di sini!” Bang Tamrin memegangiku yang sudah siap untuk melancarkan pukulan lagi. Rugi sekali kalau aku tidak membalas.“Kurang ajar kamu!” raung Bang Roby sambil memegangi pipinya yang membengkak. Aku menyeringai ke arahnya.“Kalau kamu mau nyawa adikmu diselamatkan, jangan coba-coba menyentuhku lagi s
“Tanyakan sendiri pada Vania nanti, ketika dia sudah sadar! Kalau tidak, tanya saja pada Mama kebenarannya. Jangan langsung menyalahkanku. Lagi pula, ke mana saja Abang selama ini?” sindirku.Ia tampak tak terima. Kedua tinjunya mengepal erat, mungkin merasa ingin memukul lagi seperti tadi.“Berdoa saja adikku akan bangun dan sehat seperti sedia kala lagi. Kalau tidak, akan kubuat perhitungan denganmu!” ancamnya. Aku menghembuskan napas kasar. Tak ada guna lagi meladeninya.“Ya, sebaiknya berdoa saja dari pada mengoceh tak karuan!” timpalku asal. Kusenderkan punggung ke dinding rumah sakit yang dingin. Waktu terasa berjalan begitu lamban.Mama dan Papa akhirnya keluar dari ruangan itu. Ekspresi mereka sulit untuk ditebak. Aku benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan di dalam.“Gimana Ma, Pa?” Bang Roby berdiri menghampiri mereka. Kedua orangtua itu duduk sembari menghembuskan napas berat.“Sukurlah Vania tidak pendarahan dalam otak. Darahnya disebabkan oleh retak tengkorak saj
“Dan, Dani!” panggil Kak Fitri setengah berteriak saat tak ada jawaban dariku.“I-iya, Kak! Nanti Dani antar Mbak Tyas pulang!” Aku akhirnya menjawab.“Ya sudah, kamu pastikan dia pulang dengan selamat. Antar dia sampai depan pintu rumahnya. Awas ya, kalau kamu lalai!” titah Kak Fitri dibarengi ancaman. Sepertinya Kak Fitri sayang sekali dengan adik tingkatnya itu.Setelah bertukar salam, aku memutuskan panggilan. Tyas tampak sedang mengunyah pelan biskuit yang tadi kubelikan.“Ehem!” Aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.“Mas Dani, mau?” Ia mengacungkan bungkus biskuit yang berada di genggamannya.“Nggak, kok. Mbak Tyas habiskan saja. Emm, tadi Mbak Tyas ke sini naik apa?” tanyaku sedikit grogi.Ia menyempatkan untuk meneguk air mineral sebelum menjawab. “Tadi naik ojek online. Motor saya lagi dipinjam sama Ibu. Kalau bawa mobil saya belum berani. Kenapa, Mas?” Alis tebalnya bertaut.“Oh … ya sudah, kalau begitu, Mbak Tyas pulangnya bareng saya dan Bang Dani saja, ya!” aja
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”