Perlahan bangkit, kudekati cermin panjang yang menempel di pintu lemari pakaian. Benda besar itu seketika memantulkan bayanganku. Kuamati penampilan dari atas hingga bawah. Tak ada satu senti pun yang terlewatkan.
Wajah yang dulu mulus terawat, sekarang terlihat kusam dan mulai menampakkan bintik-bintik hitam. Ada pula beberapa bekas jerawat yang baru kering di dahi. Kantong mata terlihat semakin jelas. Kuraba sekilas pipiku, terasa kasar sekali.
Belum lagi, lemak di bawah dagu dan lengan yang semakin bertambah. Jangan tanya rambutku seperti apa. Keras dan mengembang setelah sekian lama tak tersentuh creambath. Hanya disisir sekenanya setiap hari, diikat ke belakang, dan dicuci dengan shampo sachet yang kubeli di warung.
Sedih, aku sedih melihat penampilanku yang sekarang. Di usiaku yang masih tergolong muda, aku sudah terlihat seperti berumur empat puluh tahunan.
Daster gembrong dan berwarna sedikit pudar karena terlalu sering dicuci-pakai, melekat di badan. Semakin menyempurnakan penampilanku yang kacau. Ya Tuhan, ke mana perginya Shanum yang dulu selalu cantik, rapi, dan wangi? Dulu, badanku selalu terawat meskipun tidak dengan perawatan mahal. Setiap bagian tubuh, tak ada yang terabaikan.
Setelah menikah, aku terlalu sayang jika harus mengeluarkan uang untuk merawat diri. Apalagi, Mas Ardan sangat pelit dengan uang yang ia berikan. Jatah satu bulan, hanya cukup bahkan sangat pas-pasan untuk makan.
Bagaimana mungkin, aku bisa sekadar menyenangkan diri untuk ke salon seperti dulu? Apakah harus, aku menghabiskan uang tabungan yang dengan susah payah dikumpulkan saat masih gadis dulu?
Aku masih berdiri di depan cermin, saat pintu kamar terkuak. Mas Ardan masuk dengan wajah masam. Dia kelihatan sangat gusar.
“Gak sopan kamu sama tamu!” hardik Mas Ardan tiba-tiba.
“A-apa maksud kamu, Mas?” tanyaku terbata. Terkejut dengan ucapannya yang pedas.
“Tamu datang, tidak disuguhi minuman sama sekali! Jangan jadi tuan rumah pelit!” tuding Mas Ardan sambil menunjuk mukaku. Oh, jadi karena itu.
“Mas tau? Aku sudah akan mengantarkan minuman ke depan, saat mendengar kalian berdua menertawakan penampilanku. Dan kamu, Mas, bukannya membela, malah ikut-ikutan mengolok-olokku!” Kubalas tatapan matanya yang tajam.
Mas Ardan terdiam mendengar apa yang baru saja kukatakan. Ia tampak salah tingkah.
“Oh, begitu? Tapi, yang temanku katakan memang benar, kan? Coba lihat sendiri bagaimana penampilanmu di cermin! Apakah menarik?” ejek Mas Ardan.
“Benar, Mas. Aku baru saja menyadari sesuatu. Semenjak menikah, kecantikanku memudar. Aku menjadi tak terurus. Penampilanku acak-acakan karena hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan menjaga Ibu. Belum lagi, aku punya suami yang pelit setengah mati!” desisku di depan wajahnya.
Biasanya aku akan mengalah dan memilih diam. Menghindari perdebatan, adalah caraku untuk menjaga kewarasan. Namun, hari ini Mas Ardan perlu mendengar apa yang aku pikirkan.
“Pe-pelit? Apa maksud kamu, hah?” Dada Mas Ardan naik turun.
“Berapa nafkah yang Mas berikan untukku? Satu juta setengah? Bahkan sekarang satu juta? Yang hanya cukup untuk mengisi perut! Lantas bagaimana aku akan merawat diri, jika untuk membeli sabun pencuci wajah saja, aku harus menunggu uang sisa! Artinya apa, Mas? Artinya, aku menjadi tak terurus setelah menikah denganmu!” Jari telunjukku berhenti tepat di dada bidangnya.
“Ku-kurang ajar, kamu! Jaga bicaramu, Shanum!” gertak Mas Ardan.
“Kenapa? Mas tidak bisa menerima kenyataan? Coba sekarang Mas bandingkan, bagaimana dulu penampilanku sebelum menikah dan masuk ke neraka ini!” jeritku tertahan.
“Sekali lagi kamu bicara begini, kutampar mulutmu itu!” ancam Mas Ardan dengan mata nyalang.
Tok! Tok! Tok! Kami berdua sontak terdiam, mendengar suara ketukan di pintu.
“Num … Shanum!” Ternyata Ibu yang berdiri di depan pintu. Sudah berapa lama ia berada di sana? Apakah ia mendengar pertengkaran kami barusan? Kuharap tidak. Aku tak ingin Ibu perpikiran macam-macam yang menyebabkan tekanan darahnya naik.
“I-iya, Bu!” Secepat kilat aku berjalan menuju pintu.
“Num, Ibu lapar. Kalian sudah makan?” tanya Ibu, ketika pintu kamarku terbuka.
“Oh … iya, Bu. Shanum sampai lupa kalau kita belum sarapan. Yuk, kita makan, Bu!” ajakku sambil menggandeng tangannya ke dapur. Ibu hanya menurut saja. Kududukkan ia di kursi. Setelah mengisikan nasi dan lauk di piring Ibu, kami kemudian makan bersama tanpa memanggil Mas Ardan. Biarlah, toh jika lapar, ia akan ikut bergabung.
Benar saja, beberapa menit kemudian, Mas Ardan ikut duduk bersama kami. Tak kupedulikan ia. Kubiarkan lelaki itu mengambil sendiri nasi dan lauk. Biasanya, akulah yang menyiapkan semuanya. Hari ini, Mas Ardan harus mulai membiasakan tak dilayani lagi. Sampai sikapnya itu berubah, aku pun takkan mengalah.
Dalam diam kami nikmati makanan. Sesekali, aku menambahkan lauk dan sayur ke piring ibu. Ia makan dengan pelan. Mas Ardan mencuri-curi pandang ke arahku, tapi kuabaikan. Lama kelamaan, ia tampak kesal dan menyelesaikan makan dengan cepat.
“Num …” panggil Ibu, saat aku baru akan membereskan piringnya.
“Ya, Bu?” Kutatap matanya yang mulai redup dimakan usia.
“Kamu … apa sudah isi, Num?” tanya Ibu.
Pertanyaan itu lagi. Aku tak tahu harus menjawab apa kepada Ibu. Wajahnya memancarkan harapan. Aku sudah terlalu sering mengecewakannya dengan satu jawaban.
“Em … be-belum, Bu. Ibu yang sabar, ya. Shanum sama Mas Ardan sedang berusaha kok, Bu,” jawabku ragu-ragu sambil melirik Mas Ardan sekilas. Ia membuang muka.
“Iya … Ibu doakan, kamu cepat isi ya, Num. Ibu sudah tak sabar ingin menimang cucu.” Tangan keriputnya menggenggam lenganku erat. Ya Tuhan, aku sungguh tak tega.
Setelah Ibu berlalu, aku terdiam di depan washbak yang penuh dengan piring kotor. Pikiranku tak mampu lagi dikondisikan. Rasanya aku akan menjadi gila jika terus-terusan begini. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, jika saat melakukan itu Mas Ardan selalu memakai pengaman? Dan juga, menunaikan kewajiban itu sekali-kali saja? Bahkan dapat dihitung dengan jari, selama enam bulan pernikahan kami?
Apakah aku benar-benar begitu tak menarik di mata Mas Ardan, sampai-sampai ia malas untuk menyentuhku? Entahlah, aku tak bisa berpikir jernih. Tanganku mulai bergerak menggosok dan membilas satu persatu peralatan makan yang kotor. Masih terlihat olehku dua cangkir teh yang tadi gagal aku suguhkan untuk Mas Ardan dan temannya. Mataku mulai mengembun.
Cinta. Apakah karena Mas Ardan tak mencintaiku, seperti yang dikatakannya dulu di awal pernikahan kami? Kupikir cinta itu akan tumbuh seiring dengan waktu. Kupikir kebersamaan akan perlahan melembutkan hatinya yang keras dan beku. Namun, nampaknya aku salah. Posisiku di sini hanyalah sebagai pelengkap statusnya saja. Kemudian, tak lebih dari seorang pengurus rumah dan penjaga untuk Ibu.
Prang! Tanpa sadar, tanganku menjatuhkan sebuah gelas ke lantai. Sabun yang licin membuat tanganku silap. Panik, tanpa pikir panjang kusentuh benda tajam itu.
“Awh!” Jariku berdarah, ketika sebuah potongan kaca kecil menempel di sana. Kenapa aku ceroboh sekali? Suara derap langkah pelan terdengar mendekat.
Mas Ardan berdiri di sana, mengenakan baju kaos dan celana jeans.
“Apa-apaan, kamu? Kenapa gelasnya pecah?” tanya Mas Ardan, memandangi puing-puing kaca di lantai. Tak ia pedulikan tanganku yang jelas-jelas berdarah.
“Gak sengaja,” balasku pendek, kemudian berlalu untuk mengambil sapu. Darahku menetes di lantai yang berwarna putih.
“Hmm! Aku pamit, mau keluar. Hari ini janjian sama temen!” pamit Mas Ardan tanpa basa-basi.
Langkahku terhenti. “Mas, hari ini jadwal Ibu untuk kontrol ke praktik Dokter Rifka. Kemarin aku sudah janjian dengannya. Mas antarlah Ibu sekali-kali!” pintaku.
“Akh! Biasanya juga, Ibu pergi denganmu, Kan? Kenapa hari ini aku, yang harus mengantar Ibu?” protesnya tak terima.
“Sekali-kali berilah perhatian ke Ibu, Mas! Meski Ibu hanya diam, ia pasti punya keinginan. Jangankan menyenangkannya dengan mengajak jalan-jalan, bahkan mengantar berobat pun, Mas tidak mau?” Aku sangat kesal dengan tingkahnya itu.
Mas Ardan melengos. “Gak usah mengatur-atur! Kalau kamu gak mau bawa Ibu kontrol, ya sudah! Pokoknya, aku tetap akan pergi main!” Usai berkata begitu, ia dengan entengnya meninggalkanku. Egois!
*
Selepas kepergian Mas Ardan, aku segera membersihkan diri. Guyuran air terasa menenangkan di kulit. Kepalaku langsung terasa ringan. Hawa suntuk yang tadi menyergap, langsung berganti dengan nuansa damai. Ingin rasanya aku berlama-lama berada di bawah guyuran air. Namun, jadwal kontrol ibu jam sebelas nanti, membuatku harus bergegas.
Seusai berganti pakaian, aku segera menemui Ibu di kamarnya. Perlahan kuketuk pintu. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Langsung masuk, kudapati Ibu yang sedang berbaring di ranjang dengan mata terpejam.
“Bu …” panggilku pelan sambil mengusap lengannya. Tak ada tanggapan darinya.
“Bu … bangun, Bu. Kita mau berangkat kontrol,” ucapku sambil mengguncang bahunya.
Perlahan matanya terbuka. Sepertinya Ibu ketiduran saat menungguku tadi.
“Num … ada apa, Num?” tanyanya dengan suara serak.
“Bu, bangun … kita mau kontrol ke tempat Dokter Rifka sebentar lagi,” ajakku.
“Kontrol? Tapi, Ibu ngantuk, Num. Rasanya kepala ibu berat sekali,” jawabnya dengan mata setengah terpejam. Kusentuh dahi ibu, untunglah ia tidak demam.
“Ibu mau tidur? Nanti Shanum pesankan mobil, jadi di jalan bisa tidur,” tawarku.
“Kamu punya uang, bayar ongkosnya, Num? Ibu tahu, Ardan kasih kamu uang sedikit. Ibu gak kontrol, gak apa-apa ....” Perkataan Ibu membuat dadaku terasa nyeri. Ibu, aku menyayangimu seperti ibuku sendiri. Air mataku rasanya sudah di pelupuk mata.
“Ada, kok. Ibu tenang aja. Untuk bayar biaya kontrol, juga ada kok, Bu. Dah yuk, Shanum bantuin ibu ganti baju.” Aku membantunya bangkit dari kasur. Ibu menurut saat aku memakaikan baju dan jilbab yang selalu dikenakannya.
Kami sudah berada di mobil yang akan membawa ke klinik Dokter Rifka. Memiliki riwayat penyakit kolesterol, batu empedu, dan darah tinggi, Ibu harus rutin kontrol untuk memantau kondisinya. Belum lagi tubuh ibu yang ringkih, sangat mudah terserang demam. Mungkin, karena faktor usia juga.
Ibu menyender di pundakku. Matanya terpejam rapat. Sepertinya ia sangat mengantuk. Kubiarkan saja ia beristirahat. Mobil melaju pelan saat melewati barisan pertokoan di jalan Wr. Supratman. Sedikit macet rupanya, entah apa yang terjadi di depan. Merasa bosan, kuedarkan pandangan ke luar jendela.
Mataku menangkap pemandangan mobil Mas Ardan yang terparkir manis di depan sebuah kafe. Kujulurkan kepala, saat samar melihat bayangannya duduk di dalam sana sedang menikmati minuman. Namun, yang membuatku sakit adalah, ternyata ia di sana dengan seorang wanita. Bukankah tadi katanya janjian dengan teman-teman? Apakah wanita itu, teman yang ia maksud? Perlahan kukeluarkan ponsel dari tas, dan segera memotret pemandangan itu sebelum mobil berlalu.
***
“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.*Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku la
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad
Pagi ini Mas Ardan pergi kerja tanpa menyantap sarapan yang aku hidangkan. Menghadap ke dapur pun dia seperti tak sudi. Biarlah, kalau dia lapar pasti akan mencari makan sendiri di luar. Yang penting, aku masih mengerjakan kewajibanku seperti biasanya.Dengan sisa uang yang ditarik dari ATM kemarin, aku masih bisa membeli sayur mayur dan lauk pauk. Sedangkan sisanya, aku siapkan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. Mas Ardan yang pelit itu, benar-benar tak meninggalkan sepeser uang pun untukku dan Ibu.Saat keluar dari pintu rumah tadi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara bantingan pintu yang menjadi penanda bahwa dia sudah pergi.Untungnya, Ibu seperti tak terganggu dengan sikap suamiku itu. Kami sama-sama sudah paham. Jika keinginannya tak dipenuhi, maka pastilah Mas Ardan akan marah, uring-uringan sampai berhari-hari. Seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan saja. Sungguh kekanak-kanakan.“Num … kamu hari ini sudah mulai mau mencari kerja?
Bisa kubayangkan seperti apa rupa Mas Ardan saat ini. Pastilah wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Dadanya turun naik, karena tersulut emosi. Ya Tuhan, rasanya aku hampir tak percaya, kalau ia adalah suamiku.Apakah berdosa, kalau kupanggil ia Si Sumbu Pendek? Biasanya aku selalu diam dan hanya membaca saja saat Mas Ardan menuliskan sesuatu yang menyindirku secara tak langsung. Namun, hari ini aku ingin sedikit bermain-main dengannya.Aku ingin tahu, sampai sejauh mana ia bisa bertahan tanpa menunjukkan amarah. Menit-menit berlalu, aku menjadi tak sabaran. Berulang kali kucek status WAnya, belum ada yang baru.Keluar kamar, aku berlalu ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat Ibu sedang berada di halaman belakang rumah, menyiangi tanaman bunga anggreknya yang sedang mekar. Meski sudah renta, Ibu masih telaten merawat tanaman kesayangnnya itu.Aku berhenti sejenak memperhatikan, lantas kembali lagi ke kamar. Segera, kuraih ponsel yang tadi tergeletak di lantai.[Cuci mata dulu, bersama ya
Dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati, kuangkat panggilan telepon dari Mas Teguh.“Halo, Asalamu’alaikum, Mas,” sapaku.“Wa’alaikumsalam, Num. Apa kabar kalian di sana?” balas Mas Teguh.“Alhamdulillah baik, Mas. Ada apa menelpon, Mas?”Tumben sekali Mas Teguh menelepon. Selama ini, kami sangat jarang berkomunikasi seperti ini. Biasanya Mas Teguh hanya menelepon dan bertanya kabar lewat Mas Ardan saja.“Sudah seminggu ini, Mas coba menelepon Ardan, tapi tidak pernah diangkat. Pesan WA juga tidak pernah dibalas. Mas jadi tidak tahu kabar Ibu. Apa Ibu ada, Num?” ujar Mas Ardan panjang lebar.Aku menghela napas. Memang Mas Ardan itu kadang tingkahnya tak bisa ditebak. Apa susahnya mengangkat telepon?“Ibu alhamdulillah sehat, Mas. Hari Sabtu kemarin baru Shanum ajak kontrol. Mas Teguh, mau ngobrol sama Ibu?” tawarku. Pasti dia khawatir dengan kondisi Ibu sekarang.“Boleh, boleh, Num. Sudah lama Mas tidak dengar suara Ibu,” jawabnya cepat.“Oke, tunggu, Mas.” Aku segera keluar kamar un
Aku terduduk di bibir ranjang. Berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati. Sungguh tak kusangka kalau ternyata Mas Ardan setega itu. Selama ini dia hanya memberikan nafkah yang sangat pas, bahkan kurang untukku dan Ibu. Bahkan, untuk uang kontrol Ibu pun, Mas Ardan terlihat ogah-ogahan memberi tambahan.Bisa dikatakan, kalau selama ini, kami makan dengan uang pemberian Mas Teguh. Sedangkan gaji Mas Ardan, utuh tak tersentuh, entah untuk apa. Aku bahkan tak pernah tahu berapa nominal gajinya itu. Mungkin, telepon Mas Teguh tadi, adalah jalan yang dibukakan oleh Tuhan, agar kebusukan Mas Ardan terbongkar.Dengan langkah gontai aku bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Pikiranku masih bercabang kemana-mana. Sungguh tega kamu, Mas! Bahkan pada ibumu sendiri. Aku tak akan berkata apa-apa pada Mas Ardan. Biarlah dia tahu sendiri suatu saat nanti. Pasti dia akan sadar jika Mas Teguh tak mengirim uang lagi.*Mas Ardan pulang dengan wajah cemberut. Aku baru ingat tentang peperangan di