Share

3. Egois

Perlahan bangkit, kudekati cermin panjang yang menempel di pintu lemari pakaian. Benda besar itu seketika memantulkan bayanganku. Kuamati penampilan dari atas hingga bawah. Tak ada satu senti pun yang terlewatkan.

Wajah yang dulu mulus terawat, sekarang terlihat kusam dan mulai menampakkan bintik-bintik hitam. Ada pula beberapa bekas jerawat yang baru kering di dahi. Kantong mata terlihat semakin jelas. Kuraba sekilas pipiku, terasa kasar sekali.

Belum lagi, lemak di bawah dagu dan lengan yang semakin bertambah. Jangan tanya rambutku seperti apa. Keras dan mengembang setelah sekian lama tak tersentuh creambath. Hanya disisir sekenanya setiap hari, diikat ke belakang, dan dicuci dengan shampo sachet yang kubeli di warung.

Sedih, aku sedih melihat penampilanku yang sekarang. Di usiaku yang masih tergolong muda, aku sudah terlihat seperti berumur empat puluh tahunan.

Daster gembrong dan berwarna sedikit pudar karena terlalu sering dicuci-pakai, melekat di badan. Semakin menyempurnakan penampilanku yang kacau. Ya Tuhan, ke mana perginya Shanum yang dulu selalu cantik, rapi, dan wangi? Dulu, badanku selalu terawat meskipun tidak dengan perawatan mahal. Setiap bagian tubuh, tak ada yang terabaikan.

Setelah menikah, aku terlalu sayang jika harus mengeluarkan uang untuk merawat diri. Apalagi, Mas Ardan sangat pelit dengan uang yang ia berikan. Jatah satu bulan, hanya cukup bahkan sangat pas-pasan untuk makan.

Bagaimana mungkin, aku bisa sekadar menyenangkan diri untuk ke salon seperti dulu? Apakah harus, aku menghabiskan uang tabungan yang dengan susah payah dikumpulkan saat masih gadis dulu?

Aku masih berdiri di depan cermin, saat pintu kamar terkuak. Mas Ardan masuk dengan wajah masam. Dia kelihatan sangat gusar.

“Gak sopan kamu sama tamu!” hardik Mas Ardan tiba-tiba.

“A-apa maksud kamu, Mas?” tanyaku terbata. Terkejut dengan ucapannya yang pedas.

“Tamu datang, tidak disuguhi minuman sama sekali! Jangan jadi tuan rumah pelit!” tuding Mas Ardan sambil menunjuk mukaku. Oh, jadi karena itu.

“Mas tau? Aku sudah akan mengantarkan minuman ke depan, saat mendengar kalian berdua menertawakan penampilanku. Dan kamu, Mas, bukannya membela, malah ikut-ikutan mengolok-olokku!” Kubalas tatapan matanya yang tajam.

Mas Ardan terdiam mendengar apa yang baru saja kukatakan. Ia tampak salah tingkah.

“Oh, begitu? Tapi, yang temanku katakan memang benar, kan? Coba lihat sendiri bagaimana penampilanmu di cermin! Apakah menarik?” ejek Mas Ardan.

“Benar, Mas. Aku baru saja menyadari sesuatu. Semenjak menikah, kecantikanku memudar. Aku menjadi tak terurus. Penampilanku acak-acakan karena hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan menjaga Ibu. Belum lagi, aku punya suami yang pelit setengah mati!” desisku di depan wajahnya.

Biasanya aku akan mengalah dan memilih diam. Menghindari perdebatan, adalah caraku untuk menjaga kewarasan. Namun, hari ini Mas Ardan perlu mendengar apa yang aku pikirkan.

“Pe-pelit? Apa maksud kamu, hah?” Dada Mas Ardan naik turun.

“Berapa nafkah yang Mas berikan untukku? Satu juta setengah? Bahkan sekarang satu juta? Yang hanya cukup untuk mengisi perut! Lantas bagaimana aku akan merawat diri, jika untuk membeli sabun pencuci wajah saja, aku harus menunggu uang sisa! Artinya apa, Mas? Artinya, aku menjadi tak terurus setelah menikah denganmu!” Jari telunjukku berhenti tepat di dada bidangnya.

“Ku-kurang ajar, kamu! Jaga bicaramu, Shanum!” gertak Mas Ardan.

“Kenapa? Mas tidak bisa menerima kenyataan? Coba sekarang Mas bandingkan, bagaimana dulu penampilanku sebelum menikah dan masuk ke neraka ini!” jeritku tertahan.

“Sekali lagi kamu bicara begini, kutampar mulutmu itu!” ancam Mas Ardan dengan mata nyalang.

Tok! Tok! Tok! Kami berdua sontak terdiam, mendengar suara ketukan di pintu.

“Num … Shanum!” Ternyata Ibu yang berdiri di depan pintu. Sudah berapa lama ia berada di sana? Apakah ia mendengar pertengkaran kami barusan? Kuharap tidak. Aku tak ingin Ibu perpikiran macam-macam yang menyebabkan tekanan darahnya naik.

“I-iya, Bu!” Secepat kilat aku berjalan menuju pintu.

“Num, Ibu lapar. Kalian sudah makan?” tanya Ibu, ketika pintu kamarku terbuka.

“Oh … iya, Bu. Shanum sampai lupa kalau kita belum sarapan. Yuk, kita makan, Bu!” ajakku sambil menggandeng tangannya ke dapur. Ibu hanya menurut saja. Kududukkan ia di kursi. Setelah mengisikan nasi dan lauk di piring Ibu, kami kemudian makan bersama tanpa memanggil Mas Ardan. Biarlah, toh jika lapar, ia akan ikut bergabung.

Benar saja, beberapa menit kemudian, Mas Ardan ikut duduk bersama kami. Tak kupedulikan ia. Kubiarkan lelaki itu mengambil sendiri nasi dan lauk. Biasanya, akulah yang menyiapkan semuanya. Hari ini, Mas Ardan harus mulai membiasakan tak dilayani lagi. Sampai sikapnya itu berubah, aku pun takkan mengalah.

Dalam diam kami nikmati makanan. Sesekali, aku menambahkan lauk dan sayur ke piring ibu. Ia makan dengan pelan. Mas Ardan mencuri-curi pandang ke arahku, tapi kuabaikan. Lama kelamaan, ia tampak kesal dan menyelesaikan makan dengan cepat.

“Num …” panggil Ibu, saat aku baru akan membereskan piringnya.

“Ya, Bu?” Kutatap matanya yang mulai redup dimakan usia.

“Kamu  … apa sudah isi, Num?” tanya Ibu.

Pertanyaan itu lagi. Aku tak tahu harus menjawab apa kepada Ibu. Wajahnya memancarkan harapan. Aku sudah terlalu sering mengecewakannya dengan satu jawaban.

“Em … be-belum, Bu. Ibu yang sabar, ya. Shanum sama Mas Ardan sedang berusaha kok, Bu,” jawabku ragu-ragu sambil melirik Mas Ardan sekilas. Ia membuang muka.

“Iya … Ibu doakan, kamu cepat isi ya, Num. Ibu sudah tak sabar ingin menimang cucu.” Tangan keriputnya menggenggam lenganku erat. Ya Tuhan, aku sungguh tak tega.

Setelah Ibu berlalu, aku terdiam di depan washbak yang penuh dengan piring kotor. Pikiranku tak mampu lagi dikondisikan. Rasanya aku akan menjadi gila jika terus-terusan begini. Bagaimana mungkin aku bisa hamil, jika saat melakukan itu Mas Ardan selalu memakai pengaman? Dan juga, menunaikan kewajiban itu sekali-kali saja? Bahkan dapat dihitung dengan jari, selama enam bulan pernikahan kami?

Apakah aku benar-benar begitu tak menarik di mata Mas Ardan, sampai-sampai ia malas untuk menyentuhku? Entahlah, aku tak bisa berpikir jernih. Tanganku mulai bergerak menggosok dan membilas satu persatu peralatan makan yang kotor. Masih terlihat olehku dua cangkir teh yang tadi gagal aku suguhkan untuk Mas Ardan dan temannya. Mataku mulai mengembun.

Cinta. Apakah karena Mas Ardan tak mencintaiku, seperti yang dikatakannya dulu di awal pernikahan kami? Kupikir cinta itu akan tumbuh seiring dengan waktu. Kupikir kebersamaan akan perlahan melembutkan hatinya yang keras dan beku. Namun, nampaknya aku salah. Posisiku di sini hanyalah sebagai pelengkap statusnya saja. Kemudian, tak lebih dari seorang pengurus rumah dan penjaga untuk Ibu.

Prang! Tanpa sadar, tanganku menjatuhkan sebuah gelas ke lantai. Sabun yang licin membuat tanganku silap. Panik, tanpa pikir panjang kusentuh benda tajam itu.

“Awh!” Jariku berdarah, ketika sebuah potongan kaca kecil menempel di sana. Kenapa aku ceroboh sekali? Suara derap langkah pelan terdengar mendekat.

Mas Ardan berdiri di sana, mengenakan baju kaos dan celana jeans.

“Apa-apaan, kamu? Kenapa gelasnya pecah?” tanya Mas Ardan, memandangi puing-puing kaca di lantai. Tak ia pedulikan tanganku yang jelas-jelas berdarah.

“Gak sengaja,” balasku pendek, kemudian berlalu untuk mengambil sapu. Darahku menetes di lantai yang berwarna putih.

“Hmm! Aku pamit, mau keluar. Hari ini janjian sama temen!” pamit Mas Ardan tanpa basa-basi.

Langkahku terhenti. “Mas, hari ini jadwal Ibu untuk kontrol ke praktik Dokter Rifka. Kemarin aku sudah janjian dengannya. Mas antarlah Ibu sekali-kali!” pintaku.

“Akh! Biasanya juga, Ibu pergi denganmu, Kan? Kenapa hari ini aku, yang harus mengantar Ibu?” protesnya tak terima.

“Sekali-kali berilah perhatian ke Ibu, Mas! Meski Ibu hanya diam, ia pasti punya keinginan. Jangankan menyenangkannya dengan mengajak jalan-jalan, bahkan mengantar berobat pun, Mas tidak mau?” Aku sangat kesal dengan tingkahnya itu.

Mas Ardan melengos. “Gak usah mengatur-atur! Kalau kamu gak mau bawa Ibu kontrol, ya sudah! Pokoknya, aku tetap akan pergi main!” Usai berkata begitu, ia dengan entengnya meninggalkanku. Egois!

*

Selepas kepergian Mas Ardan, aku segera membersihkan diri. Guyuran air terasa menenangkan di kulit. Kepalaku langsung terasa ringan. Hawa suntuk yang tadi menyergap, langsung berganti dengan nuansa damai. Ingin rasanya aku berlama-lama berada di bawah guyuran air. Namun, jadwal kontrol ibu jam sebelas nanti, membuatku harus bergegas.

Seusai berganti pakaian, aku segera menemui Ibu di kamarnya. Perlahan kuketuk pintu. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Langsung masuk, kudapati Ibu yang sedang berbaring di ranjang dengan mata terpejam.

“Bu …” panggilku pelan sambil mengusap lengannya. Tak ada tanggapan darinya.

“Bu … bangun, Bu. Kita mau berangkat kontrol,” ucapku sambil mengguncang bahunya.

Perlahan matanya terbuka. Sepertinya Ibu ketiduran saat menungguku tadi.

“Num … ada apa, Num?” tanyanya dengan suara serak.

“Bu, bangun … kita mau kontrol ke tempat Dokter Rifka sebentar lagi,” ajakku.

“Kontrol? Tapi, Ibu ngantuk, Num. Rasanya kepala ibu berat sekali,” jawabnya dengan mata setengah terpejam. Kusentuh dahi ibu, untunglah ia tidak demam.

“Ibu mau tidur? Nanti Shanum pesankan mobil, jadi di jalan bisa tidur,” tawarku.

“Kamu punya uang, bayar ongkosnya, Num? Ibu tahu, Ardan kasih kamu uang sedikit. Ibu gak kontrol, gak apa-apa ....” Perkataan Ibu membuat dadaku terasa nyeri. Ibu, aku menyayangimu seperti ibuku sendiri. Air mataku rasanya sudah di pelupuk mata.

“Ada, kok. Ibu tenang aja. Untuk bayar biaya kontrol, juga ada kok, Bu. Dah yuk, Shanum bantuin ibu ganti baju.” Aku membantunya bangkit dari kasur. Ibu menurut saat aku memakaikan baju dan jilbab yang selalu dikenakannya.

Kami sudah berada di mobil yang akan membawa ke klinik Dokter Rifka. Memiliki riwayat penyakit kolesterol, batu empedu, dan darah tinggi, Ibu harus rutin kontrol untuk memantau kondisinya. Belum lagi tubuh ibu yang ringkih, sangat mudah terserang demam. Mungkin, karena faktor usia juga.

Ibu menyender di pundakku. Matanya terpejam rapat. Sepertinya ia sangat mengantuk. Kubiarkan saja ia beristirahat. Mobil melaju pelan saat melewati barisan pertokoan di jalan Wr. Supratman. Sedikit macet rupanya, entah apa yang terjadi di depan. Merasa bosan, kuedarkan pandangan ke luar jendela.

Mataku menangkap pemandangan mobil Mas Ardan yang terparkir manis di depan sebuah kafe. Kujulurkan kepala, saat samar melihat bayangannya duduk di dalam sana sedang menikmati minuman. Namun, yang membuatku sakit adalah, ternyata ia di sana dengan seorang wanita. Bukankah tadi katanya janjian dengan teman-teman? Apakah wanita itu, teman yang ia maksud? Perlahan kukeluarkan ponsel dari tas, dan segera memotret pemandangan itu sebelum mobil berlalu.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status