Share

4. Takkan Cermburu Lagi

“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.

Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.

“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.

“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.

“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.

Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah taman yang berada tak jauh dari klinik Dokter Rifka. Matanya tak lepas memandangi orang-orang yang sedang bersantai di bawah pohon, sambil bercengkerama dengan keluarga mereka. Aku tahu apa yang Ibu rasakan.

Pastilah di masa tuanya, Ibu juga ingin berkumpul bersama dengan anak dan cucu. Sejak Ayah meninggal, pasti Ibu menjadi sangat kesepian. Aku tahu itu, karena dulu Emak merasakan hal yang sama, sebelum akhirnya menyusul Bapak yang sudah meninggal terlebih dahulu.

Setelah menebus obat, kudekati Ibu perlahan. Senyum kecil tersungging di wajahnya saat melihat seorang batita yang sedang belajar berjalan. Maafkan aku Bu, belum bisa memberikan kebahagiaan itu untukmu. Sebenarnya Ibu sudah memiliki cucu, anak dari Mas Teguh. Namun, jarak yang memisahkan, membuat Ibu tak bisa dengan leluasa menemui cucunya.

“Bu … udah selesai. Ibu mau main ke sana dulu?” tawarku sambil menunjuk taman. Matanya berbinar menatapku.

“Kamu mau Num, ke sana?” tanyanya penuh harap. Siapa yang akan kuasa menolak, saat menatap wajah tua itu.

“Mau kok, Bu. Ayo, kita duduk dulu di sana. Nanti Shanum pesankan kelapa muda untuk dimakan di sana,” ajakku.

Ibu mengangguk, wajahnya sumringah. Dengan langkah perlahan, kami masuki area taman. Setelah mendudukkan Ibu di bangku yang tersedia di bawah pohon rindang, aku segera memesan dua es kelapa muda di salah satu warung yang berjejer di sana.

“Nanti tolong antar ke sana ya, Mbak!” ucapku pada pemilik warung sambil menunjuk tempat Ibu duduk.

“Ya, Mbak. Tunggu, ya!” Aku mengangguk, kemudian kembali ke tempat Ibu.

Tak lama, pesanan kami datang. Ibu sangat senang melihat es kelapa muda asli yang menggugah selera. Apalagi, cuaca sedang terik-teriknya. Sekali-kali kami bercanda dan tertawa. Rasanya senang, bisa membahagiakan Ibu seperti ini.

Ah, andai saja Ibu dan Ayah masih ada di dunia, pasti kebahagiaanku semakin lengkap. Sekarang, yang aku punya hanyalah Ibu dan Mas Ardan. Sebagai anak tunggal, aku tak memiliki saudara kandung. Hanya saudara sepupu saja, anak-anak dari paman—adik kandung ayah.

Setelah puas menikmati suasana taman, aku mengajak Ibu untuk pulang. Mobil yang kupesan lewat aplikasi, terparkir di seberang taman. Hari semakin siang, sebentar lagi waktunya Ibu untuk makan dan minum obat.

*

Turun dari mobil, kudapati Mas Ardan sedang duduk di kursi teras. Padangan matanya terasa menusuk melihatku dan Ibu berjalan beriringan. Belumlah sempat aku mengucapkan salam, suara Mas Ardan sudah terdengar.

“Dari mana saja kalian? Kontrol saja, kok lama sekali?” cecar Mas Ardan ketika kami baru saja sampai di depan pintu rumah. Tangannya terlipat di dada. Ibu kubiarkan masuk terlebih dahulu. Biar aku saja yang menjawab pertanyaan Mas Ardan.

“Jawab, Shanum! Apa kamu sudah tuli?” desak Mas Ardan, tak sabaran.

“Aku mengajak Ibu main ke taman, di dekat klinik Dokter Rifka. Sekalian makan es kelapa muda,” jawabku seadanya. Alih-alih menanyakan kondisi Ibu, ia malah mempermasalahkan hal lain.

“Nah, benar kan, yang aku bilang? Kamu boros! Baru saja kemarin diberi uang, hari ini sudah jajan ini itu! Kalau uang cepat habis, jangan harap aku akan memberi lagi!” sindir Mas Ardan tanpa dosa.

“Boros Mas, katamu? Hanya menyenangkan hati ibu dengan mengajaknya minum es kelapa muda di taman, kamu bilang boros? Haha! Lucu kamu!” Aku sungguh tak habis pikir dengan caranya berpikir.

“Lucu? Bagian yang mana lucu?” Mas Ardan masih saja mengajak berdebat. Padahal, kami sedang berada di teras. Untung saja keadaan sekitar sedang sepi. Jika terdengar oleh tetangga, aku akan malu juga rasanya.

“Lucu … untuk Ibu dan aku saja, kamu sampai perhitungan begini. Sedangkan nongkrong di kafe dengan teman wanitamu, kamu tidak merasa boros? Habis berapa kamu, untuk sekali makan dan minum di sana, Mas?” Alisku terangkat, menatap lurus ke wajah Mas Ardan yang sedikit memerah. Ia pasti sedang memikirkan harus menjawab apa.

“Ka-kamu, tahu dari mana?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Tak usah mengalihkan pembicaraan, Mas! Gak penting aku tahu dari mana! Sudahlah berbohong bertemu teman-teman, sekarang malah menuduhku boros. Coba aku tanya, siapa perempuan yang kamu temui tadi, Mas? Jangan bilang, kalau dia juga calon pembeli!”  Aku berusaha memelankan suara.

“Ah terserah aku, bagaimana dan dengan siapa ingin menghabiskan uang! Lagi pula, kamu tidak berhak untuk bertanya! Atau jangan-jangan, kamu cemburu pada wanita-wanita yang kutemui?” ledek Mas Ardan dengan wajahnya yang pongah.

Aku tersenyum miring. “Kamu catat baik-baik, Mas. Mulai detik ini, aku, Shanum Pradipta, tidak akan merasa CEMBURU dengan apapun yang kamu lakukan di luar sana. Terserah kamu saja, Mas!”

“Mau makan dan minum dengan seribu wanita pun, aku tak peduli! Tapi ingat-ingat saja dengan statusmu sebagai laki-laki yang sudah beristri. Jangan sampai kamu merusak masa depan anak gadis orang. Nah, kalau sudah selesai, sekarang aku mau masuk!” tegasku sambil meninggalkannya yang sedang ternganga.

Pasti Mas Ardan terkejut sekali dengan apa yang aku katakan barusan. Selama ini, aku selalu terang-terangan menunjukkan rasa sedih setiap kali dia habis bertemu atau menunjukkan foto-foto bersama teman wanitanya.

Rasa cemburu pun kerap merajai dalam hati. Namun, semua itu tak berbalas. Mas Ardan tak memiliki rasa yang sama untukku. Maka, kuputuskan dalam hati, jika mulai detik ini, takkan pernah cemburu lagi.

*

“Eh, Mbak Shanum. Belanja sayur juga, Mbak?” ujar Bu Tati berbasa-basi denganku.

Beberapa ibu lainnya juga ikut berkumpul mengelilingi motor mamang sayur yang terparkir tak jauh dari depan rumah.

“Iya, Bu Tati. Masa beli sepatu!” jawabku asal-asalan, yang mengudang tawa dari ibu-ibu lain.

Bu Tati menunjukkan wajah tak senang dengan jawabanku. Bukan tanpa alasan aku berbuat demikian. Namun, semua warga sini tahu kalau Bu Tati adalah orang yang julid dan suka ikut campur urusan orang lain.

“Ehem! Gimana, Mbak Shanum, apa sudah hamil?” tanyanya kemudian, terang-terangan.

Aku terdiam untuk sesaat. Pertanyaan itu lagi. Selama ini aku selalu mengabaikannya. Hanya saja, semakin lama, terasa semakin menyebalkan.

“Belum, Bu Tati. Emangnya, kenapa?” Tanganku tetap sibuk memilah-milah sayuran segar.

“Kok, belum juga, sih? Mbak Shanum udah periksa, belum? Jangan-jangan, ada masalah tuh, sama rahimnya!” Bibir Bu Tati maju mundur saat berbicara. Menyebalkan sekali.

“Ya, masa saya harus kasih tahu sama Bu Tati, kalau sudah periksa atau belum? Lagian, itu urusan pribadi saya. Bu Tati gak usah ikutan pusing mikirinnya!” Tanganku beralih ke tumpukan tempe.

“Jangan marah, Mbak Shanum! Saya ini kan, sebagai orang yang lebih tua, merasa prihatin saja.” Bu Tati beralasan. Padahal aslinya, dia hanya ingin membuatku kesal.

“Hmm, ya. Terima kasih atas perhatiannya, Bu Tati!” jawabku dengan senyum dibuat-buat.

“Yah … coba saja kalau dulu Mas Ardan mau sama anak saya yang namanya Sita. Pasti, Bu Nani sudah bisa menimang cucu sekarang!” tandas Bu Tati tak tahu malu.

Ibu-ibu yang ada di sana saling pandang. “Bu Tati, gak boleh ngomong gitu! Nanti Mbak Shanum tersinggung!” tegur Bu RT. Aku tetap tenang memilih apa yang ingin kubeli.

“Sita? Oh … anak Bu Tati yang baru menikah lima bulan, tapi sudah melahirkan itu, ya? Wah, saya ragu kalau Ibu mertua saya akan mau punya menantu seperti itu! Hehehe!” balasku dengan nada tak berdosa.

Wajah Bu Tati merah padam. Aku tahu ia sedang menahan amarah. Siapa suruh, masih pagi sudah membuatku kesal.

“Ini Mang, duitnya! Saya beli ini aja. Gak betah saya lama-lama di sini!” sungut Bu Tati sambil menyerahkan uang kepada si Mamang sayur.

Sebelum berlalu, ia sempatkan untuk melirik sinis ke arahku. Aku balas dengan senyuman terkembang.

“Buru-buru banget, Bu Tati. Hati-hati di jalan, ya!” ucapku. Ia melengos tanpa menjawab.

“Mbak Shanum, bisa aja ngeladenin Bu Tati. Kalau saya sih, males,” kata Bu Rini, tetangga sebelah Bu Tati.

“Ya, sekali-kali gak apa-apa, Bu. Biar dia gak kebiasaan. Ya sudah, saya duluan ya, ibu-ibu! Nih Mang, duitnya!” Aku kemudian meninggalkan mereka yang masih sibuk memilih-milih.

*

Masuk ke pekarangan, terdengar suara Mas Ardan dan Ibu sedang berbicara. Sedikit samar, karena suara sepertinya berasal dari ruang tengah.

“Terserah Ardan, Bu. Ardan mau kasih uang berapa aja sama Shanum. Udah, Ibu gak usah ikut campur. Ibu gak usah rewel, toh Ibu juga makan dari uang Ardan!”

Aku yang ingin mengucap salam, mengurungkan niat. Apa yang sedang mereka bicarakan? Aku merasa seperti seorang penguping.

“Tapi, Dan … kasihan Shanum. Dia gak bisa kerja karena Ibu. Kamu cobalah perlakukan dia lebih baik lagi. Jangan semena-mena sama dia, Dan.” Suara ibu terdengar sedikit bergetar.

Aku menjadi terharu. Ternyata, Ibu selalu membela di saat aku tak ada. Padahal yang aku tahu, Ibu selalu diam. Saat Mas Ardan terang-terangan menyakitiku dengan ucapan pun, Ibu biasanya selalu diam.

“Ibu, tau apa? Kapan Ardan semena-mena sama dia? Setiap bulan Ardan kasih uang. Dasar dia aja yang boros. Ah, kalian ini! Jadi perempuan cuma bisa merepotkan saja! Menyesal aku sudah setuju menikah sama dia!” sentak Mas Ardan.

“Ardan! Jaga bicara kamu!” Aku terkejut mendengar Ibu berteriak seperti itu.

Dadaku berdebar. Aku takut kalau darah tinggi ibu akan kumat. Dengan menahan amarah dan sakit hati, aku melangkah masuk.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status