“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.
Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.
“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.
“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.
“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.
Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah taman yang berada tak jauh dari klinik Dokter Rifka. Matanya tak lepas memandangi orang-orang yang sedang bersantai di bawah pohon, sambil bercengkerama dengan keluarga mereka. Aku tahu apa yang Ibu rasakan.
Pastilah di masa tuanya, Ibu juga ingin berkumpul bersama dengan anak dan cucu. Sejak Ayah meninggal, pasti Ibu menjadi sangat kesepian. Aku tahu itu, karena dulu Emak merasakan hal yang sama, sebelum akhirnya menyusul Bapak yang sudah meninggal terlebih dahulu.
Setelah menebus obat, kudekati Ibu perlahan. Senyum kecil tersungging di wajahnya saat melihat seorang batita yang sedang belajar berjalan. Maafkan aku Bu, belum bisa memberikan kebahagiaan itu untukmu. Sebenarnya Ibu sudah memiliki cucu, anak dari Mas Teguh. Namun, jarak yang memisahkan, membuat Ibu tak bisa dengan leluasa menemui cucunya.
“Bu … udah selesai. Ibu mau main ke sana dulu?” tawarku sambil menunjuk taman. Matanya berbinar menatapku.
“Kamu mau Num, ke sana?” tanyanya penuh harap. Siapa yang akan kuasa menolak, saat menatap wajah tua itu.
“Mau kok, Bu. Ayo, kita duduk dulu di sana. Nanti Shanum pesankan kelapa muda untuk dimakan di sana,” ajakku.
Ibu mengangguk, wajahnya sumringah. Dengan langkah perlahan, kami masuki area taman. Setelah mendudukkan Ibu di bangku yang tersedia di bawah pohon rindang, aku segera memesan dua es kelapa muda di salah satu warung yang berjejer di sana.
“Nanti tolong antar ke sana ya, Mbak!” ucapku pada pemilik warung sambil menunjuk tempat Ibu duduk.
“Ya, Mbak. Tunggu, ya!” Aku mengangguk, kemudian kembali ke tempat Ibu.
Tak lama, pesanan kami datang. Ibu sangat senang melihat es kelapa muda asli yang menggugah selera. Apalagi, cuaca sedang terik-teriknya. Sekali-kali kami bercanda dan tertawa. Rasanya senang, bisa membahagiakan Ibu seperti ini.
Ah, andai saja Ibu dan Ayah masih ada di dunia, pasti kebahagiaanku semakin lengkap. Sekarang, yang aku punya hanyalah Ibu dan Mas Ardan. Sebagai anak tunggal, aku tak memiliki saudara kandung. Hanya saudara sepupu saja, anak-anak dari paman—adik kandung ayah.
Setelah puas menikmati suasana taman, aku mengajak Ibu untuk pulang. Mobil yang kupesan lewat aplikasi, terparkir di seberang taman. Hari semakin siang, sebentar lagi waktunya Ibu untuk makan dan minum obat.
*
Turun dari mobil, kudapati Mas Ardan sedang duduk di kursi teras. Padangan matanya terasa menusuk melihatku dan Ibu berjalan beriringan. Belumlah sempat aku mengucapkan salam, suara Mas Ardan sudah terdengar.
“Dari mana saja kalian? Kontrol saja, kok lama sekali?” cecar Mas Ardan ketika kami baru saja sampai di depan pintu rumah. Tangannya terlipat di dada. Ibu kubiarkan masuk terlebih dahulu. Biar aku saja yang menjawab pertanyaan Mas Ardan.
“Jawab, Shanum! Apa kamu sudah tuli?” desak Mas Ardan, tak sabaran.
“Aku mengajak Ibu main ke taman, di dekat klinik Dokter Rifka. Sekalian makan es kelapa muda,” jawabku seadanya. Alih-alih menanyakan kondisi Ibu, ia malah mempermasalahkan hal lain.
“Nah, benar kan, yang aku bilang? Kamu boros! Baru saja kemarin diberi uang, hari ini sudah jajan ini itu! Kalau uang cepat habis, jangan harap aku akan memberi lagi!” sindir Mas Ardan tanpa dosa.
“Boros Mas, katamu? Hanya menyenangkan hati ibu dengan mengajaknya minum es kelapa muda di taman, kamu bilang boros? Haha! Lucu kamu!” Aku sungguh tak habis pikir dengan caranya berpikir.
“Lucu? Bagian yang mana lucu?” Mas Ardan masih saja mengajak berdebat. Padahal, kami sedang berada di teras. Untung saja keadaan sekitar sedang sepi. Jika terdengar oleh tetangga, aku akan malu juga rasanya.
“Lucu … untuk Ibu dan aku saja, kamu sampai perhitungan begini. Sedangkan nongkrong di kafe dengan teman wanitamu, kamu tidak merasa boros? Habis berapa kamu, untuk sekali makan dan minum di sana, Mas?” Alisku terangkat, menatap lurus ke wajah Mas Ardan yang sedikit memerah. Ia pasti sedang memikirkan harus menjawab apa.
“Ka-kamu, tahu dari mana?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Tak usah mengalihkan pembicaraan, Mas! Gak penting aku tahu dari mana! Sudahlah berbohong bertemu teman-teman, sekarang malah menuduhku boros. Coba aku tanya, siapa perempuan yang kamu temui tadi, Mas? Jangan bilang, kalau dia juga calon pembeli!” Aku berusaha memelankan suara.
“Ah terserah aku, bagaimana dan dengan siapa ingin menghabiskan uang! Lagi pula, kamu tidak berhak untuk bertanya! Atau jangan-jangan, kamu cemburu pada wanita-wanita yang kutemui?” ledek Mas Ardan dengan wajahnya yang pongah.
Aku tersenyum miring. “Kamu catat baik-baik, Mas. Mulai detik ini, aku, Shanum Pradipta, tidak akan merasa CEMBURU dengan apapun yang kamu lakukan di luar sana. Terserah kamu saja, Mas!”
“Mau makan dan minum dengan seribu wanita pun, aku tak peduli! Tapi ingat-ingat saja dengan statusmu sebagai laki-laki yang sudah beristri. Jangan sampai kamu merusak masa depan anak gadis orang. Nah, kalau sudah selesai, sekarang aku mau masuk!” tegasku sambil meninggalkannya yang sedang ternganga.
Pasti Mas Ardan terkejut sekali dengan apa yang aku katakan barusan. Selama ini, aku selalu terang-terangan menunjukkan rasa sedih setiap kali dia habis bertemu atau menunjukkan foto-foto bersama teman wanitanya.
Rasa cemburu pun kerap merajai dalam hati. Namun, semua itu tak berbalas. Mas Ardan tak memiliki rasa yang sama untukku. Maka, kuputuskan dalam hati, jika mulai detik ini, takkan pernah cemburu lagi.
*
“Eh, Mbak Shanum. Belanja sayur juga, Mbak?” ujar Bu Tati berbasa-basi denganku.
Beberapa ibu lainnya juga ikut berkumpul mengelilingi motor mamang sayur yang terparkir tak jauh dari depan rumah.
“Iya, Bu Tati. Masa beli sepatu!” jawabku asal-asalan, yang mengudang tawa dari ibu-ibu lain.
Bu Tati menunjukkan wajah tak senang dengan jawabanku. Bukan tanpa alasan aku berbuat demikian. Namun, semua warga sini tahu kalau Bu Tati adalah orang yang julid dan suka ikut campur urusan orang lain.
“Ehem! Gimana, Mbak Shanum, apa sudah hamil?” tanyanya kemudian, terang-terangan.
Aku terdiam untuk sesaat. Pertanyaan itu lagi. Selama ini aku selalu mengabaikannya. Hanya saja, semakin lama, terasa semakin menyebalkan.
“Belum, Bu Tati. Emangnya, kenapa?” Tanganku tetap sibuk memilah-milah sayuran segar.
“Kok, belum juga, sih? Mbak Shanum udah periksa, belum? Jangan-jangan, ada masalah tuh, sama rahimnya!” Bibir Bu Tati maju mundur saat berbicara. Menyebalkan sekali.
“Ya, masa saya harus kasih tahu sama Bu Tati, kalau sudah periksa atau belum? Lagian, itu urusan pribadi saya. Bu Tati gak usah ikutan pusing mikirinnya!” Tanganku beralih ke tumpukan tempe.
“Jangan marah, Mbak Shanum! Saya ini kan, sebagai orang yang lebih tua, merasa prihatin saja.” Bu Tati beralasan. Padahal aslinya, dia hanya ingin membuatku kesal.
“Hmm, ya. Terima kasih atas perhatiannya, Bu Tati!” jawabku dengan senyum dibuat-buat.
“Yah … coba saja kalau dulu Mas Ardan mau sama anak saya yang namanya Sita. Pasti, Bu Nani sudah bisa menimang cucu sekarang!” tandas Bu Tati tak tahu malu.
Ibu-ibu yang ada di sana saling pandang. “Bu Tati, gak boleh ngomong gitu! Nanti Mbak Shanum tersinggung!” tegur Bu RT. Aku tetap tenang memilih apa yang ingin kubeli.
“Sita? Oh … anak Bu Tati yang baru menikah lima bulan, tapi sudah melahirkan itu, ya? Wah, saya ragu kalau Ibu mertua saya akan mau punya menantu seperti itu! Hehehe!” balasku dengan nada tak berdosa.
Wajah Bu Tati merah padam. Aku tahu ia sedang menahan amarah. Siapa suruh, masih pagi sudah membuatku kesal.
“Ini Mang, duitnya! Saya beli ini aja. Gak betah saya lama-lama di sini!” sungut Bu Tati sambil menyerahkan uang kepada si Mamang sayur.
Sebelum berlalu, ia sempatkan untuk melirik sinis ke arahku. Aku balas dengan senyuman terkembang.
“Buru-buru banget, Bu Tati. Hati-hati di jalan, ya!” ucapku. Ia melengos tanpa menjawab.
“Mbak Shanum, bisa aja ngeladenin Bu Tati. Kalau saya sih, males,” kata Bu Rini, tetangga sebelah Bu Tati.
“Ya, sekali-kali gak apa-apa, Bu. Biar dia gak kebiasaan. Ya sudah, saya duluan ya, ibu-ibu! Nih Mang, duitnya!” Aku kemudian meninggalkan mereka yang masih sibuk memilih-milih.
*
Masuk ke pekarangan, terdengar suara Mas Ardan dan Ibu sedang berbicara. Sedikit samar, karena suara sepertinya berasal dari ruang tengah.
“Terserah Ardan, Bu. Ardan mau kasih uang berapa aja sama Shanum. Udah, Ibu gak usah ikut campur. Ibu gak usah rewel, toh Ibu juga makan dari uang Ardan!”
Aku yang ingin mengucap salam, mengurungkan niat. Apa yang sedang mereka bicarakan? Aku merasa seperti seorang penguping.
“Tapi, Dan … kasihan Shanum. Dia gak bisa kerja karena Ibu. Kamu cobalah perlakukan dia lebih baik lagi. Jangan semena-mena sama dia, Dan.” Suara ibu terdengar sedikit bergetar.
Aku menjadi terharu. Ternyata, Ibu selalu membela di saat aku tak ada. Padahal yang aku tahu, Ibu selalu diam. Saat Mas Ardan terang-terangan menyakitiku dengan ucapan pun, Ibu biasanya selalu diam.
“Ibu, tau apa? Kapan Ardan semena-mena sama dia? Setiap bulan Ardan kasih uang. Dasar dia aja yang boros. Ah, kalian ini! Jadi perempuan cuma bisa merepotkan saja! Menyesal aku sudah setuju menikah sama dia!” sentak Mas Ardan.
“Ardan! Jaga bicara kamu!” Aku terkejut mendengar Ibu berteriak seperti itu.
Dadaku berdebar. Aku takut kalau darah tinggi ibu akan kumat. Dengan menahan amarah dan sakit hati, aku melangkah masuk.
***
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.*Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku la
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad
Pagi ini Mas Ardan pergi kerja tanpa menyantap sarapan yang aku hidangkan. Menghadap ke dapur pun dia seperti tak sudi. Biarlah, kalau dia lapar pasti akan mencari makan sendiri di luar. Yang penting, aku masih mengerjakan kewajibanku seperti biasanya.Dengan sisa uang yang ditarik dari ATM kemarin, aku masih bisa membeli sayur mayur dan lauk pauk. Sedangkan sisanya, aku siapkan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. Mas Ardan yang pelit itu, benar-benar tak meninggalkan sepeser uang pun untukku dan Ibu.Saat keluar dari pintu rumah tadi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara bantingan pintu yang menjadi penanda bahwa dia sudah pergi.Untungnya, Ibu seperti tak terganggu dengan sikap suamiku itu. Kami sama-sama sudah paham. Jika keinginannya tak dipenuhi, maka pastilah Mas Ardan akan marah, uring-uringan sampai berhari-hari. Seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan saja. Sungguh kekanak-kanakan.“Num … kamu hari ini sudah mulai mau mencari kerja?
Bisa kubayangkan seperti apa rupa Mas Ardan saat ini. Pastilah wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Dadanya turun naik, karena tersulut emosi. Ya Tuhan, rasanya aku hampir tak percaya, kalau ia adalah suamiku.Apakah berdosa, kalau kupanggil ia Si Sumbu Pendek? Biasanya aku selalu diam dan hanya membaca saja saat Mas Ardan menuliskan sesuatu yang menyindirku secara tak langsung. Namun, hari ini aku ingin sedikit bermain-main dengannya.Aku ingin tahu, sampai sejauh mana ia bisa bertahan tanpa menunjukkan amarah. Menit-menit berlalu, aku menjadi tak sabaran. Berulang kali kucek status WAnya, belum ada yang baru.Keluar kamar, aku berlalu ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat Ibu sedang berada di halaman belakang rumah, menyiangi tanaman bunga anggreknya yang sedang mekar. Meski sudah renta, Ibu masih telaten merawat tanaman kesayangnnya itu.Aku berhenti sejenak memperhatikan, lantas kembali lagi ke kamar. Segera, kuraih ponsel yang tadi tergeletak di lantai.[Cuci mata dulu, bersama ya
Dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati, kuangkat panggilan telepon dari Mas Teguh.“Halo, Asalamu’alaikum, Mas,” sapaku.“Wa’alaikumsalam, Num. Apa kabar kalian di sana?” balas Mas Teguh.“Alhamdulillah baik, Mas. Ada apa menelpon, Mas?”Tumben sekali Mas Teguh menelepon. Selama ini, kami sangat jarang berkomunikasi seperti ini. Biasanya Mas Teguh hanya menelepon dan bertanya kabar lewat Mas Ardan saja.“Sudah seminggu ini, Mas coba menelepon Ardan, tapi tidak pernah diangkat. Pesan WA juga tidak pernah dibalas. Mas jadi tidak tahu kabar Ibu. Apa Ibu ada, Num?” ujar Mas Ardan panjang lebar.Aku menghela napas. Memang Mas Ardan itu kadang tingkahnya tak bisa ditebak. Apa susahnya mengangkat telepon?“Ibu alhamdulillah sehat, Mas. Hari Sabtu kemarin baru Shanum ajak kontrol. Mas Teguh, mau ngobrol sama Ibu?” tawarku. Pasti dia khawatir dengan kondisi Ibu sekarang.“Boleh, boleh, Num. Sudah lama Mas tidak dengar suara Ibu,” jawabnya cepat.“Oke, tunggu, Mas.” Aku segera keluar kamar un
Aku terduduk di bibir ranjang. Berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati. Sungguh tak kusangka kalau ternyata Mas Ardan setega itu. Selama ini dia hanya memberikan nafkah yang sangat pas, bahkan kurang untukku dan Ibu. Bahkan, untuk uang kontrol Ibu pun, Mas Ardan terlihat ogah-ogahan memberi tambahan.Bisa dikatakan, kalau selama ini, kami makan dengan uang pemberian Mas Teguh. Sedangkan gaji Mas Ardan, utuh tak tersentuh, entah untuk apa. Aku bahkan tak pernah tahu berapa nominal gajinya itu. Mungkin, telepon Mas Teguh tadi, adalah jalan yang dibukakan oleh Tuhan, agar kebusukan Mas Ardan terbongkar.Dengan langkah gontai aku bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Pikiranku masih bercabang kemana-mana. Sungguh tega kamu, Mas! Bahkan pada ibumu sendiri. Aku tak akan berkata apa-apa pada Mas Ardan. Biarlah dia tahu sendiri suatu saat nanti. Pasti dia akan sadar jika Mas Teguh tak mengirim uang lagi.*Mas Ardan pulang dengan wajah cemberut. Aku baru ingat tentang peperangan di
“Mas …” Kusentuh bahunya pelan. Ia bergeming.“Mas!” panggilku agak keras.“Apa, sih! Mau apa?” bentak Mas Ardan tanpa menoleh ke arahku.“Itu di—““Apa?” potongnya tak sabaran.“Itu … di kakimu … ada kecoa,” ucapku datar.Badan Mas Ardan seketika bangkit dan melihat ke arah kakinya. Tak lama kemudian, jeritannya terdengar memenuhi ruangan.“Aaaaaaargh! Ke-kecoaaaa! Tolong, Num, tolooong!” Tangannya mengibas-ibas makhluk kecil berwarna coklat yang bertengger di celananya. Makhluk itu malah terbang ke badan Mas Ardan.“Aaarghhh! Hiiiiiiiiiiii! Jijik!” racaunya.Aku terbahak-bahak melihat wajah panik Mas Ardan, lalu memutar balik memunggunginya.“Sama kecoa aja takut! Usir aja sendiri! Malu tuh sama badan gede!” sahutku di sela-sela tawa. Ranjang bergoyang-goyang karena Mas Ardan yang terus bergerak.Gedebuk!“Arghhhhh! Si*lannnnnnn!” rutuk Mas Ardan. Rupanya ia sampai terjengkang dari ranjang.Aku masih tekikik geli. Sama istri saja galaknya minta ampun, sama kecoa malah jerit-jeritan.