Share

5. Memanjakan Diri

“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.

Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.

“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.

“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.

“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.

Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.

*

Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku langsung mendapatkan ide. Bergegas, aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Kukenakan baju bagus yang sudah lama tak terpakai. Kupoles juga wajah seperlunya. Tak lupa, kusiapkan tas, dompet, dan kartu ATM.

Kudekati kamar ibu yang sedikit tersingkap. Rupanya Ibu sedang menyulam, hobinya sejak muda.

“Bu …” panggilku pelan.

“Iya, Num? Lho, kamu mau ke mana? Kok rapi begitu?” Dahi Ibu mengernyit dan matanya menyipit.

“Iya, Bu. Shanum mau keluar sebentar kalau boleh. Ibu gak apa-apa, berdua saja sama Mas Ardan di rumah?” tanyaku sambil memegang tangan keriputnya.

Ibu tersenyum lembut. “Iya, tidak apa-apa. Sana, pergilah. Hati-hati di jalan, ya!” pesan Ibu, membuatku terenyuh.

“Ibu, mau dibeliin apa nanti?” tawarku.

“Gak usah, Num. Udah, berangkatlah!” titah Ibu.

Kucium tangannya, lalu mengucapkan salam. Sekarang, aku tinggal menghadapi Mas Ardan saja. Biasanya, dia takkan mengijinkanku pergi. Namun, tekadku sudah bulat. Hari ini, aku harus menyegarkan isi kepala.

“Ma-mau ke mana, kamu?!” tanya Mas Ardan. Ponselnya ia letakkan di meja.

“Aku pamit mau keluar sebentar, Mas. Mas di rumah, jagain Ibu,” jawabku sambil mengambil sandal di rak, lalu mengenakan helm.

“Aku gak izinkan kamu pergi! Nanti aku mau ketemuan sama teman!” cegah Mas Ardan, lalu berdiri.

“Sekali-kali, gantian, Mas! Aku juga takkan lama! Sudah ya, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum!” sahutku sambil buru-buru pergi meninggalkan rumah.

“Hei, tunggu! Shanum! Shanum! Jangan pergi, kamu!” teriakan Mas Ardan masih terdengar, sampai aku berlalu. Kulajukan motor sedikit mengebut agar ia tak bisa mengejar.

Setelah berada di jalan raya, perasaanku mulai terasa sedikit ringan. Kuhirup dalam-dalam udara segar, untuk merasakan kebebasan sesaat ini. Sudah lama aku tidak keluar sendirian. Sejak menikah dengan Mas Ardan, kebebasanku benar-benar dikungkung.

Banyak hal yang dilarang olehnya. Semua itu, membuatku agak tertekan. Apalagi dia tidak pernah mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Mataku mencari-cari mesin ATM di pinggir jalan. Hari ini, aku akan mengambil sedikit uang dan memanjakan diri.

*

Beberapa lembar uang merah sudah ada dalam genggaman. Segera aku amankan ke dalam dompet. Dengan langkah mantap, aku masuk ke sebuah salon yang tidak terlalu besar, tapi tampak sedikit ramai. Paling tidak, jika pengunjungnya banyak, berarti salon ini lumayan bagus. Begitu masuk, aku langsung disambut oleh resepsionis yang tersenyum ramah.

“Selamat siang, Kakak. Mau perawatan apa, hari ini?” sapanya ramah. Aku langsung mendekat.

“Saya mau facial sama creambath, Mbak,” ucapku sambil melihat selebaran yang tersedia di etalase. Harga perawatan di sini, cukup sesuai dengan isi dompet.

“Mau ditambah totok wajah, Kakak? Kebetulan hari ini sedang ada promo empat puluh persen untuk paket perawatan wajah,” tawarnya lagi.

“Oh, ya? Boleh, kalau begitu,” seruku cepat. Lumayan juga kalau mendapat diskon.

“Baik, Kakak. Silakan tunggu. Akan saya atur terapisnya dulu, ya.” Ia mengarahkanku untuk duduk di bangku panjang. Aku mengangguk, lalu duduk di sana.

*

Selesai sudah perawatan selama satu jam setangah. Pijatan pada kepala dan wajah, benar-benar membuatku nyaman dan merasa rileks. Aku merasa hidup lagi. Dengan senyuman terkembang, aku keluar dari salon tadi. Pelayanannya sangat bagus, dan terapisnya juga ramah.

Hanya dengan menambah tarif lima puluh ribu, aku sudah bisa mendapatkan kartu member. Jadi, untuk perawatan selanjutnya, aku akan terus mendapatkan diskon-diskon menarik. Dalam hati aku berjanji, akan datang lagi ke sini jika punya kesempatan.

Belum puas, aku kembali melajukan motor menyusuri jalanan Suprapto yang padat dengan toko-toko yang berjejer. Mataku tertuju pada sebuah toko baju. Kuparkirkan motor di depan, lalu melangkah masuk. Banyak sekali model pakaian yang belum pernah kulihat sebelumnya di sana. Ya ampun, sudah berapa lama aku tidak shopping begini?

Kupilih beberapa lembar blus yang sekiranya pas dan cocok di badan. Kemudian, kuambil juga jilbab untuk Ibu. Aku belum pernah memberinya hadiah lagi, semenjak awal menikah dulu. Rasanya, ingin kubeli semua apa yang menarik di mata. Namun, isi dompet yang menipis, membuatku sadar diri.

Aku baru saja beres membayar di kasir, ketika ponsel di dalam tas berbunyi. Sedikit terganggu, kukeluarkan benda itu. Nama Mas Ardan terpampang jelas, sedang memanggil. Mau apa dia? Dengan rasa enggan, akhirnya kuangkat juga.

“Ha—“

“Cepat pulang, Shanum! Jangan seenaknya saja kamu, ya! Aku mau pergi juga!” bentak Mas Ardan.

Aku bahkan belum sempat mengucapkan satu kata pun. Memang dasar tak punya akhlak manusia satu itu. Tak lagi bersuara, kubiarkan dia mengoceh sendiri.

“Halo! Halo! Kamu dengar, gak? Kamu sudah tuli, hah?” teriaknya.  Aku masih diam.

“Kalau kamu tidak cepat pulang, akan aku tinggalkan Ibu sendirian di rumah!” ancam Mas Ardan.

Tut!

Kupencet tanda merah, lalu ponsel sudah berada di dalam tas lagi. Tanpa membuang waktu, aku segera naik ke atas motor dan melaju dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali ponselku kembali berdering selama aku berada di atas motor. Kuhiraukan saja, sampai suaranya berhenti dan hening.

*

Kutemui  Mas Ardan tengah mondar mandir di teras. Tangannya sibuk memencet-mencet ponsel di tangan. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah menuju pintu.

“Bagus kamu, ya! Sudah berani pergi lama-lama tanpa izin sekarang!” hardiknya tanpa ba bi bu.

Kubuka helm, rambutku yang lembut dan wangi jatuh tergerai. Mas Ardan terdiam, menelisik penampilanku yang sedikit berubah. Tak lama kemudian, ia bersuara lagi. Kali ini matanya menatap kantong belanja yang aku tenteng di kedua tangan.

“Apa lagi itu, ha? Kamu belanja? Ya ampun, boros sekali!” Ia berusaha menjejeri langkahku yang terus saja melangkah masuk.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Sosok ibu tidak terlihat. Sepertinya ia sedang tidur. Dengan santai aku meletakkan barang bawaan di lantai kamar. Blus yang tadi dibeli, aku keluarkan dan tempelkan di badan. Dari cermin, kulihat bayangan Mas Ardan mengamatiku. Dadanya naik turun seperti sedang menahan emosi.

“Benar kan, apa yang aku katakan? Kamu cuma bisa menghabiskan uang saja! Baru sehari yang lalu kuberi uang, sekarang malah belanja yang tidak penting!” geram Mas Ardan dengan suara tinggi.

Aku tak memedulikannya. Kukeluarkan lagi selembar blus dengan lengan tiga perempat dan memiliki kerah menutupi leher. Kelihatan pas di badan. Bahannya juga terasa lembut di kulit. Yang jelas, aku sangat suka dengan modelnya.

“Kamu sengaja cuekin aku, hah? Jawab, Shanum! Jangan kurang ajar! Kalau begini, bulan depan aku tidak akan memberimu uang lagi!” Kali ini ia meraih bahu dan membalikkan badanku agar berhadapan dengannya. Napas Mas Ardan memburu, menerpa wajahku.

“Lepas, Mas!” Kutantang tatapan matanya yang nyalang sambil menepis kedua tangannya.

“Dasar tak tahu diri! Cuma bisa menghabiskan uang saja!” Telunjuknya mengacung ke wajahku.

Aku tertawa melihat tingkahnya. Benar-benar lelaki satu ini. Kubuka lemari, lalu merogoh dalam laci. Setelah mendapatkan apa yang aku cari, kudekati Mas Ardan yang masih terpaku. Dengan cepat tanganku kemudian melemparkan lembaran uang ke wajahnya. Kertas-kertas berwarna merah itu beterbangan, lalu jatuh ke lantai. Mata Mas Ardan melebar, pastinya terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan.

“Ambil uangmu, Mas! Aku tak butuh lagi. Untuk membeli pakaian dan biaya salon, juga memberi makan ibu, aku masih punya uang sendiri. Mulai besok, tak usah pedulikan aku dan Ibu. Urus saja urusannmu sendiri. Silakan, ambil saja uang SATU JUTA untuk satu bulan yang kemarin kamu berikan. Ambil, Mas. Jangan malu-malu!” Aku menyeringai puas.

Mata kami beradu pandang. Mas Ardan tidak berkutik. Kedua tangannya mengepal. Ia pastilah sedang mati-matian menahan emosi yang membuncah. Aku tak akan mundur dan mengalah.

“Oh, dan satu lagi. Besok, aku akan mencari kerja. Jadi, kamu siapkan uang untuk menggaji penjaga untuk Ibu. Kalau tidak begitu, aku tidak bisa cari uang. Bisa-bisa aku dan Ibu mati kelaparan! Soalnyaaaaa, lelaki di rumah ini sangat pelit dan perhitungan!” desisku penuh penekanan.

Kubenturkan bahuku ke bahu Mas Ardan saat melewatinya. Dengan menahan sesak di dada, aku menuju ke kamar Ibu. Jilbab yang tadi aku belikan, masih terbungkus rapi. Semoga saja Ibu suka dengan model dan warnanya. Tak sabaran, aku masuk ke kamar ibu tanpa mengetuk.

Wanita itu terduduk di pinggir ranjang. Matanya basah. Langkahku terhenti di ambang pintu.

“Sha-num …” bisik Ibu tersendat, saat melihatku.

“Bu, Ibu kenapa? Ibu menangis?” Aku duduk di sampingnya, merasa khawatir.

“Eng-enggak, Num. Ibu baru bangun tidur. Tadi, mata ibu perih,” ujarnya dengan suara bergetar.

Aku tentu saja tak percaya. Ya Tuhan, apa tadi Ibu mendengar pertengkaranku dengan Ibu? Semoga saja tidak.

“Bu, ini Shanum punya hadiah untuk Ibu. Coba Ibu buka!” kataku seraya menyodorkan bungkusan plastik padanya.

Tangan keriput itu ragu-ragu meraih. “I-ni apa, Num?” Matanya menatapku penuh tanda tanya.

“Buka saja, Bu!” titahku.

Setelah mengeluarkan dua lembar jilbab itu, mata ibu melebar.

“Num, kamu belanja? Dapat uang dari mana, Num? Pasti mahal ya, Num? Soalnya, ini bagus sekali.” Ibu membelai-belai jilbab itu dengan jemarinya yang kurus.

“Nggak mahal kok, Bu. Asalkan Ibu suka, Shanum senang.”

Tiba-tiba saja, tubuhnya yang ringkih sudah memelukku. “Makasih, Num ... Ibu suka,” bisikknya diserai isakan.

Tak kuasa menahan, air mataku pun tumpah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status