Share

11. Dia pun Marah

Aku terduduk di bibir ranjang. Berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati. Sungguh tak kusangka kalau ternyata Mas Ardan setega itu. Selama ini dia hanya memberikan nafkah yang sangat pas, bahkan kurang untukku dan Ibu. Bahkan, untuk uang kontrol Ibu pun, Mas Ardan terlihat ogah-ogahan memberi tambahan.

Bisa dikatakan, kalau selama ini, kami makan dengan uang pemberian Mas Teguh. Sedangkan gaji Mas Ardan, utuh tak tersentuh, entah untuk apa. Aku bahkan tak pernah tahu berapa nominal gajinya itu. Mungkin, telepon Mas Teguh tadi, adalah jalan yang dibukakan oleh Tuhan, agar kebusukan Mas Ardan terbongkar.

Dengan langkah gontai aku bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Pikiranku masih bercabang kemana-mana. Sungguh tega kamu, Mas! Bahkan pada ibumu sendiri. Aku tak akan berkata apa-apa pada Mas Ardan. Biarlah dia tahu sendiri suatu saat nanti. Pasti dia akan sadar jika Mas Teguh tak mengirim uang lagi.

*

Mas Ardan pulang dengan wajah cemberut. Aku baru ingat tentang peperangan di
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status