"Ternyata memang kau! Apa yang kau lakukan di rumahku?" Ronan menatap Olivia dengan tajam tanpa melepaskan pegangannya.
"K_kau?!" Olivia terbata.
"Ada apa ini?" Disusul kemudian suara Laura yang menghampiri mereka. "Ronan? Kenapa kau mencekal tangan Olivia."
"Ibu mengenalnya?" Mata Ronan menyipit.
Ibu? Mata Olivia menatap Laura dan Ronan secara bergantian. Berusaha bertanya, namun tak kuasa mengeluarkan suara.
"Olivia, ini putraku. Ronan. Dan itu...." Wanita yang tampak anggun itu melihat ke arah Silvia meski dengan tatapan yang entah. "Dia Silvia. Adiknya Ronan."
Alih-alih mengucapkan sebagai putrinya, Laura lebih memilih menyebutnya adik dari putranya. Wanita itu seperti tak memiliki perasaan pada Silvia.
Olivia tercengang. Masih berusaha mencerna tiap keterangan dari wanita paruh baya itu. Tangannya melemah. Entah ikut merasa senang, karena saudara yang telah bersamanya sejak kanak-kanak itu akhirnya bertemu dengan kelu
Para tamu mulai berkumpul agar bisa melihat gadis yang ingin diperkenalkan pada mereka. Martin, pria yang duduk di kursi roda memperkenalkan putri kandungnya yang selama ini dia cari. Pria yang baru saja genap berusia enam puluh tahun itu begitu bahagia.Gadis muda yang berdiri angkuh di sampingnya adalah anak dari wanita lain yang diam-diam dia nikahi tanpa sepengetahuan Laura, dua puluh satu tahun silam.Karena tak mampu membantah perintah orang tuanya, Martin tak berani mengakui anak yang dikandung istri mudanya. Akhirnya dia meninggalkan wanita malang itu tanpa perasaan.Setelah bertahun-tahun berlalu, rasa bersalah mulai menghantui Martin. Apa lagi kondisi Martin dan Laura yang tak kunjung memiliki anak. Rasa rindu akan wanita dan darah dagingnya semakin memuncak kala dia mengalami stroke dan tak dapat bergerak lagi lima tahun yang lalu.Hingga dia mengerahkan semua orang untuk mencari keberadaan istri dan anak yang telah dia telantarkan. Laura yang
Silvia tampak gelagapan. Ada apa dengan benda yang dia anggap tak berharga itu. Dia tahu cincin itu sudah bersama Olivia sejak masih kanak-kanak. Itu tak mungkin barang curian. Namun jika dia mengaku bahwa itu bukan miliknya, dialah yang akan dituduh sebagai pencuri. Dan reputasinya akan semakin buruk di hadapan orang-orang itu."I__itu... milikku.""Milikmu? Bagaimana bisa kau memilikinya?" Lagi-lagi Martin penasaran."Ibuku yang memberikannya." Silvia mengingat ucapan yang selalu dikatakan Olivia."Ibumu?" Getaran suara Martin tak bisa dielakkan lagi. Silvia semakin ketakutan dengan jawaban asalnya."Di mana wanita itu? Maksudku... ibumu."Pikiran Silvia tak menentu. Kebohongan yang satu membuatnya harus menutupinya dengan kebohongan yang lain lagi."A__aku tidak tahu. Dia meninggalkanku begitu saja di panti asuhan. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati." Kalimat-kali
Sekali lagi Olivia harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kalungnya kembali. Dan lagi-lagi semua karena Ronan yang menghalangi. Kini dia harus kembali berurusan dengan pria itu jika ingin bertemu dengan Silvia. Sungguh seorang kakak yang benar-benar ingin melindungi adik perempuannya.Ditambah lagi dengan pengakuan silvia tentang kalung itu yang sudah tak ada lagi padanya. Membuat Olivia semakin frustasi.Semangat hidup Olivia kembali melemah. Sejak kejadian di ruang kerja Ronan satu bulan yang lalu, hati Olivia seakan mati. Tak ada apa pun yang membuatnya merasa bahagia saat ini.Hanya satu hal yang membuat Olivia masih bisa bernapas lega. Setidaknya kejadian malam itu tak membuatnya sampai hamil. Beberapa hari setelah kejadian, Olivia datang bulan. Dan ketakutannya akan jejak yang ditinggalkan Ronan perlahan memudar. *Malam sudah larut. Restoran baru saja tutup. Olivia keluar belakangan. Mendadak Silvia muncul dan langsung menarik
Hati Olivia merasa lega. Akhirnya masalahnya telah selesai. Kini dia merasa senang telah mendapatkan kembali benda kesayangannya. Gadis itu sudah bisa tidur nyenyak malam ini. Merasa ibunya yang entah berada di mana sedang memeluknya dari kejauhan, melalui kalung itu.Setelah semua ini, dia tak punya alasan lagi untuk bertemu Silvia. Juga anggota keluarganya yang lain. Laura tak akan mungkin punya waktu untuk mencarinya kembali.Di tengah kerumunan pesta, Laura tak akan menyadari bahwa gadis itu telah menghilang.Olivia sadar, dia tidak sepenting itu.*Ronan dapat menyaksikan dengan jelas pertemuan kedua gadis itu dari kursi belakang mobil. Dia telah menunggu Olivia sejak sebelum restoran khas makanan barat itu tutup. Namun belum sempat dia menghampiri, Silvia telah lebih dahulu menariknya. Dan dia hanya meminta Kim untuk memindahkan mobilnya agar bisa melihat apa yang dilakukan kedua gadis itu."Anda ingin aku membawanya ke sin
Mata Olivia membesar mendengar ucapan Ronan. Gadis itu berpikir, apakah dirinya mengalami masalah dengan pendengarannya. Tapi saat ini dirinya sedang berada di samping pria itu dengan jarak tak sampai setengah meter. Kalimat Ronan jelas, dan Olivia tidak salah dengar."Aku pikir anda sedang mabuk. Turunkan aku sekarang!" Olivia masih bersikap angkuh."Aku belum selesai!" Ronan tak mau mengalah."Tapi aku sudah!""Bagus! Berikan pengenalmu. Aku akan mengurus akte pernikahan." "Kau salah orang, Pak! Aku sama sekali tidak tertarik pada pria sepertimu." Ronan langsung menatap tajam gadis di sampingnya. "Munafik!" Ronan menggeram. "Kau pikir setelah berlagak jual mahal, aku akan mengemis dan memohon padamu?""Kalau begitu jangan lakukan.""Kim!""Ya, Pak.""Ke kantor polisi!"Olivia tersentak. Ronan serius dengan ucapannya. Sopir berwajah oriental itu langsung berbelok, dan Olivia pernah menuju jalan itu."Apa yang kau lakukan?" Olivia setengah berteriak."Kau sudah dengar tadi!""Henti
Silvia tampak berdansa dengan dirinya sendiri. Tentu saja sambil menempelkan gaun-gaun baru ke tubuhnya secara bergantian. Dia tersenyum puas di depan cermin. Mengamati dirinya yang kini benar-benar menjadi seorang putri bangsawan.Silvia merasa hidupnya kini begitu sempurna. Tak seorang pun yang tahu bahwa dia hanya bersandiwara. Olivia tak akan muncul lagi di hadapannya. Bahkan Olivia sendiri tak menyadari bahwa Silvia telah mencuri kehidupannya."Nona Silvia. Nyonya Laura sedang menunggu anda." Suara seorang pelayan terdengar dari balik pintu."Baiklah. Lima menit." Silvia mulai gugup dan mengambil salah satu pakaian yang sudah berserakan di atas ranjang.Laura menatap Silvia dengan dingin saat gadis itu muncul di ruang tamu. Namun dengan muka tembok, Silvia berusaha tersenyum untuk mengambil hati wanita itu. Bagaimana pun, wanita itu adalah ibunya Ronan. Dan dia membutuhkannya untuk menaklukkan pria tampan itu.Namun Silvia telah terjebak dengan permainannya sendiri. Gadis itu lel
David menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Dia tampak terkejut melihat Silvia berada di hadapannya dengan senyum angkuh."Apa yang kau lakukan di sini? Kau mencariku?" David tampak tak senang dengan kehadiran wanita yang telah menghancurkan hubungannya dengan Olivia."Mencarimu?" Silvia tertawa mengejek. "Kurasa ini takdir hanya agar kau tahu siapa aku. Dan kau akan menyesal karena telah memperlakukan aku seperti sampah!" Silvia tak dapat menyembunyikan amarahnya pada David."Kalau begitu jangan menghalangi jalanku!" David tampak tak peduli pada kehadirannya. Lalu berjalan tanpa menatap Silvia berlama-lama."BERHENTI KAU, DAVID!" Silvia berteriak nyaring hingga menarik perhatian semua orang."Beraninya kau mengabaikanku. Apa kau belum tahu siapa aku, hah?! Apa orang-orang di sini belum semua mengenalku?!" Silvia bersikap semakin arogan. David terpaksa mengentikan langkahnya.'Kampungan.' Laura membatin melihat gadis yang dia bawa. Gadis itu tidak sedikit pun mencerminkan sikap se
Olivia turun dari mobil Ronan saat kendaraan itu telah sampai ke rumah. Gadis itu berlalu begitu saja dengan sikap tidak pedulinya. Bahkan dia enggan mengucapkan terima kasih pada kedua pria yang telah menjemput dan mengantarnya hingga sampai ke kamar sewa."Kau sudah pulang." Heru yang sedang duduk di teras menyambutnya dengan senyum ramah."Ya, Heru. Shif kita sepertinya selalu sama." Olivia menjawab tak kalah ramah."Mobil tadi...." Heru melihat Olivia turun dari mobil mewah. Tentu saja pemuda baik hati itu bertanya karena penasaran.Sudah dua kali dia melihat tetangganya itu pulang diantar dengan mobil selama tinggal di dekatnya. Yang pertama bersama Laura, dan kini bersama putranya.Mulutnya tak bisa menahan untuk tak bertanya."Hem, ya. Itu hanya seorang kenalan. Kebetulan searah, dan dia memberiku tumpangan." Olivia tak mungkin memberi jawaban yang sebenarnya.Gadis itu juga tidak ingin mengabaikan keingintahuan pemuda yang telah banyak membantunya."Oh, begitu." Heru masih men