Olivia sebenarnya juga penasaran. Ronan sama sekali tak memberi petunjuk apa pun tentang keinginannya yang tiba-tiba. Dia tetap memaksa, meski harus menggunakan berbagai ancaman.Olivia berpikir, tidak mungkin Ronan tiba-tiba merasa bersalah dan ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terlebih lagi, Olivia tidak dalam keadaan hamil."Itu tidak mungkin, Oliv! Pria itu bukan tipe orang yang bisa sembarangan berbicara dengan orang lain. Kali ini, saja, Oliv. Tolong turuti ucapanku. Ambil kartu ini, di dalamnya ada uang yang bisa menghidupimu selama lebih dari tiga tahun. Jika sudah habis, kau bisa menghubungiku dan memintanya lagi." Silvia mengeluarkan sebuah kartu.Olivia menyeringai. Setakut itu rupanya Silvia dengan kehadirannya. Namun Olivia tak mau peduli. Dia hanya butuh Ronan tak lagi mengganggu hidupnya di kemudian hari."Sudah malam, Silvia. Aku harus pulang!" Olivia menjauh dari Silvia."Aku akan mengantarmu. Di mana kau tinggal sekarang?""Tidak perlu! Aku akan naik taksi."
Olivia tersentak saat mendengar suara ketukan dari luar. Harusnya dia bisa bangun lebih siang karena ini adalah hari liburnya. Dengan malas dia bangkit dan berjalan menuju pintu begitu saja.Masih dengan pandangan yang samar dan mata menyipit, gadis itu melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka."Kau lagi!" Olivia mengusap matanya sambil menguap. Sebelumnya Olivia telah terbiasa hidup lama bersama Silvia, oleh sebab itu dia tak merasa sungkan lagi saat melakukan hal yang tidak sopan seperti yang barusan dia lakukan."Apa kedatangan kami mengganggumu?" Olivia kembali tersentak mendengar suara lain di samping Silvia. Olivia lalu membuka seluruh pintu untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi mendengarnya."B_Bu, Laura?" Olivia tergagap dan langsung merapikan rambutnya yang masih acak-acakan.Laura melirik Olivia dari atas hingga ke bawah. Pandangannya seperti sedang menguliti gadis yang akan dinikahi oleh putra kesayangann
"Jika ucapanmu sama sekali tidak terbukti, jangan harap aku akan mempercayaimu lagi, Silvia!" Laura masih tetap bersikap dingin.Meski tujuannya sama untuk membatalkan pernikahan putranya dengan Olivia, tetap saja dia tidak bisa menjalin kerja sama dan berhubungan baik dengan anak tirinya itu. Dia hanya mencari celah dari informasi yang diberikan oleh Silvia.*"Anda menemukan sesuatu, atau... seseorang, Nona Armaya?" Olivia mencibir. Lalu tersenyum tipis pada Silvia yang berdiri angkuh di samping Laura.Armaya tidak menjawab. Lantas keluar dari kamar dan menghadap pada majikannya. Wanita dengan setelan jas dan celana panjang bahan itu menggeleng, sebagai kode bahwa dia tak menemukan siapa pun di kamar itu.Silvia tampak melotot. Dia seperti sedang dipermalukan karena mengarang cerita. Dia tampak marah melihat senyum tipis di bibir Olivia."Di mana kau sembunyikan David, Oliv?" Dia langsung histeris karena merasa terpojok."David?" Mata Olivia menyipit memandangnya. Masih dengan senyu
Olivia menatap wajah yang ada di hadapannya satu persatu. Temasuk Laura yang masih berekspresi dingin menatapnya. Olivia mengerti, meski tak bersikap kasar, Laura sudah terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka pada hubungannya dengan Ronan.Bahkan pagi-pagi seperti ini dia rela datang demi membuktikan bahwa ucapan Silvia memang benar. Sebijaksana apa pun Laura, pikirannya masih termakan oleh berita hoaks dari anak tirinya itu."Oliv?" David masih menuntut jawaban dari gadis di hadapannya. Sorot matanya redup melihat pujaan hatinya bediri nyaman dalam pelukan seorang pria.Olivia masih terdiam. Enggan menjawab pertanyaan David yang sama sekali tidak perlu tahu urusannya. "Apa kau tidak bisa mendengar dengan jelas?" Ronan mewakili Olivia untuk menjawab. Suranya datar menatap pemuda itu. David menyipit memandang pria yang merangkul gadisnya. Seolah-olah pernah melihatnya di suatu tempat."Kita pernah bertemu?" tanya David, penasaran.Ronan tertawa sumbang."Kau pria yang membawa Sil
"Hari ini Olivia sedang libur. Aku akan mengajaknya mencoba gaun pengantin. Ibu akan menemani kami?" Bujuk Ronan."Setelah ketahuan, kau baru melibatkan ibu?" Laura sedikit merajuk. Ronan tersenyum. "Selera ibu sangat bagus. Ibu bisa membantu Olivia memilihkan gaunnya." Ronan mengedipkan sebelah mata untuk menggoda Laura.Olivia menelan ludah. Dia tak habis pikir, kapan pria yang berstatus sebagai tunangannya itu meminta izin mengajaknya memilih gaun pengantin. Atau mungkin itu hanya alasannya saja agar ibunya tidak marah. Olivia merasa kalau dia akan kehilangan waktu tidurnya."Ibu ada pertemuan pagi ini. Antarkan saja dia ke toko. Kita akan bertemu di sana." Laura mengalah. Menuruti keinginan buah hatinya.Ronan tersenyum senang. Dia tahu ibunya akan luluh saat putranya menginginkan sesuatu.Namun berbeda dengan Silvia. Gadis itu kembali iri melihat wanita yang harusnya tadi marah-marah, kini malah mendukung Olivia. Mereka bahkan akan pergi bersama layaknya ibu dan anak sungguhan.
Kim menelan ludah. Dia tahu majikannya benci diatur oleh orang lain. Apalagi berkaitan dengan kesenangannya saat menyiksa seseorang. Kim benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan majikannya pada mantan kekasih calon istrinya itu.Ronan memandang Olivia dengan tajam. Ada sesuatu yang membuat sudut hatinya terluka. Gadis yang sedang dia bela malah berpihak pada pemuda yang telah menyakitinya."Kau ingin aku melepaskannya?" Mata Ronan menyipit memandang gadis di hadapannya."Apa yang sudah dia lakukan terhadap anda? Kenapa harus memotong lidahnya?" Olivia sedikit ketakutan. "Kenapa? Apa lidah itu pernah bermain-main dalam mulutmu, hingga kau takut kehilangan? Kau merindukannya?" Olivia hampir tersedak mendengarnya. Nada bicara Ronan terkesan tak biasa. Olivia bahkan tak pernah berpikir jauh sampai ke sana. Dan tentu saja hal itu sangat erotis jika harus dibicarakan dalam suasana seperti ini."Milikku bisa menggantikannya untukmu!" Ronan menarik tubuh Olivia agar merap
Sebelum berangkat ke toko, Kim membelokkan mobil ke restoran yang menyediakan sarapan pagi. Sesuai dengan instruksi majikannya sebelum sampai di kediaman Olivia tadi."Anda yakin toko gaun pengantin sudah buka jam segini, Pak?" tanya Kim saat baru beranjak dari kediaman Ronan."Sebelum menentukan gaun mana yang dia pakai, aku harus pastikan si pembuat onar itu makan pagi dengan benar. Atau dia hanya akan membuat malu saja nanti dengan tingkahnya!" Ronan menjawab tenang.Kim tersenyum tipis. Pikirannya mulai bermain-main sendiri. Sepertinya majikannya ingin membiasakan diri makan bersama calon istrinya. Atau mungkin juga sudah merasa tidak sabar untuk bertemu wanitanya. Bisa saja pria dengan gengsi yang besar itu tidak tidur semalaman dan ingin segera bertemu, hingga pagi-pagi seperti itu harus mencari alasan agar bisa bertemu dengan Olivia."Hentikan pikiran kotormu itu, Kim! Atau kubelah dua kepalamu dan memberikan isinya pada gadis itu. Kalian terlihat mirip akhir-akhir ini!" Kim m
Mobil kembali melaju ke jalanan. Suasana menjadi hening di dalam mobil. Ronan menyandarkan diri pada sandaran kursi penumpang melirik gadisnya yang menatap ke arah jendela.Ronan teringat saat ibu dan ayahnya memintanya datang untuk makan malam di rumah besar mereka. Saat itu Silvia baru beberapa hari diterima oleh keluarga itu. Ayahnya ingin Ronan juga bisa akrab dan menjadi kakak laki-laki yang baik terhadap adiknya."Kau suka makanannya, Sayang?" Martin yang biasanya tegas dan arogan, terlihat sangat lembut pada putrinya.Laura dan Ronan saling melirik, risih melihat pria tua itu terlalu berlebihan dalam memperlakukan anak kandungnya."Makanannya enak, Ayah. Aku bisa memakan semuanya tanpa harus takut memikirkan, apakah besok aku masih bisa makan atau tidak." Silvia mulai berakting sedih."Tahukah Ayah, aku bahkan tak pernah sarapan pagi selama ini. Aku selalu menghemat uangku agar bisa bertahan hidup. Jika sedang tidak bekerja, aku akan bangun tidur lebih lama agar tidak terasa la