"Hai Chef Radit, lama tidak bertemu! Dimana Chef Artur?"
Tak hanya Chef Raditya, Teresia juga ikut menoleh ke asal suara yang memanggil Chef Radit dari arah belakangnya.
Pria tinggi yang berpenampilan santai dengan kaos oblong dan celana pendek nya itu berjalan dan duduk di kursi sebelah Teresia dengan kedua pandang yang masih menatap pada Chef Radit.
"Tuan Revo, lama tidak bertemu! Saat ini Artur sedang berbelanja Tuan"
Pria itu yang bernama Revo!
Teresia mengamati sosok Revo yang masih berbicara dengan Chef Radit, menduga-duga jika laki-laki di sampingnya juga ikut memiliki kesimpangan yang sama seperti Kakaknya itu.
Merasa diperhatikan, Revo melirik ke sampingnya dan kedua matannya membulat sempurna melihat sosok Teresia yang kedapatan tengah menatapnya dengan lekat seolah menilainya.
"Lo gay juga?" tanpa dicegah, pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir Teresia untuk Revo yang menganga akan ucapan Teresia.
Chef Raditya yang sudah tau bagaimana sosok Teresia berbicara pun hanya bisa tersenyum geli akan tingkah polosnya.
Revo mendengus geli dan terkekeh pelan "aku normal! Boleh aku tanya kenapa kamu bisa ada di sini? Aku memeriksa rumah kontrakanmu dan kamu tidak pernah lagi kelihatan juga di club tempat kamu bekerja kamu juga sudah tidak ada di sana-"
Ucapan Revo terpotong saat Teresia bangkit dari posisi duduknya dan menatap kaget pada sosok Revo.
Bagaimana tidak kaget, jika Teresia merasa tak mengenal Revo namun pria itu seolah sudah mengenalnya dengan mengatakan tak pernah melihat dia lagi di tempat kerjanya serta di rumah kontrakannya.
"Lo siapa?! Kenapa lo tau itu semua?!" Teresia menunjuk wajah Revo dengan telunjuknya.
Revo menatap Teresia sejenak sebelum ia beri senyum geli. "Duduk di sini, aku sudah tau kamu siapa, Teresia"
Teresia menggeleng pelan, mungkin tak aneh bagi pria di depannya ini mengetahui namanya jika dia sudah tau bahwa Teresia adalah calon istri Kakaknya. Namun yang jelas membuat Teresia kaget adalah pria di depannya ini tau dimana tempatnya bekerja dan tempatnya tinggal.
Jelas Revo sudah mengamati sejak lama tentang dirinya.
"Akan aku jelaskan semuanya, setelah kamu duduk di sini dan tenang" ucap Revo dengan senyum manisnya nampak berbeda dengan Kakaknya yang hanya bisa memberikan raut datar dan galak pada Teresia.
Teresia kembali duduk di samping Revo dengan memberi jarak karena merasa ia sedikit terancam akan sosok Revo.
"Aku suka padamu sejak pertama kali melihatmu bekerja di club itu!" mulai Revo tanpa basa-basi menjelaskan alasan pertama bagaimana dia bisa mengenal Teresia.
"Kenapa-"
"Aku mau mendekatimu, tapi melihatmu yang selalu marah-marah dan merasa kesal jika ada pria asing di dekatmu membuatku mengurungkan niatku" Revo mencegah Teresia yang ingin memotong kalimatnya.
"Sejak itu aku selalu mencari tau tentangmu bahkan mengikutimu pulang untuk tau di mana rumahmu berada-"
"Ahhh jadi lo penguntit itu?!" Teresia kembali bangkit dari posisi duduknya dan memelototkan kedua matanya pada Revo yang tak merasa bersalah dan justru terkekeh geli merasa malu sudah ketahuan oleh Teresia yang biasa ia buntuti.
"Maaf buat kamu tidak nyaman, tapi aku tidak pernah punya niat jahat-"
"Dengan lo ikutin gue aja itu udah termasuk kejahatan! Lo gak tau gue selalu takut pulang malem karena merasa ada yang selalu ikutin gue?!" dan masalah lain hadir di kepala Teresia mengenai dirinya yang pernah melukai Arga dan menuduhnya sebagai penguntit.
Haruskah Teresia meminta maaf padanya? Karena Teresia merasa bersalah pada pria itu.
"Aku minta maaf sekali lagi" Revo terlihat benar-benar merasa bersalah, dan Teresia hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Perasaan bersalahnya pada Arga membuatnya tak tenang.
"Sekarang kamu di rumah ini apa kamu sedang mencari pekerjaan baru lagi?" tanya Revo yang merasa penasaran dengan sosok Teresia di rumah Ayahnya. Padahal niatnya datang kesini karena Revo penasaran dengan gadis malang yang sebentar lagi akan bersanding dengan Kakaknya tersebut.
"Lo salah! Gue di sini sebagai calon istri Kakak lo! Yang artinya lo akan jadi adik ipar gue" bangga Teresia memamerkan senyum cerahnya.
Tak tau saja bagaimana wajah Revo yang perlahan memucat setelah mendengar penjelasan dari Teresia itu.
Namun mencoba tak mempercayai apa yang Teresia katakan, Chef Radit justru membuka bibir untuk meyakinkan Revo bahwa Teresia memang wanita yang ingin dinikahkan oleh Kakaknya.
"Nona- Maksudnya Teresia memang sudah dipilih Tuan Romi untuk menjadi istri dari Tuan Arga"
Teresia mengangguk setuju "meski gue gak suka sama Kakak lo tapi demi jadi kaya raya gue akan menyetujuinya!"
Revo memaksakan senyum di bibirnya meski ada sebagian hatinya yang kecewa mendapati bahwa Teresia lah orang yang Ayahnya pilih untuk dinikahkan dengan Arga, Kakaknya.
"Kamu sudah tau bukan bahwa Kakakku itu tidak suka wanita-"
"Gue gak peduli sama itu semua! Karena tujuan gue nerima pernikahan ini hanya untuk kehidupan gue ke depannya! Lo paham kan? Jadi jangan tanya-tanya lagi!"
Revo menarik napasnya dan menghembuskannya pelan, perasaan gusarnya perlahan bisa tersingkir menganggap pernikahan Teresia dan Arga tidak akan terjalin serius.
Dirinya jelas masih memiliki kesempatan untuk bisa dekat dengan Teresia.
***
Teresia mengendap-endap mencari sosok yang sejak pagi tadi tak ia temukan keberadaannya di manapun. Bahkan saat sarapan bersama pun Arga hanya muncul di meja makan setelahnya kembali menghilang dan Teresia tak bisa mencarinya.
Di rumah Ayah Romi yang begitu besar baru Teresia jelajahi setengahnya dan Teresia tak menemukan sosok Arga di manapun, di kamar pria yang terkunci dan Teresia yakin tak ada penghuninya itu serta di taman belakang yang biasa ada sosok Arga pun tak Teresia temukan.
Kedua kakinya sudah letih berjalan dan berkeliling dari lorong-lorong panjang di rumah ini.
Keputusannya final! Dia akan meminta maaf pada Arga persoalan beberapa hari lalu saat ia memukul hidung Arga hingga berdarah serta menuduhnya sebagai penguntit.
Inginnya Teresia tak perlu meminta maaf pada pria sombong itu. Namun jika tak melakukannya ia akan terus merasa bersalah dan tak enak.
Salahkan dirinya yang memiliki sifat tak tegaan dan semua permasalahan yang belum selesai akan selalu ia pikirkan.
"Di mana dia?!" decak suara Teresia mengalun dan ia bersandar di dinding di belakangnya. Kedua matanya melirik pintu-pintu yang ada di dekatnya, Teresia tidak tau pintu apa semua ini namun saat memperhatikan satu pintu kayu besar di sampingnya, ia mendengar suara benda terjatuh dari dalamnya.
Bulu kuduknya merinding, membayangkan ada hantu di dalam sana yang tengah mencari perhatian padanya.
Pintu kayu itu memiliki celah kecil yang tak tertutup rapat. Karena penasaran dan takut, Teresia mengintipnya dan mencari tau ada sesiapa di dalam.
Napas lega Teresia keluarkan saat sosok yang dicari-carinya sejak tadi ternyata ada di dalam sana dan tengah membaca buku dengan santai di atas sofa panjang tepat di depan sebuah jendela kaca besar.
Teresia membuka lebar pintu di depannya dan masuk, berdiri di depan pintu serta mengamati Arga yang mengalihkan pandanganya dari buku yang tengah ia baca pada Teresia.
"Gue mau-"
"Pergi!" satu kata itu cukup untuk membuat Teresia menegang dan terpaku pada tatapan mata Arga yang menyorot dingin padanya.
Jaraknya dengan Arga cukup jauh, namun Teresia bisa merasakan bahwa Arga menolak kehadirannya di sini.
Teresia menarik napasnya pelan, dia akan melakukannya dengan cepat dan kemudian pergi meninggalkan pria itu sendiri lagi.
"Gue cuman mau minta maaf!" pekiknya keras supaya Arga tidak salah dengar dengan apa yang dia katakan. Setelah itu Teresia menggeleng dan ingin berbalik cepat jika saja Arga tidak berbicara padanya.
"Soal apa? Bicara yang jelas!"
Teresia berdecak kesal dan tanpa membalikan tubuhnya yang membelakangi Arga, dia berbicara tanpa memandang Arga.
"Gue nuduh lo penguntit! Iya lo bukan penguntit! Gue salah karena udah nuduh lo!"
Teresia menunggu dengan berdebar balasan yang akan Arga katakan, namun ia tak mendengar suara Arga atas apa yang barusan ia katakan.
Merasa aneh, Teresia menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia mendapati sosok Arga sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam mengarah padanya.
Satu tangan pria itu berada di dalam kantung celana bahannya serta satu tangannya lagi memegang buku yang tengah pria itu baca tadi.
Teresia memundurkan langkahnya dan menjauh karena sosok Arga yang berada sangat dekat dengannya.
"Lo, Gue?! Kamu memang sangat menentangku ya? Akan aku simpan ini untuk nanti! Perbaiki cara panggilanmu padaku, sudah aku bilang aku membencinya! Jika kamu tetap seperti ini, kamu akan menyesalinya nanti!" ujar Arga dingin tak menghangatkan pandangannya menatap pada Teresia.
Arga mengetukkan buku tebal itu pada kepala Teresia membuat gadis itu mengaduh sakit dan meninggalkan Teresia di perpustakaan pribadi rumah Ayahnya.
Teresia mengusap kepalanya yang baru saja Arga beri ketukan dan menatap ke arah pria itu pergi dengan tatapan marah dan kesalnya.
"Sialan! Gue udah nurunin harga diri buat minta maaf, dia sama sekali gak bahas soal salah paham itu!"
Teresia mengacungkan jari tengahnya pada pintu di depannya, di mana tadi Arga meninggalkannya sendiri.
"Lo pikir gue takut sama ancaman murahan lo itu! dasar Gay!"
Hari yang dinanti Ayah Romi pun tiba.Pernikahan Arga dan Teresia! Di ruang tamu yang disulap menjadi tempat akad, pun sudah berjalan dengan lancar. Ayah Romi begitu bahagia meski sayang wajah Arga serta Teresia yang menikah tidak ada yang menarik bibir membentuk senyuman. Meski Pernikahan ini hanya diadakan secara privat, Ayah Romi tetap memerintahkan orang-orangnya untuk meliput kegiatan ini dan menyebarkannya. Membuktikan pada semua orang bahwa Arga bukan seorang Gay, dan bisa menikahi wanita. Meski nanti akan ada berita terbaru mengenai kedua wajah mempelai yang terkesan datar tak menunjukan ekspresi. Ingatkan Ayah Romi untuk menyuruh Teresia dan Arga tersenyum saat keluar rumah nanti. Teresia menarik tangan Arga untuk menciumnya yang kini sudah secara sah menjadi sang suami. Ia mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum ke arah kamera saat benda tersebut terarah padanya yang justru tak menunjukan sebuah senyum manis melainkan senyum konyol. Jangan ditanya bagaimana eksp
Arga menutup laptopnya dan meletakan di atas nakas. Ia mengambil sebuah dasi dari dalam laci dan mendekati Teresia yang mendadak gugup dengan apa yang ingin Arga lakukan padanya. "Akan aku buktikan bahwa ancaman yang aku beri padamu itu benar-benar nyata! Akan aku buat kamu menurut dan tidak lagi menantangku!" Arga menangkap kedua tangan Teresia dan mengikatnya menjadi satu di belakang tubuh Teresia. Teresia mulai panik dan memberontak untuk bisa lepas dari cekalan kedua tangan Arga. Terlebih lilitan kain di dadanya mulai mengendur dan terbuka akibat gerak tubuhnya yang tak beraturan. Arga benar-benar serius dengan ucapannya!"Iya-iya gue- ehh aku salah! Aku minta maaf!!" Teresia menjerit panik saat ia mulai merasakan angin berhembus di kulit dada telanjangnya. Kain kebayanya tepat berada di atas putingnya, dan jika Teresia bergerak sedikit lagi, kain tersebut akan jatuh dan menampilkan dada telanjangnya. Bodohnya dia yang menantang Arga tadi, kini dirinya sendiri dibuat panik set
Teresia sudah selesai membersihkan tubuh, dirinya juga sudah selesai berkemas menggunakan pakaian yang menurutnya paling bagus.Siang ini dia akan pergi berbelanja banyak pakaian baru untuk dibawanya berlibur sore nanti. Teresia akan menemui Ayah Romi dan menuntut haknya untuk menghabiskan uang milik orangtua tersebut.Sentuhan terakhir di wajahnya, Teresia memoles lipstik miliknya membuat bibirnya lebih cerah dan berwarna. Setelah dirasa ia sudah lebih cantik dan siap, barulah Teresia berjalan menuju pintu kamar"Astaga hari yang gue pikir gak akan pernah datang sekarang bisa jadi kenyataan!" pekiknya menahan kesenangan.Namun ketika tangannya memegang kenop pintu dan mencoba menariknya, senyum perlahan luntur dari wajahnya.Pintu tersebut tidak bisa terbuka!Teresia kembali menarik dan mendorong pintu tersebut lebih kuat, namun hasilnya tetap sama. Pintu tersebut memang terkunci dari luar."Arga b
Setelah mendapat pelepasannya yang tak meninggalkan perasaan puas di rumah Sony, justru yang Arga rasakan hanya perasaan hampa dan sebuah perasaan salah. Dia lansung bergegas pergi tanpa menghiraukan panggilan Sony yang memintanya tinggal dan tetap bersamanya. Arga pergi ke club favoritnya untuk memesan minum. Ia sedang kalut dengan pikirannya sendiri mengenai seseorang wanita asing yang sangat aneh dan masuk ke dalam hidupnya. Wanita itu Teresia, tidak membuatnya takut, tidak membuatnya mual dan tidak mengingatnya tentang trauma masalalunya jika ia melihat gadis itu. Apakah Teresia adalah wanita pilihan Tuhan yang diberikan untuknya? Arga masih mencoba mendalaminya dan perlahan-lahan akan menerima Teresia. Hanya saja ia sedikit kesal pada gadis itu yang bersikap tidak seperti wanita pendiam melainkan sangat berisik dan menyebalkan. Merasa sudah cukup untuk minum, karena Arga tidak ingin mabuk berat di siang hari. Arga berpikir untuk
"Arga temui Ayah di ruang kerja Ayah sekarang!" Arga baru saja masuk ke dalam rumahnya ketika ia selesai membakar habis seluruh baju Teresia, tak ada perasaan bersalah sama sekali di dalam benaknya setelah melakukan hal tersebut. Kejam? Ya, kini Arga sedang melakukan peran sebagai ibu tiri. Entah kenapa Arga ingin sekali melihat gadis itu marah dengannya dan Arga melakukan hal kekanakan tersebut, namun bukannya marah Teresia justru menangis.Tapi tak berlansung lama karena gadis itu kehilangan kesedihannya dan lansung pergi meninggalkannya. Menyingkirkan sejenak tentang Teresia, Arga kini lebih mempertanyakan tentang apa yang ingin Ayahnya bicarakan dengannya, sampai harus memanggilnya ke ruangan kerjanya. "Kak" Arga menghentikan sejenak langkahnya mendengar suara Revo yang memanggilnya dan menahan ia untuk berjalan. "Ada apa?" "Kamu tidak menemani istrimu?" Arga berdecak pelan mendengar Revo yang terus saja membahas Teresia dengannya. "Aku tidak mau menganggapnya sebagai is
Dua hari setelahnya, Teresia sudah siap dengan koper besarnya berisikan banyak baju yang baru ia beli untuk ia bawa ke Bali, tentunya juga berbagai macam bikini yang baru dibelinya untuk ia coba pakai di pantai nanti.Teresia ingin menggoda bule-bule di Bali, mungkin jika ada dari mereka yang tertarik padanya Teresia bisa meninggalkan Arga dan memilih bersama para bule tersebut. Memikirkan itu membuatnya terkikik geli sendiri hingga Arga yang diam-diam meliriknya berkerut dahi. Tak hanya dengan sikapnya yang aneh, Arga melirik Teresia dengan koper besarnya seolah Teresia ingin pulang kampung dengan waktu yang lama.Padahal ia dan Teresia hanya akan pergi berlibur selama lima hari, meski Ayahnya meminta Arga memperpanjang liburannya, namun Arga tak menginginkan itu."Nikmati liburan kalian ya!" Ayah Romi mengusap kepala Teresia dengan lembut yang diangguki gadis itu dengan senyum cerah di bibirnya."Aku akan membeli banyak oleh-oleh untuk orang rumah"Ayah Romi terkekeh pelan mendenga
Satu kata yang Arga bisa deskripsikan untuk Teresia, Ajaib! Ya gadis itu terus mengeluh pusing dan mual saat berada di pesawat dua jam lalu, namun saat mereka sudah landing dan tiba di Villa yang di pesan Ayah Romi, semua rasa lelah dan sakit yang Teresia derita selama di pesawat hilang begitu saja. Justru Gadis itu nampak terlihat sangat sehat karena bisa berlarian kesana kemari demi bisa mengambil gambar dengan kamera ponselnya. "Villa nya besar! Ayah memang hebat dalam memilihnya" Teresia menghempaskan tubuhnya pada kursi santai yang berada di depan kolam renang pribadi dengan pemandangan ke pantai dan laut lepas. Arga sendiri berdecak pelan mengetahui jika kamar yang dipesan hanya satu dan itu terpaksa ia harus tidur satu ranjang lagi dengan Teresia. Beberapa malam belakangan ini, Arga selalu tak bisa tidur nyenyak karena di atas ranjang yang sama ia tertidur dengan seorang wanita. Jika ia pikir Teresia akan berlaku malu-malu dengannya, saat pertama kali mereka tidur satu ran
Baru saja mau diajak berkenalan oleh dua pria asing yang berusaha kuat mengerti bahasa Teresia, namun mendadak perasaan aneh menyusup ke dalam hatinya. Sebuah perasaan risau dan khawatir yang membuatnya tak nyaman, membuat Teresia harus pamit pada kedua pria tampan yang ingin mengajaknya berkenalan tersebut. Tadi Teresia meninggalkan Arga begitu saja, dan entah kenapa Teresia jadi mendadak mengkhawatirkan Arga yang seharusnya tak ia pedulikan. Teresia hanya kembali sejenak untuk melihat pria itu, setelahnya dia akan meminta Arga untuk berhenti mengikutinya berlibur sendiri. Ya hanya itu!Pemandangan di depan sana memuat kening Teresia berkerut dalam. Teresia melihat Arga, Arga terlihat kebingungan dengan wajahnya yang panik bercampur ketakutan. Kaki Teresia yang perlahan bergerak pelan menjadi langkah cepat untuk memeriksa keadaannya. Apakah pria itu baik-baik saja? "Arga!" Teresia menyentuh lengan Arga mencoba menyadarkan pria itu bahwa ada dirinya di samping pria tersebut. Ar