"Apa Tuan Romi akan melewatkan makan malamnya lagi?" tanya Tenzo yang diberi gelengan oleh para Chef di rumah Ayah Romi itu. "Pak Tenzo sudah coba panggil?" tanya Chef Radit. Tenzo menggeleng pelan "jika Tuan sudah berada dalam ruangan kerjanya, andai pintunya terkunci itu berarti dia sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Dan sejak siang tadi pintu ruang kerjanya terus terkunci dan Tuan tak kunjung keluar" Perasaan khawatir perlahan menyelusup masuk ke dalam hatinya. "Ahh pagi tadi ada Tuan Revo yang berbicara dengan Tuan Romi di ruang kerja Tuan Romi. Tapi saya tidak lihat Tuan Revo dan Tuan Romi keluar setelahnya" ujar Artur mengingat-ingat. Tenzo mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Mungkin menurutnya, Revo dan Ayah Romi berbicara sebentar dan diiringi pertengkaran kecil yang sering terjadi, lalu Ayah Romi memilih mengurung dirinya sendiri setelah berbicara dengan Revo. "Tapi sudah hampir malam, dan Tuan tak kunjung keluar. Apa sebaiknya ku panggil?" kedua Chef ters
"Revo!!" bentak Arga dengan suara bergetarnya saat Revo dengan santainya mengusap wajah Teresia dengan moncong pistol yang digenggamnya. Arga ingin mendekat, namun karena tanganya masih terikat oleh infus, tak pikir panjang Arga mencabutnya meski terasa sangat sakit Arga tak mempedulikannya, karena yang paling utama adalah sosok Teresia yang sudah terlihat ketakutan. Darah di tangannya menetes ke atas lantai saat Arga mendekat ingin menenangkan Revo yang ia yakin emosinya tengah tidak stabil. "Aku mohon jangan lakukan itu, jangan bunuh Teresia. Pikirkanlah lagi masa depanmu Revo, masih banyak hal yang belum kamu lakukan" bujuk Arga yang langkahnya perlahan kian dekat pada Revo. "Masa depanku sudah tidak ada, aku sudah kehilangan semua impian dan harapanku akan masa depan. Yang aku inginkan hanya memutuskan semuanya dan membuat kalian menyesal!" Arga tidak tau seberapa dalam luka hati Revo sampai pria itu terlihat benar-benar serius dengan perkataannya. "Kalau begitu jangan korba
Ayah Romi masuk ke dalam ruang rawat Arga ditemani dengan dua orang petugas polisi yang mendobrak pintu ruang rawat Arga saat mereka gagal mencoba membuka secara perlahan tadi nampak terkunci dari dalam. Kedua mata Ayah Romi nampak nanar melihat Revo yang duduk di atas sofa seolah tak terkejut dengan kedatangannya. "Revo!" panggil Ayah Romi pada putranya yang tak kunjung mengangkat wajah, namun saat langkah Ayah Romi mendekatinya Revo mendadak bangun dan menatap Ayahnya dengan wajahnya yang nampak dipenuhi oleh sesal dan kesedihan yang begitu mendalam. "Maaf karena aku sudah mengancam anak dan menantu kesayanganmu, Ayah- Ehh tunggu apa selama ini kamu memendam benci ketika aku memanggilmu Ayah? Atau haruskah aku panggil kamu Om?" dengus Revo namun satu tetes air matanya itu mengalir jatuh yang dengan cepat pria itu usap kasar. "Revo, buang pistol itu, dan datanglah kemari! Kita sudahi semuanya ... Jangan seperti ini Revo!" bisik Ayah Romi dengan suaranya yang menyimpan kesedihan
Tubuh Revo baru saja dikebumikan, dan di antara banyaknya orang yang mengantar Revo pulang ke rumah terakhirnya, hanya sosok Arga yang nampak paling terluka karena pria itu tidak bisa membantu untuk menguburkan jasad Revo. Traumanya masih melekat jiwanya, dia kesulitan berada di sekumpulan orang-oraang ramai, dan itu membuat Revo bergetar ketakutan belum lagi pikirannya yang terus tertuju pada malam penembakan Revo. Arga begitu pucat hanya bisa menatap melalui jendela mobil di dampingi Teresia yang nampak iba melihat pada suaminya. Napas Arga berhembus kuat, air mata terus terjatuh di pipi Arga tanpa pria itu sadari. Teresia sungguh tau bagaimana rasa sedih yang menggerogoti jiwa Arga saat ini. Dan sebagai istri, Teresia hanya bisa menggenggam kuat tangan Arga serta menguatkannya melalui kata-kata. "Kenapa saat itu aku tidak bisa menariknya! Aku sangat menyesalinya!!" Arga meninju sandaran kursi di depannya, dan itu membuat Teresia terkejut, Teresia dengan segera memeluk tangan A
Sudah hampir tiga bulan setelah kepergian Revo yang masih meninggalkan duka dan kesedihan di rumah Ayah Romi.Ayah Romi yang kini nampak lebih sering berada di ruang kerjanya. Keceriaan pria baya itu juga nampak menurun.Kehilangan Revo sungguh meredupkan cahaya pada Ayah Romi, Arga dan Teresia selalu menghibur Ayah, namun hal itu tak berlansung lama. Pria itu akan kembali pergi ke ruang kerjanga untuk merenung kembali."Apa Ayah masih belum mau keluar?" tanya Arga yang baru saja pulang dari kantornya pada Teresia yang membuka pintu.Teresia menggeleng pelan "Ayah keluar, tapi hanya untuk makan siang, lalu kembali masuk ke ruang kerjanya. Ayah masih sulit untuk terima kepergian Revo"Arga mengangguk, dia mencium kening Teresia dan menyerahkan tas kerjanya pada Teresia untuk dibawa wanita itu ke dalam kamar."Aku akan temui Ayah" Teresia mengangguk, lalu mengambil jalan yang berbeda dengan Arga. Pria itu pergi ke ruang kerja sang Ayah yang berada di lantai satu, sementara Teresia naik
Malam itu, Ayah Romi mengatakan bahwa ia akan lembur, dia mungkin tidak pulang ke rumah. Dan jawaban sang istri hanya berpesan bahwa Ayah Romi harus makan dan jangan terlalu keras bekerja. Hati Ayah Romi terasa begitu sesak untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya. Pulang dalam pikiran yang berantakan, Ayah Romi lansung masuk ke dalam rumahnya dan melihat bahwa semua lampu di rumah sudah gelap. Naik ke lantai atas, di mana kamarnya dan kamar Silvi berada, langkah Ayah Romi perlahan memelan dan jantungnya berdebar dengan begitu kuat saat ia bisa mendengar obrolan keduanya yang terjadi di atas ranjang. "Hidungnya seperti kamu" itu suara Adiknya, perasaan Ayah Romi begitu hancur mendengar jawaban Silvi yang menanggapi ucapan Adiknya tersebut. "Mana? Semua orang yang lihat anak ini juga pasti tau kalau wajahnya jiplak wajah kamu!" Suara kekehan Revo membuat hati Ayah Romi benar-benar tersayat. Hatinya hancur begitu saja dikhianati kedua orang yang paling ia sayang. "
"Mas!!!" Silvi berlari masuk ke dalam ruangan kerja Ayah Romi dengan kedua mata yang membanjiri pipinya. Dia sangat terkejut mendengar letusan pistol, dan saat menghampiri asal suara jantungnya seakan lepas dari tempatnya melihat Revo terbaring tak bernyawa dengan luka tembak di kepala pria itu. "Kamu membunuh adikmu?!" Ayah Romi tak bisa berbicara saat rasa terkejut dan syoknya masih menguasai dirinya. Dia masih terpaku tak bisa berpikir saat sentuhan di bahunya ia rasakan dan menoleh melihat Arga yang menatapnya dengan khawatir. "Ayah baik-baik saja?" Ayah Romi tersenyum dan mengangguk perlahan. Dia sudah kembali dari ingatan buruk masalalunya. "Lalu apa yang terjadi pada Ibu setelah melihat Adik Ayah itu merengut nyawa?" Ayah Romi diam sejenak, membayangkan kembali saat-saat itu hampir membuatnya gila. "Ibumu menolak untuk hidup bersama Ayah dan membesarkan kalian, dia justru memilih mati bersama Adikku yang bodoh itu. Katanya cinta sehidup semati" bisiknya miris sekaligus
Arga mencium dalam kening Teresia saat akhirnya wanita itu bisa tertidur. Mereka baru saja pulang dari rumah sait dan memeriksa kandungan Teresia. Ya! Istrinya kini tengah hamil, usia janinnya baru memasuki waktu dua belas minggu. Hati Arga membuncah sangat bahagia terlebih saat Dokter wanita itu menunjukan mereka foto USG janin di perut Teresia. Sejak ditunjukan foto tersebut, air mata Arga tak berhenti mengalir karena perasaan senang dan bahagia. Ohh, hari-hari menunggu kelahiran bayinya sangat Arga nantikan. "Teresia sudah tidur?" Arga menoleh melihat Ayahnya yang mengintip dari pintu kamar Arga. Arga mengangguk, ia menyalakan AC sebelum meninggalkan Teresia di kamar. Menghampiri Ayahnya yang mengajak ia untuk makan siang yang terlambat lebih dulu sembari membicarakan kebahagiaan yang kini menggulung hati mereka. "Ayah harus bisa kembali ceria lagi! Teresia jadi banyak berpikir karena selalu melihat Ayah murung dan menyendiri! Itu salah satu penyebab Ibu hamil stress kata Do