Benar apa kata mereka, suara-suara menjijikan lirih terdengar keluar dari kamar itu. Tak salah lagi, dan tentu aku sangat hafal pemilik kedua suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mas Budi dan Lisa.
Sejenak aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa, dan air mata pun mulai menetes tak bisa dibendung.Kenapa mereka bisa melakukan hal ini padaku? Baru juga tiga bulan si Lina tinggal di sini, sejak Bude Hermin meninggal. Tapi dia sudah berani menggoda suamiku, namun entah...aku tak bisa menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak, karena bisa saja keduanya itu sama-sama mau."Gimana, Nit? Bener nggak, itu suara si Budi dan si Lisa?" bisik Bu Jannah di telingaku, yang hanya kujawab dengan anggukan.Bu Jannah pun kemudian berbisik pada warga yang lain. Namun, aku masih saja tetap terdiam, tak percaya dengan semua ini. Tenyata kebaikanku selama ini pada Lisa, hanya dibalas dengan penghianatan seperti ini. Menyesal memang selalu di akhir, dan bodohnya aku, karena tak mendenagrkan ucapan ibuku dulu."Hey...Nit. Terus ini kita mau gimana? Mau dibiarin saja gitu mereka berbuat zina di rumahmu? Warga nggak mau loh, ada yang mengotori kampung ini!" Bu Jannah kembali berbisik, lirih namun terdengar tegas penuh emosi.Apa yang dikatakan Bu Jannah itu benar, kenapa aku lemah begini, dan meratapi nasib? Aku harus bangkit, dan bisa memberi mereka pelajaran, para penghianat tak tahu malu itu. Segera kuhapus kasar air mata yang menetes di pipi, dan kemudian berdiri menuju pintu depan, lalu segera membukannya.Dengan amat hati-hati, aku pun masuk ke dalam, tentunya diikuti para warga dengan diam-diam juga. Letak kamarku yang ada di samping ruang tamu, membuat kamu cepat sampai di tempat tujuan.Entah karena sedang berpesta atau ingin segera memadu kasih, pintu kamarku pun hanya di tutup separuh. Mungkin juga mereka berpikir, kalau tak akan ada yang mengganggu aktivitas haram itu.Pintu yang hanya tertutup separuh itu, langsung kudorong menggunakan kaki, dengan segera pemandangan amat menjijikan tersaji di depan kami. Suamiku yang pendiam, dan sok alim itu, tengah mengauli Lisa dengan hebatnya.Plokk plokk plokk"Benar-benar pertunjukan yang menjijikan!" ucapku sembari bertepuk tangan.Beberapa warga pun mengabadikan moment memalukan ini, bahkan kulirik tadi sudah ada yang merekamnya sejak aku membuka pintu rumah.Melihatku dan juga banyak warga yang datang, tentu saja kedua insan berbeda jenis yang telah polos itu, kebingungan dan mulai mencari apapun untuk menutupi bagian tubuhnya."Ngapain di tutup? Kami sudah melihatnya dan sudah diabadikan! Dan segera akan viral di media sosial!" ucapku sinis sambil mencoba menarik selimut yang menutupi keduanya."Tolong, Dik, jangan ditarik, kasihan Lisa!" ucap Mas Budi memohon."Hahaha...sampai seperti itu ternyata kamu menyayanginya ya, Mas?! Hebat kalian! Oke aku tak akan menghakimi kalian, karena semua kuserahkan pada warga!" Aku pun segera melenggang pergi, tak kuasa juga melihat wajah mereka berdua, dan kemudian aku berdiam diri di ruang tamu.Terdengar warga berteriak dan mengumoat mereka berdua, terserahlah, apa yang akan mereka perbuat pada pasangan selingkuh itu. Sekitar lima menit kemudian, warga membawa keduanya ke ruang tamu, pastinya untuk dihakimi.Mas Budi dan Lisa kini duduk berada tepat di hadapanku, dengan memakai pakaian yang tak lengkap, dan sepertinya warga baru saja memberi mereka sedikit pelajaran.Keduanya tertunduk, sementara aku tetap menatap lekat, dan jujur masih belum bisa percaya sepenuhnya."Mbak Nita, ini di minum dulu susu hangatnya, biar bisa sedikit tenang pikirannya," ucap Bu Hasan sembari menaruh segelas susu yang masih mengeluarkan asap itu.Ku minum sedikit sekali susu itu, selain masih panas, juga memang aku tak berselera karena melihat wajah para penghianat itu."Mbak Nita...sebagai ketua rukun tetangga di sini, saya mau bertanya. Apa masalah ini akan diselesaikan secara pribadi? Atau mungkin perlu bantuan untuk menyelesaikan bersama?Kalau dari warga, kami meminta denda dan dari Mas Budi dan Lisa, karena telah mengotori nama baik kampung ini." Ucap Pak Hasan selaku ketua Rt di kompleks ini."Biar semua masalah ini, kami selesaikan secara pribadi saja, Pak. Karena ini masalah pribadi keluarga saya." Belum sempat aku menjawab, Mas Budi sudah menyerobotnya duluan."Saya tidak bertanya pada Mas Budi, karena di sini kalian bersalah, dan telah mengotori kampung, jadi ini mengharuskan kami ikut campur!" ucap Pak Rt tegas."Tolong, Pak. Biarkan kami menyelesaikan secara pribadi. Denda akan saya bayar cash hari ini. Ini hanya kesalah pahaman saja, Pak." Mas Budi masih saja terus bernegosiasi tanpa malu.Byurrr"Aw...panas!!!"Kedua penghianat itu, sontak berteriak secara bersamaan, karena susu panas yang ada di meja itu, langsung kuguyurkan ke wajah mereka. "Apa-apaan sih, kamu ini Mbak? Panas!!" Lisa berteriak sambil mengibas-kibaskan tubuh dan wajahnya yang panas, dibantu oleh Mas Budi.Melihat hal itu, bukannya iba, warga malah lebih meng-olok mereka, dan sebagian malah tertawa senang sambil terus mengambil gambar."Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rt, semua sudah selesai. Dan saat ini juga, saya ingin kedua sampah ini angkat kaki dari rumahku!" ucapku lantang sambil menunjuk para penghianat itu."Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rt, semua sudah selesai. Dan saat ini juga, saya ingin kedua sampah ini angkat kaki dari rumahku!" ucapku lantang sambil menunjuk para penghianat itu.Mendengar perkataanku itu, sontak Mas Budi menghentikan aktivitas membantu Lisa. Kemudian merubah duduknya menghadap padaku."Apa maksud kata-katamu itu, Dek? Aku ini suamimu!" ucapnya sembari memukul dadanya sendiri, terlihat jika kini dia amat frustasi."Suami?! Jika kamu suamiku, kenapa kamu berbuat zina dengan dia? Sepupuku sendiri?" jawabku lirih, namun penuh emosi.Umpanku akhirnya dimakan juga, susu panas tadi sebenarnya hanya pancingan, agar Mas Budi mau menyelesaikan masalah ini dihadapan warga.Memang harusnya istri menutupi kebusukan suami. Namun, jika kasusnya seperti ini, maka maaf, aku malah ingin mempermalukannya lagi, di depan semua orang.Beberapa saat Mas Budi tak bisa menjawab, dia hanya memandangku sepertinya dengan tatapan yang penuh amarah."Maaf, Dek...aku memang salah...
Mereka Ingin Menghancurkanku?"Sudah cukup, aku tak ingin lagi mendengar sandiwara kalian. Cepat pergi dari rumahku, sekarang juga!" teriakku dan kali ini aku tak main-main.Sudah hilang rasanya kesabaranku pada keduanya. Apalagi ketika Lisa menghinaku dengan kata mandul, sungguh aku tak bisa terima itu. Mereka berdua hanya diam mendengar teriakanku, sementara para warga pun kembali saling berbisik."Apa Mbak Nita serius ingin mengusir mereka?" Pak RT mencoba meyakinkan padaku."Tentu saja amat serius, Pak. Sudah tak sudi aku melihat mereka berdua di rumah ini. Jadi tolong bawa mereka pergi dari sini, atau laporkan saja pada polisi!" ucapku sambil kembali duduk."Dek...tolong, Dek. Aku minta maaf, jangan usir aku, ini hanya khilaf. Aku tak ingin berpisah darimu." Mas Budi berusaha mendekatiku sambil merengek.Namun, para warga dengan sigap membawanya keluar secara paksa, begitu pun dengan Lisa. Terdengar banyak sekali umpatan-umpatan dari para warga, apalagi Mas Budi terus saja berus
Kamar LisaKAMU HARUS HANCUR SEHANCUR-HANCURNYA, NITA!Aku benar-benar tak bisa mengerti apa maksud dari tulisan ini. Apa yang dimaksud Nita di sini adalah aku? Atau mungkin Lisa punya teman yang namanya sama denganku?Kuabaikan dulu tulisan itu, karena meski berpikir seperti apapun, saat ini aku tak bisa menemukan titik terangnya. Lebih baik aku mengecek yang lainnya, namun tak lagi kutemukan apapun yang mencurigakan di meja belajar ini.Aku pun pindah menuju ke lemari, sebuah lemari kayu bercat putih besar,yang tiga bulan lalu kubelikan khusus untuk sepupuku itu. Ternyata lemari itu tak terkunci, dan tentu saja aku langsung membukanya.Selama ini, meski kami adalah saudara sepupu, tapi kami tak begitu dekat. Lisa dan Mbak Linda adalah anak dari almarhum Bude Tutik, yang meninggal empat bulan lalu.Mbak Linda usianya sama denganku, yaitu dua puluh empat tahun, sedangkan si Lisa usianya baru sembilan belas tahun. Selain itu, Bude juga memiliki seorang putra, Mas Lukman, yang sudah se
Kamar Lisa 2Sebuah pikiran jahat terlintas dibenakku, jika Lisa sudah menyakitiku dengan merebut suamiku, maka jangan salahkan aku, jika kini akan kukuasai semua hartamu. Karena kurasa mungkin hanya ini saja harta yang dimiliki oleh sepupuku itu.Gegas kupindahkan semua yang ada di dalam boxs itu ke kamarku, dan menguncinya dari luar. Sekedar antisipasi saja sih, karena Mas Budi ternyata juga membawa kunci serep pintu depan.Kemudian, aku pun kembali masuk ke kamar Lisa, tujuanku kali ini adalah memasukkan semua pakaian ke dalam koper dan barangnya, ke dalam sebuah kantung plastik besar. Nantinya, aku akan menyewa taksi online untuk mengantarnya ke rumah Mbak Linda, beserta barang milik Mas Budi.Sebuah kejutan lagi kuterima, kali ini tentunya akan membuat kantongku semakin tebal. Tepat diatas lemari, saat aku mengambil koper, ada sebuah kantong plastik warna putih, dan itu berisi dua buah handphone keluaran terbaru, yang masih tersimpan rapi dalam dosbook-nya.Kedua handphone terseb
Flashback 1"Nit, bisakah mulai saat ini Nita tinggal bersamamu?" ucap Mbak Linda saat acara kirim doa tiga puluh hari meninggalnya Bude Tutik."Tentu saja boleh, Mbak. Rumahku dan kampusnya Nita kan nggak terlalu jauh, dari pada berangkat dari sini," jawabku sambil tersenyum. Saat itu, aku tengah membantunya menyiapkan makanan untuk para tamu yang sedang mengaji."Terima kasih banyak ya, Nit. Jujur, aku tuh nggak kuat ngebiayain kuliahnya si Lisa, kamu tahu sendiri 'kan, suamiku hanya buruh pabrik biasa. Gajinya tiap bulan hanya cukup untuk beli susunya Rehan dan makan saja. Itupun di tanggal tua, aku kadang harus berhutang di warung tetangga," seloroh Mbak Linda seraya menaburi sepiring nasi soto yang sudah tertata, dengan irisan bawang goreng.Semua yang baru diucapkan oleh Mbak Linda itu, memang benar adanya. Menikah selama tiga tahun dengan Mas Rama, sepertinya tak pernah membuat hati Mbak Linda puas, karena mereka selalu hidup kekurangan, dan hanya tinggal di pondok indah mertu
Flashback 2"Dengar ucapan ibu, Nit. Jangan bawa dia masuk ke rumahmu, jika tak ingin menyesal dikemudian hari!" ucap Ibu tegas."Menyesal apaan sih, Bu? Aku nggak ngerti deh," sungutku lirih."Pokoknya, kamu harus mendengar ucapan ibu ini. Jangan bawa dia ke rumahmu, jika memang kamu ingin membiayainya, lebih baik kirimkan saja uangnya. Biar dia tetap tinggal bersama Linda, atau kalau tidak biarkan dia ngekost!" Ibu masih terus menatap tajam padaku."Tapi 'kan, dengan kedatangan Lisa, aku jadi punya teman gitu. Mas Budi 'kan sering keluar kota, kadang bisa sampai berminggu-minggu loh. Dia juga nanti pasti mau bantu-bantu aku nyelesaiin pekerjaan rumah, Bu," gerutuku karena menurutku, keputusan mengajak Lisa adalah benar."Kamu itu kalau dibilangin ibu nggak pernah mau dengar. Pokoknya, jangan pernah masukkan ular ke rumah kita, jika nanti tak ingin di gigit. Percaya pada Ibu, Nit. Ibu nggak ingin kamu menyesal nantinya. Jika kamu memang benar ingin menolong, lebih baik kirim ajaa uan
Flashback 3"Mas...mulai besok Lisa akan tinggal di rumah kita," ucapku saat kami dalam perjalanan pulang.Aku dari tadi, memang belum memberitahu Mas Budi tentang rencana mengajak Lisa itu. Karena kupikir, suamiku itu pasti tak akan menolak apapun keinginannku, toh rumah itu juga sudah atas namaku."Loh...kok tiba-tiba banget sih, Dek?" Mas Budi menoleh kepadaku, seakan dia tak suka dengan perkataanku barusan."Ya memang semua serba mendadak, Mas. Mbak Linda juga baru bilang pas acara kirim doa tadi, kalau dia tak lagi kuat membiayai kuliahnya Lisa. Dulu kan memang yang membiayai semuanya Bude Tutik, jadi kini saat beliau meninggal, tak ada lagi biaya untuk Lisa," ucapku sembari menoleh kepadanya.Sesaat suamiku itu hanya terdiam tanpa komentar, pandangan matanya lurus ke depan, sepertinya dia sedang berpikir, sembari memilin jenggotnya yang hanya seumprit itu."Memangnya kenapa sih, Mas? Kamu nggak suka jika sepupuku itu ikut tinggal bersama kita?" tanyaku lirih sambil terus menghad
***********************************Dia Masih Ingin KembaliTernyata aku menghabiskan waktu yang lumayan lama di kamar Lisa tadi, hingga kini kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tujuh pagi. Gegas ku pesan taksi di sebuah aplikasi online untuk mengantar barang-barang milik Lisa dan Mas Budi. Agar aku tak lagi melihat barang yang membuat mataku kembali teringat dengan kelakuan pemiliknya saja.Sebenarnya, aku juga masih tak bisa berdiam di kamar ini, karena teringat saat semalam melihat pertempuran yang mereka lakukan tadi malam. Tapi, harus bagaimana lagi, ini rumahku, jadi rencananya aku akan mengubah kamar ini dengan suasana baru.Hari ini rencananya, aku akan langsung menggugat cerai Mas Budi, tak perlu lagi rasanya membuang waktu dengan percuma. Meski dia tak mau, aku akan tetap melakukannya, toh aku juga punya banyak bukti, yang bis membuat mejelis hakim bisa mengabulkan permintaanku.Setelah memesan aplikasi online, aku pun mulai mengecek kotak masuk di wa ku, ternya