Share

Mereka Ingin Menghancurkanku

Mereka Ingin Menghancurkanku?

"Sudah cukup, aku tak ingin lagi mendengar sandiwara kalian. Cepat pergi dari rumahku, sekarang juga!" teriakku  dan kali ini aku tak main-main.

Sudah hilang rasanya kesabaranku pada keduanya. Apalagi ketika Lisa menghinaku dengan kata mandul, sungguh aku tak bisa terima itu. Mereka berdua hanya diam mendengar teriakanku, sementara para warga pun kembali saling berbisik.

"Apa Mbak Nita serius ingin mengusir mereka?" Pak RT mencoba meyakinkan padaku.

"Tentu saja amat serius, Pak. Sudah tak sudi aku melihat mereka berdua di rumah ini. Jadi tolong bawa mereka pergi dari sini, atau laporkan saja pada polisi!" ucapku sambil kembali duduk.

"Dek...tolong, Dek. Aku minta maaf, jangan usir aku, ini hanya khilaf. Aku tak ingin berpisah darimu." Mas Budi berusaha mendekatiku sambil merengek.

Namun, para warga dengan sigap membawanya keluar secara paksa, begitu pun dengan Lisa. Terdengar banyak sekali umpatan-umpatan dari para warga, apalagi Mas Budi terus saja berusaha masuk.

"Mbak Nita yang sabar ya, ini sudah pilihan yang tepat. Suami dan sepupu kurang ajar seperti itu, memang sudah sebaiknya ditendang keluar!" Bu Rt mengusap punggungku, dan berucap dengan penuh emosi.

"Insyaallah saya selalu sabar kok, Bu," jawabku dengan senyum terpaksa.

"Apa kamu mau kutemani, Nit, malam ini? Kebetulan suamiku kan lagi dinas malam." Mbak Sela yang juga khawatir, menawarkan bantuan.

"Tidak perlu, Mbak. Aku nggak apa-apa kok, tenang saja," jawabku sambil terua berusaha tersenyum, agar mereka tak tahu hancurnya hatiku.

"Mbak Nita tak perlu khawtir, malam ini warga akan berjaga di depan. Dan kami akan pastikan, jika mereka berdua tak akan mengganggu lagi. Mbak Nita sekarang istirahat saja, jangan lupa kunci rumah ya, Mbak." ucap Pak Rt, yang baru saja masuk ke dalam.

Beberapa tetangga dekat pun kembali pulang, aku pun kemudian mengunci pintu. Tampak banyak warga yang duduk di luar pagar rumahku, dan hal itu sungguh bisa membuatku sedikit tenang malam ini.

Kubiarkan semua kekeccauan di dalam rumah ini, masuk ke kamar dan segera mengganti sprei, memasukkan kedalan tempat sampah bersama dengan pakaian dalam keduanya yang masih berserakan di lantai.

Air mata tak lagi bisa kubendung saat mengganti sprei, mengingat penghianatan suamiku yang dilakukan diatas ranjangku sendiri, dan pastinya hal itu dilakukan tidak hanya kali ini saja.

Kumasukkan juga semua baju-baju Mas Budi ke dalam sebuah tas besar, kemudian melemparnya begitu saja ke luar kamar. Foto pernikahan bahagian kami, yang tergantung dengan pigora besar di ruang tamu pun, ikut menjadi sasaranku.

Segera kuraih dan langsung membantingnya ke lantai. Setelah kaca pigora pecah, segera kuambil kertas foto yang ada dan merobeknya.

"Kurang ajar! Jahat kamu, Mas! Aku benci kamu... aku benci!"

Tak bisa lagi rasanya otakku berpikir dengn waras, semua foto Mas Budi yang ada di rumah ini, tak luput dari amukanku. Begitu juga dengan koleksi mainan miniatur kendaraan miliknya, yang telah hancur berkeping-keping.

Malam itu, kutumpahkan semua air mataku,  menangis sejadi-jadinya, agar rasa sakit dan marah dalam hati ini sedikit mereda.

Puas menangis, dan meratapi nasib, aku pun kemudian meregangkan badan di sofa, karena tak kuasa tidur di dalam kamar. Mengingat apa yang tadi kulihat, saat mereka berdua sedang memadu kasih, hingga akhirnya aku pun terlelap.

********************************

Kumandang adzan subuh membangunkan tidurku, dan tentu saja aku pun segera mengambil air wudhu dan melaksanakan salat subuh di kamar. Memasuki kamarku, kejadian tadi malam seakan kembali terulang lagi, namun sekuat tenaga kutepis.

Aku pun kemudian mengadukan semuanya kepada Allah,  ternyata benar, setelah beribadah, hati pun menjadi amat tenang. Dan kembali bisa berpikir dengan jernih.

Setelahnya, kuintip di balik korden ruang tamu, beberapa warga masih duduk di teras dan ada pula yang sedang berbaring di atas tikar. Bersyukur ternyata aku dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang amat peduli.

"Bapak-Bapak, silahkan pulang. Saya tidak apa di sini sendiri, sudah pagi juga kok," ucapku pelan saat keluar pintu.

"Baiklah kalau begitu, Mbak Nita, kami akan pulang. Jangan segan-segan untuk meminta  bantuan, jika mereka kembali datang dan membuat onar. Malam ini saja, sudah dua kali Mas Budi datang dan ingin masuk. Segera kunci pagar dari dalam. Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya, Mbak," ucap Pak Rt sambil tersenyum.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas segala bantunanya ya, Bapak-bapak. Insyaallah saya sudah  siap menghadapi keduanya, jika mereka datang," ujarku meyakinkan mereka.

Setelah kepergian mereka, segera ku kunci pagar dan juga pintu depan. Kemudian membersihkan sisa kekacauan tadi malam, agar pikiranku bisa sedikit lupa dengan mereka. Tapi, memang rasanya kini sudah amat siap jika kapan saja mereka datang kapan saja.

Sebuah keinginan muncul, untuk melihat apa saja isi dari kamar tamu, yang sudah tiga bulan ini ditempati Lisa. Selama ini, aku sama sekali tak pernah masuki, meski aku sebenarnya punya kunci serepnya. Hal itu kulakukan, karena aku ingin menghargai privacy sepupuku itu, namun ternyata aku malah ditikam dari belakang.

Kamar bercat warna putih ini, menguarkan bau harum, dan tampak amat rapi, sesuai dengan penampilan Lisa yang memang selalu praktis dan rapi.

Diatas meja belajarnya, terdapat sebuah fotonya bersama Mbak Linda, kakak kandungnya. Saat kubalik pigora dari kertas karton itu, terdapat sebuah tulisan dengan huruf besar, yang membuatku berpikir keras.

KAMU HARUS HANCUR SEHANCUR-HANCURNYA, NITA!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status