Dada Lisa terasa semakin bergemuruh. Saat ini dia memang masih belum yakin kalau kakaknya telah meninggal. Tapi satu hal yang pasti, Mbak Linda tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah sakit apalagi sampai membiarkan dirinya berada di tangan Nita dan Bu Dewi.Tangisan Lisa kembali pecah dan dia tak bisa membendungnya lagi. Seberapa banyak dia mencoba untuk tak lagi menangis tetap saja rasanya sulit karena dirinya frustasi.Saat ini dia telah lumpuh dan Mbak Linda juga sudah meninggal. Lisa hanya bisa meratapi tangisnya. Nita tiba-tiba memeluknya, Lisa awalnya mencoba untuk berontak tapi nyatanya dia tak bisa menggerakkan tubuh sama sekali.Alhasil dia menangis dipelukan Nita, wanita yang sangat dibencinya.Di luar ruangan, Bu Dewi dan Dimasta terlihat tersenyum melihat pemandangan yang cukup mengejutkan. "Syukurlah, sepertinya semuanya kan baik-baik saja.""Iya, Bu. Dimas harap juga gitu," cicit Dimasta.Bu Dewi sejujurnya karena pria muda itu putrinya. Bukan satu dua kali saja
Bab 37Nita datang kembali ke rumah sakit untuk bergantian menjaga Lisa. Pagi tadi ibunya telah pulang lebih dulu ke rumah.Setelah sampai di rumah sakit wanita itu segera pergi ke ruang rawat sepupunya. Saat membuka pintu ruang rawat Lisa, gadis itu terlihat termenung seolah telah mendapatkan begitu banyak kehancuran di dalam hidupnya.Nita menghela nafas perlahan sambil meletakkan barang bawaannya. Dia lantas menarik kursi dan duduk tepat di samping ranjang Lisa."Gimana keadaan kamu, Lis? Udah lebih membaik?"Lisa melirik sekilas tapi sayangnya gadis itu tak mengatakan apapun. Bahkan bibirnya kini terlihat semakin pucat dengan raut wajah yang tak memiliki semangat sedikitpun untuk melanjutkan hidup."Kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan untuk minta sama Mbak dan Bibi, ya?"Lisa terkekeh pelan. Tiba-tiba saja gadis itu merasakan kengerian di dalam dirinya karena kini justru dirawat oleh orang-orang yang sempat dia sakiti."Mbak, kamu nggak perlu bersikap baik padaku.""Kenapa? Ap
Bab 38Setelah Lisa dirawat beberapa hari di rumah sakit, gadis itu pada akhirnya diperbolehkan untuk pulang oleh dokter. Namun dengan satu syarat bahwa dia harus menjalani perawatan rutin ke rumah sakit.Mereka semua kini telah sampai di rumah dan Lisa dirawat di rumah Retno. Apalagi tak ada satupun orang yang mau merawatnya sama sekali. Hanya Nita dan ibunya saja yang bersedia."Lisa, kalau nanti kamu butuh sesuatu panggil saja Mbak atau Bibi."Wanita muda itu tampak menganggukkan kepalanya perlahan dan membiarkan sesosok perempuan yang baru saja bicara padanya itu menutup pintu kamar.Setelah Nita memastikan keadaan sepupunya itu baik-baik saja dan merasa nyaman di dalam kamar. Dia memutuskan untuk kembali dan menemui ibunya. Apalagi saat ini ada tamu tak diundang yang terus saja mengikutinya.Pandangan kita mengarah tajam ke arah ruang tamu. Ada Dimasta yang tengah asik mengobrol dengan Bu Dewi.Perlahan wanita itu mendekat namun tatapan tajamnya tak kunjung menghilang sama sekali
"Bu, Nita pulang dulu ya. Besok 'kan Mas Budi katanya sudah balik dari luar kota. Hari ini aku mau bersihin rumah dan belanja dulu, stock makanan di kulkas mungkin sudah habis," pamitku pada Ibu petang itu."Ini 'kan sudah mau magrib, besok pagi saja habis subuhan. Paling si Budi juga sampai di rumah sore, pulang kerja. Di rumahmu 'kan juga ada Lisa, suruh saja dia bersihin rumah," ucap Ibu khawatir.Jarak rumah ibu dan rumahku memang lumayan jauh sih, sekitar satu setengah jam perjalanan, dan itu pun harus melewati areal persawahan juga kebun-kebun kosong, karena rumah ibuku ada desa dan aku berada di kotanya."Lisa itu nggak pernah mau ngerjain kerjaan rumah, Bu. Selesai kuliah biasanya juga langsung masuk kamar!" jawabku."Masak dia nggak mau sama sekali bantuin kerjaanmu?" tanya Ibu lagi yang terlihat jengkel."Nggak pernah, Bu. Kerjanya ya kalau di rumah main handphone saja, Bu. Tapi ya mau gimana lagi, namanya juga anak muda," ucapku sambil memakai helm dan segera menaiki motor
Benar apa kata mereka, suara-suara menjijikan lirih terdengar keluar dari kamar itu. Tak salah lagi, dan tentu aku sangat hafal pemilik kedua suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mas Budi dan Lisa. Sejenak aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa, dan air mata pun mulai menetes tak bisa dibendung.Kenapa mereka bisa melakukan hal ini padaku? Baru juga tiga bulan si Lina tinggal di sini, sejak Bude Hermin meninggal. Tapi dia sudah berani menggoda suamiku, namun entah...aku tak bisa menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak, karena bisa saja keduanya itu sama-sama mau."Gimana, Nit? Bener nggak, itu suara si Budi dan si Lisa?" bisik Bu Jannah di telingaku, yang hanya kujawab dengan anggukan.Bu Jannah pun kemudian berbisik pada warga yang lain. Namun, aku masih saja tetap terdiam, tak percaya dengan semua ini. Tenyata kebaikanku selama ini pada Lisa, hanya dibalas dengan penghianatan seperti ini. Menyesal memang selalu di akhir, dan bodohnya aku, karena tak mendenagrkan ucapan ibuku dulu
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rt, semua sudah selesai. Dan saat ini juga, saya ingin kedua sampah ini angkat kaki dari rumahku!" ucapku lantang sambil menunjuk para penghianat itu.Mendengar perkataanku itu, sontak Mas Budi menghentikan aktivitas membantu Lisa. Kemudian merubah duduknya menghadap padaku."Apa maksud kata-katamu itu, Dek? Aku ini suamimu!" ucapnya sembari memukul dadanya sendiri, terlihat jika kini dia amat frustasi."Suami?! Jika kamu suamiku, kenapa kamu berbuat zina dengan dia? Sepupuku sendiri?" jawabku lirih, namun penuh emosi.Umpanku akhirnya dimakan juga, susu panas tadi sebenarnya hanya pancingan, agar Mas Budi mau menyelesaikan masalah ini dihadapan warga.Memang harusnya istri menutupi kebusukan suami. Namun, jika kasusnya seperti ini, maka maaf, aku malah ingin mempermalukannya lagi, di depan semua orang.Beberapa saat Mas Budi tak bisa menjawab, dia hanya memandangku sepertinya dengan tatapan yang penuh amarah."Maaf, Dek...aku memang salah...
Mereka Ingin Menghancurkanku?"Sudah cukup, aku tak ingin lagi mendengar sandiwara kalian. Cepat pergi dari rumahku, sekarang juga!" teriakku dan kali ini aku tak main-main.Sudah hilang rasanya kesabaranku pada keduanya. Apalagi ketika Lisa menghinaku dengan kata mandul, sungguh aku tak bisa terima itu. Mereka berdua hanya diam mendengar teriakanku, sementara para warga pun kembali saling berbisik."Apa Mbak Nita serius ingin mengusir mereka?" Pak RT mencoba meyakinkan padaku."Tentu saja amat serius, Pak. Sudah tak sudi aku melihat mereka berdua di rumah ini. Jadi tolong bawa mereka pergi dari sini, atau laporkan saja pada polisi!" ucapku sambil kembali duduk."Dek...tolong, Dek. Aku minta maaf, jangan usir aku, ini hanya khilaf. Aku tak ingin berpisah darimu." Mas Budi berusaha mendekatiku sambil merengek.Namun, para warga dengan sigap membawanya keluar secara paksa, begitu pun dengan Lisa. Terdengar banyak sekali umpatan-umpatan dari para warga, apalagi Mas Budi terus saja berus
Kamar LisaKAMU HARUS HANCUR SEHANCUR-HANCURNYA, NITA!Aku benar-benar tak bisa mengerti apa maksud dari tulisan ini. Apa yang dimaksud Nita di sini adalah aku? Atau mungkin Lisa punya teman yang namanya sama denganku?Kuabaikan dulu tulisan itu, karena meski berpikir seperti apapun, saat ini aku tak bisa menemukan titik terangnya. Lebih baik aku mengecek yang lainnya, namun tak lagi kutemukan apapun yang mencurigakan di meja belajar ini.Aku pun pindah menuju ke lemari, sebuah lemari kayu bercat putih besar,yang tiga bulan lalu kubelikan khusus untuk sepupuku itu. Ternyata lemari itu tak terkunci, dan tentu saja aku langsung membukanya.Selama ini, meski kami adalah saudara sepupu, tapi kami tak begitu dekat. Lisa dan Mbak Linda adalah anak dari almarhum Bude Tutik, yang meninggal empat bulan lalu.Mbak Linda usianya sama denganku, yaitu dua puluh empat tahun, sedangkan si Lisa usianya baru sembilan belas tahun. Selain itu, Bude juga memiliki seorang putra, Mas Lukman, yang sudah se