Share

Jujur Saja

"Sebenarnya kan, Mas, aku belum makan malam tadi." kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Sedikit menyesal tetapi segera teratasi oleh perasaan lega. Setidaknya aku sudah berkata jujur pada Mas Arfen.

"Ha, serius, Sayang?" 

Aku mengangguk, membiarkan Mas Arfen mengubek-ubek mataku dengan pandangan penuh selidiknya. Sungguh, tidak tega melihat dia menjadi kebingungan seperti ini namun  bagaimana  lagi? Aku hanya tidak mau memercikkan kebohongan  dalam perjalanan bahtera rumah tangga kami. 

"Emh, aduh … Maafkan Mama ya, Sayang?" 

Lagi, aku mengangguk. Tersenyum getir. Dalam hati berteriak keras-keras, "Mama jahat sama Mirah!"

"Eh, ayo, Sayang!" Mas Arfen menarik tanganku ke luar kamar. "Kamu harus makan sekarang, aku nggak mau kamu sakit. Ya ampun, Mama …?"

Pertama, aku memang sangat lapar dan ke dua, tidak mungkin menyia-nyiakan perhatian tulus Mas Arfen. Jadi, aku mengikutinya ke ruang makan. Membuka kulkas, mengeluarkan kotak makan berisi ikan nila bakar. 

"Sini, biar aku yang panaskan di microwave." Mas Arfen mengambil alih kotak makanan dari tanganku. "Mau berapa ekor, Sayang?"

"Aku mau satu saja, Mas." kataku sambil mengambil satu kantong teh celup dari lemari persediaan minuman. "Eh, kamu mau makan juga, Mas? Kalau iya, tolong disesuaikan saja, ya?"

Mas Arfen menjawab oke lalu sibuk dengan microwave. Sementara itu, aku menyeduh teh celup seperti tujuan semula. Aku benar-benar tidak tahu kalau Mama ikut terjaga dan sekarang sedang berdiri galak di pintu ruang makan. 

Dug, dug, dug!

Aku merasa detak jantungku sudah tak terkendali lagi. Oh, rasanya seperti kejauhan bom! Berarti selama ini Mama menguntit? 

"Ribut banget kalian, malam-malam?" begitulah Mama menegurku. Mimik wajahnya sudah lebih menyeramkan dari pada vampire yang sering kulihat di film-film. "Heran deh, mau tenang sebentar saja kok, sudah banget!"

"Mirah lapar, Mama, kasihan." terang Mas Arfen mewakiliku. "Makanya aku temani dia makan. Ini ikan nilanya baru aku panasi. Mama mau ikut makan?" 

Mama mencebik. "Makan tengah malam? Oh, tidak, tidak! Biar sudah tua begini, Mama anti tubuh melar!"

Mas Arfen hanya tersenyum tipis. Dari sorot matanya aku tahu kalau dia kecewa tetapi berusaha menutupi dari Mama.

Terus terang aku tergores. Bisa-bisanya Mama berucap seperti itu, di saat aku benar-benar kelaparan. Seharian ini jam makan bisa dikatakan kacau berat. Makan pagi jam sepuluh, makan siang jam tiga. Sudah begitu, Mama malah memalsukan riwayat makan malam, lagi. Bagaimana mungkin tubuhku melar kalau seperti itu? Kurus kering, mungkin! Masuk akal. 

"Mirah makan dulu ya, Mama?" tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Mama, aku menyendok banyak nasi. Mengambil satu ekor utuh ikan nila bakar, menambahkan dua sendok sayur sop rolade ayam. "Yuk, Mas …?"

***

"Kamu kan, dokter, Arfen?" pernyataan sekaligus pertanyaan Mama itu nyaris membuatku tersedak. Wah, karakter suara Mak Lampir saja masih belum ada apa-apanya, serius. "Kasih tahu istrimu dong, gimana pola makan yang sehat? Ya ampun, rakus banget, sih!"

Mas Arfen memandangku sejenak dengan perasaan bersalah yang jelas tergambar di wajahnya. "Ya, Mama. Ini karena Mirah belum makan malam tadi. Kasihan, bisa masuk angin nanti."

Mama mendengus kesal. "Iyalah, kamu belain istrimu terus saja, Arfen. Kalau dia jadi manja nanti, ngelunjak, jangan kamu ngeluh sama Mama." 

Aku masih bingung sekaligus syok sehingga hanya bisa diam dan mengemut makanan yang belum sempat terkunyah. Mas Arfen, tentu saja menyarankan Mama untuk kembali tidur di kamar. Sesabar itu dia menghadapi Mama, sungguh. 

"Oh, jadi kamu keberatan Mama di sini, Arfen?" Mama memasang wajah kecewa sekaligus tersakiti. "Oke, nggak masalah. Mama doakan semoga secepatnya kamu dapat hidayah. Biar kamu sadar kalau ternyata kamu ini sudah salah pilih istri, asal comot saja!" 

Sepertinya Mas Arfen mau memberikan tanggapan---berjalan mendekati Mama---tetapi sayang, Mama sudah terlanjur keluar dari ruang makan. Langkahnya terdengar kasar, lebar-lebar, menuju kamar tidur. 

"Huk, huk …!" tak pelak, aku tersedak juga. Terbatuk-batuk hebat, membuat Mas Arfen kalang kabut. Semua makanan yang tertahan di mulut tadi tersembur keluar. Untung ke lantai, bukan ke meja makan. "Huk, huk, huk …!"

"Hati-hati, Sayang!" katanya sambil memijat-mijat leher belakangku. Menepuk-nepuk tengkuk. "Muntahkan saja Sayang, kalau mau muntah. Jangan ditahan. Muntahkan di lantai saja, nanti biar aku bersihkan."

Eh, Mas Arfen mau membersihkan muntahanku?

Oh, so sweet!

"Huk, huk, huk …!" 

"Perlu aku sedot hidung kamu, Sayang? Biar keluar makanannya." 

Aku menggeleng-gelengkan kepala, malu. 

"Oke, coba kamu bersihkan hidung kayak buang ingus. Ini tisunya." Mas Arfen mengangsurkan kotak tisu padaku. 

Srooot, srooot!

Penuh keyakinan, aku melakukan apa yang diusulkan Mas Arfen dan benar saja, satu butir nasi keluar dari sana. 

"Ini, minum air putih dulu, Sayang!" sampai di sini Mas Arfen terlihat lebih tenang dan lega. "Minum yang banyak, ya?"

"Sudah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa, kok." kataku sambil turun dari kursi. "Aku permisi ambil sapu dulu ya, Mas?"

Mas Arfen mengernyitkan kening. "Sapu, untuk apa, Sayang?"

***

"Itu, lantainya jadi kotor banget, Mas!" aku menunjuk kikuk. 

"Oh, itu?" Mas Arfen memberikan isyarat supaya aku kembali duduk. "Biar aku saja yang nyapu. Kamu lanjut makan saja ya, Sayang?" 

Membayangkan bagaimana reaksi Mama ketika tahu Mas Arfen menyapu, aku turun dari kursi lagi. "Emh, tapi, Mas?" 

"Tapi apa, Sayang?" Mas Arfen melekatkan pandangan. "Kamu takut sama Mama, ya?"

Reflek, aku mengangguk. 

Mas Arfen menyimpulkan senyuman. "Kamu nggak perlu takut ya, Sayang? Ada aku di sini, buat jagain kamu. Oke, kamu makan saja, ya?"

Oh, Mas Arfen!

Sebaik itu hati kamu, Mas. Setulus itu. Benar kata Mommy, kamu pria yang paling tepat untuk menjadi imam hidupku. Bukan Brilliant, bukan juga Rafael. Itulah mengapa, kata Mommy, Tuhan membuat mereka singgah sebentar saja  dalam hidupku. Jujur ya jujur, aku sempat mengalami trauma parah dalam hal percintaan oleh karenanya. Hampir lima tahun menutup diri dari laki-laki hingga akhirnya bertemu dengan Mas Arfen. 

"Lho, kok malah melamun?" tegur Mas Arfen saat kembali dari mengambil sapu, membuatku gugup dan geragapan. "Ada masalah apa lagi, Sayang?"

 "Oh, nggak kok, Mas. Emh, ini aku mau makan lagi."

"Oke, Sayang. Makan yang enak, ya?" 

"Ya, Mas. Makasih. Kamu nggak ikut makan, Mas?" 

Mas Arfen tertawa kecil. "Masih kenyang, Sayang. Tahu sendiri kan, sebanyak apa aku makan tadi?"

Giliran aku yang tertawa. "Iya juga ya, Mas? Hahahaha … Nanti kalau kamu gendut, Mama pasti nggak suka kan, Mas? Hahahaha … Bisa-bisa Mama ngamuk terus kamu disuruh diet berat, Mas!"

"Ehem, ehem!"

Aku tak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama sudah berdiri di belakang Mas Arfen, berkacak pinggang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status