Share

Forever

Aku carper, dengan mengiris jari telunjuk? 

Ih, sorry!

Bukan berarti menantang ya, tapi lebih baik tidak diperhatikan  Mas Arfen sama sekali dari pada harus menyakiti diri sendiri. Ya ampun! Sebenarnya, Mama tuh, punya perasaan atau tidak? 

"Aduh, Sayang!" cekatan, Mas Argen merawat jari telunjukku. Membuka tisu yang sudah berumur darah, meletakkan di atas meja. Mencuci luka dengan alkohol? Ah, aku tak tahu apa yang paling tepat, rasanya pedih sekali. Meneteskan obat luka dan terakhir menutup dengan kain kasa, membalutnya. "Lain kali hati-hati ya, jangan sampai terluka?" 

"Iya, Mas. Maaf …!"

Mas Arfen memegangi kedua pundakku. Memandang lekat-lekat, mesra. "Lho, kok malah minta maaf sih, Sayang? Aduh …!" suamiku yang umurnya sebelas tahun lebih tua dari aku itu, melepaskan pundakku dengan lembut. Meraih jari telunjuk kiri yang terluka, mengecupnya. "Jangan terulang lagi ya, Sayang, aku nggak mau lihat kamu sakit?"

Sebagai ungkapan perasaan haru sekaligus syukur sudah diberikan suami sebaik Mas Arfen, aku mengangguk. Berusaha memberikan senyum meskipun tipis tetapi sayang, Mama membuatnya urung. Dia, mama mertuaku itu menatap dengan mimik wajah tidak suka. Oh, mungkin Mama risih melihat Mas Arfen bersikap semesta itu di hadapannya? Mungkin.

"Arfen!" panggil Mama sambil menyilangkan pisau roti dan garpu di piring. Rotinya masih setengah. "Lain kali, kalau istrimu mau makan buah, kamu kupaskan saja. Dari pada terjadi tragedi lagi? Jadi nggak enak makan kita, kan? Ngupas buah saja nggak becus!"

Ha, apa? 

Yakin, kalau Mas Arfen mengupaskan buah untukku Mama tidak akan marah? Lha, orang melihat dia memasangkan serbet ke leherku saja Mama sudah seperti orang kesurupan, kok. Kesurupan setan bisu.

"Iya, Ma." jangan sebut Mas Arfen kalau tak pandai menjaga perasaa  Mama! "Oh ya, habis ini kami langsung berangkat ke rumah Mommy ya, Ma? Mama hati-hati rumah. Nggak usah ngerjain perkerjaan rumah, biar Mbak Sri saja."

Mama hanya diam, melirik sekilas kepada kami satu per satu. Lirikan pemecah jantung.

"Oke, Sayang!" Mas Arfen mengemasi kotak P3K. "Yuk, kita siap-siap?"

Aku tak menjawab, memandang sedih ke jari telunjuk yang terbalut perban. Rasanya masih nyeri, berdenyut-denyut. 

Mas Arfen menepuk-nepuk pundakku. "Mbak Sri, tolong bereskan meja makan!" titahnya sambil membuang tisu yang berlumur darah tadi ke tempat sampah. "Kami sudah selesai makan."

"Mbak Sri!" seakan-akan apa yang diperintahkan Mas Arfen tadi belum cukup untuk memanggil Mbak Sri, Mama mengulangi. "Mbak Sri …!"

***

Di sepanjang perjalanan ke rumah Mommy, aku diam. Lebih banyak diam, maksudku. Entahlah, rasanya sedih sekali. Lebih tepatnya tak pernah menyangka kalau ternyata Mama seperti itu, sungguh. 

"Sayang!" Mas Arfen membuka pembicaraan. Kami sudah separuh perjalanan menuju rumah Mommy. "Kamu nggak apa-apa, kan? Gimana, sudah reda belum nyerinya habis minum obat?"

Sebelum berangkat tadi, Mas Arfen memberiku obat peredaran nyeri. 

"Sudah, Mas tapi hasi ngantuk." jawabku jujur dan apa adanya. "Boleh tidur, Mas?"

Mas Arfen tersenyum, memandangku sebentar. "Boleh dong, Sayang. Tidurlah, nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan."

"Oke, Mas. Makasih, ya?"

"Nih, pakai penutup mata biar nggak silau?"

"Ah, nggak kok, Mas. Gini saja, aku sudah biasa tidur di mobil tanpa kain penutup mata. Kalau di pantai, nah, itu baru pakai."

Mas Arfen tertawa lirih. Renyah sekali, sexy!

Ah, mungkin benar kata Mommy, aku harus bersabar dan berusaha lebih keras lagi untuk menyesuaikan diri. Aku kan, orang baru di keluarga Mas Arfen? Jadi, aku yang harus mengorbankan diri dalam tanda kutip.

Mas Arfen. Arfen Saujana, yang kukenal di media sosial sekitar dua tahun yang lalu itu mengusap-usap kepalaku dengan tangan kirinya. Tangan kanan fokus ke setir. "Tidur ya, Sayang, biar pas bangun nanti nyerinya sudah berkurang." 

Diam. Memejamkan mata. Itu yang kulakukan untuk lebih menenangkan diri. Tidak mungkin membawa segala carut marut perasaan ini ke hadapan Mommy. Ya ampun! Aku tak mau membuat Mommy sedih. 

Selama ini Mommy sangat menyayangi aku. Tidak terlalu memanjakan tetapi juga tidak pernah membiarkan aku sendiri. Selalu ada untuk akulah, intinya. Terutama setelah Daddy meninggal dunia. Mommy menjelma menjadi sepasang sayap yang dapat menerbangkanku hingga seperti ini sekarang. Pokoknya, perjuangan Mommy untuk aku tuh, besar sekali. Tak bisa dilukiskan oleh kata-kata.

"Sayang, kita cari oleh-oleh buat Mommy dulu, yuk?" Mas Arfen membangunkanku. "Kita singgah di sini dulu." 

"Emh, tapi aku masih ngantuk banget, Mas!" malu-malu aku menggeliat. "Aku memang sensitif obat-obatan. Langsung pingin tidur terus bawaannya, kalau kena obat."

Lagi, Mas Arfen tertawa. Mencubit sayang lenganku. "Sini, aku kasih sesuatu yang bakalan buat kamu bangun dan segar seketika!" 

Reflek, aku tertawa! 

"Eh, nggak percaya?" Mas Arfen menjalankan mobil mengikuti aba-aba tukang parkir. "Tunggu ya, sampai aku turun dari mobil?"

***

"Cup … Emmmuah!" ternyata itu formula segar bangun tidur yang dimaksud Mas Arfen tadi. "I love you, Mirah Lestari. Forever."

Biyuh, rasanya seperti tersengat listrik!

"Thanks, I love you too, Mas Arfen!" kataku setelah debar-debar di dada sedikit menghilang. Bukan, ini bukan yang pertama tetapi di rumah, momen seperti ini bisa dikatakan sangat langka.

"Lho, forever-nya mana?" Mas Arfen mengerucutkan bibir, manja. 

Terus terang aku tersanjung parah. Mas Arfen membutuhkan cintaku untuk selama-lamanya. Padahal, dibandingkan dirinya, siapalah aku? Hanya seorang sarjana PAUD dan sekarang malah sedang terferifikasi pengangguran. Ya, walaupun dia justru bangga memiliki isteri dengan profesi Ibu Rumah Tangga, sih. 

"Forever." akhirnya itulah yang kubisikkan kepadanya. 

Mas Arfen tertawa lepas, sampai barisan gigi putih bersihkan terlihat jelas. Belum pernah aku melihatnya tertawa selepas ini. "Nah, gitu dong, Sayang? Terima kasih, ya?"

"Sama-sama, Mas." gantian aku yang mencubit lengan kanannya. "Ternyata kamu bisa genit juga ya, Mas? Gawat!"

"Oh, ya jelas bisa dong!" Mas Arfen menepuk-nepuk dada bidangnya yang terbalut kaos oblong biru laut polos. Tersenyum lebar, mengedipkan mata. "Arfen Sau---" 

"Pak Arfen?" seoarang wanita muda, kalau aku taksir umurnya sekitar tiga tahun di atasku menyapa dengan hangat. Memangkas momen romantis kami. "Eh, halo … Selamat pagi, Pak Arfen! Bapak juga mau belanja di sini, ya? Jauh sekali …?"

Mas Arfen terlihat kikuk. "Eh, ya halo, Mourin! I---Iya, kami mau belanja di sini. Emh, sekalian beli oleh-oleh buat Mommy."

Wanita yang disebut Mourin oleh Mas Arfen melemparkan senyum simpul yang manis. Menawan hati. Aku yang sama-sama perempuan saja tertarik, apalagi yang laki-laki ya? 

Ehem!

Forget it! 

Terus terang aku tidak suka bagian ini, bagian yang membuat Mas Arfen tertunduk kikuk seakan Mourin adalah seseorang yang sangat penting baginya. Satu lagi, seolah-olah jalan berdua denganku adalah sebuah kesalahan. 

Hello, I am His wife!

"Oh, iya. Kalau begitu selamat berbelanja ya, Pak Arfen?" kata Mourin sambil mengerjap-ngerjapkan mata. "Oh ya, ini … Siapanya Bapak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status